BAB 4

109K 7.9K 302
                                    

Cahaya matahari yang merembes dari kaca jendela membuat Mia menggeliat. Perempuan itu mengucek mata sebentar, lalu menyapu pandangan ke sekeliling. Sesaat kemudian, ia sudah bangun dengan posisi duduk di ranjang. William sudah tidak ada di sebelahnya. Pasti lelaki itu sudah pergi ke kantor, pikir Mia.

Usai mencuci muka dan menggosok gigi, Mia berjalan menuju dapur. Perutnya terasa sangat lapar dan ia butuh sarapan. Perempuan itu merasa takjub mendapati dua tangkup tuna sandwich sudah terhidang di atas meja, lengkap dengan segelas susu. Di dekat gelas tersebut, ia mendapati secarik kertas.

Aku sengaja menyisakan sarapan untukmu, agar kau tidak kembali berulah dan membuat dapur berantakan. Ingat, jangan sentuh apa pun jika kau hanya akan menghancurkannya.

Mia berdecak, ia jelas tahu maksud dari kalimat William. Dengan kesal, Mia meremas kertas kecil itu dan melemparnya ke tong sampah.

***

"Aku sudah menduga, pasti ibu yang memasak makanan malam tadi. Mia tidak mungkin membuat hidangan seenak itu. Dia tidak lupa mencampurkan bahan sebagaimana mestinya saja, rasanya seperti mukjizat," cecar William. Sebelah tangannya memegang ponsel di telinga, sebelah lagi ia gunakan untuk memeriksa berkas pekerjaan.

Di seberang, Claire terdengar mendesah. "Tidak, Will. Mia yang memasaknya. Aku hanya sedikit membantu," terang Claire. "Lihat, Mia bisa melakukannya. Dia hanya perlu lebih banyak belajar dan kau lebih banyak bersabar."

"Aku masih tidak percaya," ujar William, seolah Mia telah melakukan hal ajaib di dunia, seperti memindahkan Menara Pisa ke Kanada.

Lalu, ibunya terdengar tertawa. "Jangan begitu. Mia wanita yang baik. Kau hanya belum mengenal pesonanya."

William mendecih. Apa yang memesona dari perempuan macam Mia? Sifat ceroboh dan pelupanya benar-benar keterlaluan, rutuknya dalam hati. Ia memilih tidak melontarkan kalimat tersebut, sebab tahu ibunya hanya akan membela Mia.

"Baiklah, Bu, aku harus lanjut bekerja. Jaga kesehatan Ibu dan titip salam pada Ayah."

Setelah mendengar salam perpisahan dari ibunya, William mematikan ponsel. Pandangannya kembali tertuju pada berkas-berkas yang harus ia periksa. Tepat saat itu, pintu ruangannya terdengar diketuk.

"Masuk," perintah William.

Seorang gadis berambut pirang sebahu melangkah ke dalam. Ia mengulas senyum hingga kedua sisi pipinya terangkat, menyembulkan sebuah lesung yang membuat wajahnya kian memukau. Vanessa Higgins. Perempuan itu adalah sekretaris William.

"Hai, Will, aku membawa berkas kontrak yang akan diajukan pada klien siang ini. Silakan periksa kembali." Vanessa mengangsurkan sebuah map berisi lembaran kertas pada William. Lelaki itu menerimanya, lalu membaca dengan saksama.

Vanessa sudah bekerja untuk William selama empat tahun, dan ia merupakan adik junior William semasa kuliah dahulu. Oleh sebab itu, Vanessa sudah memperlakukan William dengan akrab, dan William sama sekali tidak keberatan dengan hal tersebut.

"Baiklah, ini sudah sempurna, Vanessa. Kau memang yang terbaik," puji William, membuat senyum merekah di bibir tipis Vanessa. "Siapkan segala keperluan, pukul sebelas kita berangkat."

Vanessa mengangguk. Ia selalu senang menemani William meeting dengan klien, karena dengan begitu, ia dapat memiliki waktu berduaan dengan bosnya yang tampan.

***

"Bagaimana kabar istrimu?" tanya Vanessa, tepat saat pelayan yang mencatat pesanan mereka berlalu menuju dapur. Usai meeting, Vanessa mengajak William mampir di sebuah restoran. Berhubung waktu memang sudah menunjukkan jam makan siang, William menerima ajakan wanita itu.

"Dia baik." Lelaki itu menyahut singkat.

"Ehm ... apakah sudah ada tanda-tanda kalian akan memiliki baby?"

Mendengar pertanyaan Vanessa, William kontan terdiam. Baby? Kata itu terdengar aneh di telinganya. Mereka memang telah menikah, tetapi William tidak mencintai Mia. Tentu saja, memiliki anak bersama perempuan itu sama sekali belum terlintas dalam benak.

Percaya atau tidak, meski tidur dalam kamar yang sama, William belum pernah menyentuh Mia. Wanita itu terasa asing. Dan keanehannya di mata William, mendorong lelaki itu menciptakan jarak yang lebih jauh.

"Will?" Panggilan lembut Vanessa mengembalikan kesadaran William.

"Belum," sahut lelaki itu kemudian.

Segaris senyum samar tercipta di bibir Vanessa. "Sangat disesalkan, aku tidak dapat menghadiri pernikahanmu waktu itu. Aku sungguh penasaran dengan wajah istrimu ... siapa namanya? Astaga, aku mendadak lupa."

"Mia."

"Ah, iya, Mia. Bolehkah aku melihat fotonya?"

William mendengkus pelan. Mendengar nama Mia saja sudah cukup membuatnya pusing. Sekarang, Vanessa justru membahas perempuan itu. Dan ... foto? Hah, rasanya lebih baik William menyimpan foto lemari, jendela, atau perabotan di rumahnya daripada foto Mia.

"Memory card ponselku tertinggal. Semua foto Mia ada di dalamnya," kata William, berbohong. Ia tidak mungkin mengatakan pada Vanessa, bahwa ia tidak memiliki foto istrinya. Itu akan terdengar aneh.

Vanessa mengangguk-angguk, berpura-pura mengerti. Tanpa William sadari, perempuan itu tersenyum samar sekali lagi.

***

Aku akan membawa makanan sepulang dari kantor.

Jangan masak apa pun untuk malam ini.

Dan ingat, jangan sentuh apa pun juga.

Mia mengembuskan napas kesal saat membaca pesan dari William. Lelaki itu benar-benar keterlaluan. Sama sekali tidak mampu menghargai upayanya untuk menjadi istri yang baik.

"Jangan sentuh apa pun. Jangan sentuh apa pun. Hah, sombong sekali pria ini!" Mia berusaha menahan diri untuk tidak membanting ponselnya ke lantai. "Kau tahu, semakin kau larang, aku justru semakin ingin menghancurkan apa pun yang ada di rumahmu!" teriaknya kemudian, seakan benda berbentuk kotak itu adalah wajah William.

Demi apa pun, Mia sungguh ingin meremukkan sesuatu.

***

Pintu terdengar dibuka ketika Mia tengah menonton acara televisi favoritnya. Tanpa perlu menebak, ia tahu bahwa itu William. Berusaha terlihat tidak peduli, perempuan itu memusatkan fokus pada tontonan.

William berjalan melewati Mia dengan sedikit terheran. Biasanya, Mia akan mulai cerewet saat menyambut kepulangan William. Menawarkan ini dan itu, seperti pedagang di pinggir pasar. Namun, hari ini, perempuan itu tampak tenang-tenang saja.

"Aku membawa makanan," kata William, meletakkan sebuah bungkusan pada meja di hadapan Mia.

"Aku sudah makan." Mia menyahut dingin.

William tidak berminat memastikan, sebab ia juga tidak peduli. Lelaki itu melepas jas, lalu menyampirkannya di samping sang istri. Sembari melonggarkan dasi dengan sebelah tangan, William mengangkat bungkusan tersebut ke meja makan. Desahan lega meluncur dari bibirnya, saat mendapati dapur tertata rapi. William mengelus dada, sungguh merasa lega. Mia tidak menimbulkan kekacauan hari ini.

Usai memindahkan makanan ke dalam wadah, William berderap menuju kamar. Ia memutuskan untuk mandi lebih dulu, baru kemudian makan malam.

Baru saja William membuka pintu, kedua matanya melotot sempurna. Cermin rias yang sebelumnya melekat di dinding tampak jatuh. Pecahannya berserakan di lantai. Padahal, William sengaja membeli cermin bergaya kuno itu saat berkunjung ke Yunani, demi menambah estetika pada kamarnya tercinta. Segera saja, William berteriak histeris.

"Miiiaaa...!!!"

My Silly WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang