BAB 12

93.6K 7.7K 644
                                    

Sembari mengelap rambut dengan handuk kecil, William melangkah keluar dari kamar. Ia berderap ke dapur, sebab telinganya menangkap bunyi berisik dari sana. William sudah menduga, pelakunya pasti Mia. Dan benar saja, saat William menjejakkan kaki di dapur, ia mendapati perempuan itu berkutat dengan peralatan memasak.

William menghela napas lelah. Sepertinya, kekacauan akan kembali menghampiri rumah mereka.

"Kau sudah selesai mandi?" tanya Mia, saat menyadari kehadiran William. "Bersantailah dahulu. Begitu makanannya siap, aku akan segera memanggilmu."

William memerhatikan Mia yang tengah mengiris kentang. Dari gerakannya saja, terlihat jelas bahwa perempuan itu tidak berbakat dalam hal memasak. Ia melakukannya dengan pelan dan penuh perhitungan. Mungkin, mengantisipasi agar tangannya tidak terkena goresan pisau.

William mengacak rambut frustrasi. Dengan cepat, ia berjalan menghampiri Mia, lalu merebut pisau dari tangan perempuan itu.

"Sepertinya, kau memang tidak memiliki bakat dalam hal apa pun. Bahkan mengiris kentang saja, gerakanmu lambat sekali," omel William. "Lihat, seperti ini caranya."

Lalu, William memberi contoh memotong kentang yang benar. Meski tidak ahli, ia tahu cara memasak. Semasa kuliah, William tinggal jauh dari orang tua, dan itu mengharuskannya hidup mandiri. Terlebih dalam mengurus makanan sehari-hari.

"Iris tipis-tipis seperti ini. Jangan melakukannya dengan ragu-ragu, sebab itu bisa—argh!"

William tiba-tiba meringis. Bagian pisau yang tajam mengenai jari telunjuknya. Darah segar mengucur, membuat Mia yang berdiri di sampingnya sontak merasa panik. Tanpa pikir panjang, Mia meraih jari telunjuk William. Memasukkannya ke dalam bibir, berupaya menghentikan darah yang mengalir. Mia tidak menyadari, aksinya justru membuat William terperanjat. Lelaki itu bahkan tidak lagi merasakan nyeri. Kedua matanya memandang wajah Mia untuk waktu yang cukup lama.

"Ini yang kau sebut memberi contoh?" sindir Mia kemudian. Ia mendongak, balas menatap William.

Lelaki itu tergeragap, cepat-cepat ia membuang pandangan. "Maksudku, beginilah jadinya jika kau tidak berhati-hati," dalihnya, usai berhasil menguasai diri.

"Kupikir, kau orang yang tidak pernah melakukan kecerobohan sama sekali. Tapi, ternyata aku salah." Mia mencibir.

Dengan kesal, William menarik tangannya. "Aku juga manusia," ketus lelaki itu. Ia berjalan ke wastafel, lalu menyalakan keran. "Sudahlah, bereskan saja semua ini. Aku akan memesan makanan."

Usai membasuh tangannya dengan air, William berderap meninggalkan dapur.

***

Mia meraih pizza di atas meja, melahapnya dengan nikmat. Acara memasak yang gagal, membuat mereka memutuskan untuk memesan makanan cepat saji—yang diantarkan oleh kurir tiga puluh menit kemudian. Kini, ia dan William duduk di ruang keluarga, bersama-sama menyantap penganan tersebut.

Sembari menggigit pizza, Mia menyalakan laptop dengan sebelah tangan. Melihat itu, William yang sejak tadi diam mendadak bersuara.

"Bagaimana pekerjaanmu?"

"Baik." Mia menyahut singkat. Jari-jarinya mulai bergerak di atas keyboard.

"Tampaknya, kau belum ingin menyerah."

Mia menatap William, lalu mendengkus. Lelaki itu selalu mampu menghempas harapannya begitu saja. Bertanya seolah peduli, tetapi akhirnya menyakiti hati.

"Tentu saja," ketus Mia.

William meraih gelas di atas meja, meneguk isinya hingga tandas. Lalu, lelaki itu berdiri dari sofa. Usai melirik Mia, ia berjalan menuju ruang kerja pribadinya. Seperti biasa, William merasa tidak nyaman berdekatan dengan Mia, untuk waktu yang cukup lama.

My Silly WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang