BAB 47

66.3K 6.4K 1.4K
                                    

William menyesap kaleng kopi di tangan, sembari memerhatikan Mia yang tengah melahap pizza di depannya. Sebelum pulang dari kantor, ia memang menyempatkan untuk membelinya, sebab Mia menyukai pizza. Dan usai Mia menuntaskan tangis, William menuntunnya menuju meja makan, memintanya melahap penganan tersebut. Sebab sejak pulang dari kantor, Mia belum memakan apa pun.

"Kau tidak mau?" tanya Mia, seraya mengacungkan potongan pizza di tangan.

William menggeleng. "Melihat caramu memakannya saja, aku sudah kenyang," sahut lelaki itu. Mia mendecih. Lantas, ia meraih segelas air putih dari atas meja dan meneguknya.

"Aku sudah selesai," kata Mia. "Lanjutkan ceritamu."

William menghela napas. Sejak tadi, Mia memang sudah merongrong dengan berbagai pertanyaan, terkait pertikaiannya dengan Ethan. Namun, William mengatakan, ia akan memberitahu Mia usai perempuan itu mengisi perutnya.

"Sejujurnya aku ingin memberikan hukuman lebih, tetapi tidak bisa karena masalah ini tidak berhubungan dengan pekerjaan. Jadi, aku hanya memberinya peringatan," kata William, sembari memainkan kaleng kopinya. "Ah, ya, aku juga sudah memindahkan Vanessa."

"Vanessa?" Mia mendelik.

"Hm. Terhitung mulai besok, aku memindahkannya ke bagian pemasaran."

Mia mengerjap beberapa kali, lalu membuang napas dengan keras. Sama sekali tidak menyangka, segalanya akan menjadi serumit ini. Ada rasa bersalah merayapi benaknya kala mengingat kedua orang itu. Meski memang menyimpan kesal pada Ethan dan Vanessa, tetap saja, Mia tidak mengharapkan mereka menerima balasan demikian. Terlebih Vanessa, yang harus mengalami penurunan jabatan.

"Mengapa wajahmu begitu?" William bertanya bingung, saat mendapati Mia menunduk layu. "Tidak senang aku menghukum mereka?"

Mia menghela napas panjang. Bingung harus bagaimana, sebab berbagai pikiran memenuhi benaknya. Menjawab pertanyaan William, perempuan itu hanya mengangkat bahu.

"Tak perlu merasa bersalah," kata William, seolah mampu membaca ekspresi yang terpancar di wajah Mia. "Kau tidak salah. Mereka yang mengusikmu. Jadi, mereka pantas mendapatkan itu."

Mia memerhatikan wajah William untuk beberapa saat. Kemudian ia bertanya, "Jika saja kau belum mencintaiku, apa kau akan tetap melakukan ini?"

Dari balik kaleng kopi yang tengah diteguknya, William membalas tatapan Mia. Lantas ia berkata, "Cinta ataupun tidak, kau tetap sudah menjadi istriku. Maka sudah kewajibanku untuk melindungimu."

Mia mengangguk-angguk mengerti. Dalam hati, ia menyimpan kagum untuk William. Yah, meski sering bertingkah menyebalkan, suaminya itu cukup keren.

"Omong-omong, kau cukup menyeramkan saat sedang marah," kata William kemudian. "Ponsel Vanessa sampai menjadi korban."

Mia menatap sang suami dengan sebal. Baru saja ia memuji dalam hati, lelaki itu sudah kembali menunjukkan tabiatnya yang kerap membuat jengkel.

"Mau bagaimana lagi, aku sudah telanjur emosi," kata Mia, membela diri.

"Jadi bagaimana? Kau tidak menggantinya? Jika kulihat-lihat, harganya cukup mahal," ucap William dengan wajah serius.

"Sudah tahu begitu, kau memindahkannya ke bagian lain. Siapa yang lebih tidak memiliki perasaan?" balas Mia, tidak mau kalah.

"Aku melakukannya untukmu," kilah William. "Siapa yang menanggung dosa lebih berat?"

Mia mendengkus kesal, lalu cepat-cepat berdiri dari kursi.

"Kau mau ke mana?" tanya William.

"Tidur!" sentak Mia. Kemudian ia beranjak dari ruang makan, meninggalkan William yang hanya mampu tersenyum. Lelaki itu meneguk kopinya dengan perasaan senang, sukses mengerjai istrinya.

My Silly WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang