BAB 3

122K 8.9K 460
                                    

Pagi-pagi sekali, Mia sudah berurusan dengan perabotan dapur. Perempuan itu berniat membuatkan bekal untuk William. Cerita Kimberly kemarin berhasil melahirkan inspirasi dalam benak Mia, ia ingin melakukan hal yang sama untuk suaminya.

Bermodalkan resep yang diperolehnya dari internet, Mia mulai menata bahan-bahan makanan di atas meja. Ia kembali mencoba peruntungan membuat omellete, tetapi kali dengan variasi bercampur keju. Beberapa hari setelah pernikahan mereka, ibu mertuanya menceritakan banyak hal tentang William. Menurut wanita itu, William menyukai aneka masakan berbahan telur.

Mia mulai memecahkan beberapa butir telur ke dalam wadah. Ia berupaya melakukannya hati-hati, dengan harapan tidak ada kekacauan hari ini. Bagaimanapun, Mia ingin hidupnya berjalan lancar, meski barang sehari saja.

"Sedang apa kau?" Suara William tiba-tiba terdengar, mengalihkan perhatian Mia. "Berusaha mengacaukan dapur lagi?"

Mengembuskan napas kesal, Mia menoleh menatap sang suami. Lelaki itu tampak sudah rapi dalam balutan setelan kerja. "Aku akan membuatkan bekal untukmu," sahut Mia kemudian.

William menatap Mia ngeri, seolah perempuan itu baru saja mengancam akan mendorongnya ke jurang.

"Tidak perlu," kata William cepat, "aku lebih memilih makan di kafetaria kantor."

"Mengapa? Apa masakanku sebegitu tidak enak?"

"Kau sudah tahu, untuk apa bertanya?" William menyahut sinis.

Mia menarik napas panjang, berusaha memupuk kesabaran. William berkata benar. Maka ia memilih tidak membantah. "Kau ingin kopi?" tanya Mia kemudian, saat melihat William mengambil sebuah cangkir dan mengisinya dengan gula. "Berikan padaku. Aku akan membuatkannya untukmu."

Mia nyaris meraih cangkir di tangan William, tetapi lelaki itu dengan cepat menepisnya.

"Sudah berapa kali kukatakan? Aku sudah bosan dengan kopi yang—"

"Aku mengerti," sela Mia, sebelum William melanjutkan kalimat yang berpotensi menyakiti hatinya. Lantas, perempuan itu pergi begitu saja.

William menatap punggung Mia, kemudian beralih pada wadah berisi telur di atas meja. Lagi-lagi dia meninggalkan apa yang seharusnya dia bereskan, lelaki itu mendesah dalam hati.

***

Mia berbaring menelungkup di atas ranjang. Kedua tangan ia gunakan untuk menopang wajah, berupaya meredam kesal dalam benak. William. Tidak bisakah untuk sehari saja, lelaki itu memperlihatkan sikap yang baik? Atau paling tidak, lupa mencela Mia? Benar, segala yang Mia lakukan selalu berujung berantakan. Namun, untuk sehari saja, tidak bisakah William memakluminya? Berbagai pertanyaan itu memenuhi pikiran Mia, membuat perempuan itu mendesah kemudian.

Mia selalu berusaha melakukan apa pun dengan baik, ia hanya tidak mengerti mengapa segalanya berakhir kacau. Jauh di dalam lubuk hati, Mia ingin menjadi istri yang mampu diandalkan William, seperti para istri di luar sana. Ia juga ingin menjadi wanita yang pintar memasak, seperti Kimberly.

Namun, entah mengapa, semesta seolah tidak berpihak pada keinginan Mia. Setiap hal yang ia lakukan, selalu menghasilkan kemarahan William. Dan tentu saja, berujung pada sakit hatinya.

***

"Makanlah dengan pelan, Will. Tidak ada yang berniat merebut makananmu." Carlos menatap takjub pada gerakan kilat William, lelaki itu terlihat menggigiti roti bakar. Saat ini, mereka tengah berada di kafetaria. Begitu tiba di kantor, William tiba-tiba saja menyeret Carlos untuk menemaninya sarapan.

"Aku sedang buru-buru, Carl. Ada pekerjaan yang masih harus kuselesaikan," kata William, lalu meneguk kopinya.

Carlos mendesah, turut prihatin dengan nasib yang menimpa William. Ia sendiri tahu, William bersedia menikahi Mia hanya demi alasan sederhana; lelaki itu membutuhkan sosok yang dapat mengurusi kebutuhannya. Namun, alih-alih demikian, kehidupan William justru sedikit berantakan.

My Silly WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang