1. Waitress Glofam

292 22 2
                                    


- Sesuatu datang bukan tanpa alasan -

***

Luvena Mavrica Florean, gadis itu kini tengah memasuki Glofam-salah satu kafe di kawasan ibukota, dengan mengenakan seragam pegawai kafe itu. Luvena masih kelas 12, tapi ia bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ia tidak mau menyusahkan ibu panti(ah ya, Luvena tinggal di panti asuhan) tentang kebutuhannya di sekolah. Selain itu, uang itu juga ia tabung untuk biaya kuliahnya nanti.

“Sore, Na,” sapa salah satu pegawai disana, barista Glofam lebih tepatnya. Namanya Fajar, umurnya sekitar 20 tahun.

“Sore, Kak,” balas Luvena dengan senyum ramah.

“Baru kelar sekolah ya?”

Luvena mengangguk lesu. Harinya di sekolah hari ini cukup melelahkan. Mengingat begitu padatnya jadwal anak kelas 12—meskipun ini masih menginjak bulan keduanya di kelas 12. “Iya. Lumayan capek sih.”

“Usaha kamu nggak akan sia sia. Tenang aja,” ujar Fajar menyemangati.

“Semoga.”

Tak lama kemudian segerombolan cowok, yang tentu saja Luvena kenali, masuk ke dalam kafe. Itu adalah gerombolan dari pentolan di sekolahnya-Willy dkk.

Bagaimana Luvena yang penyendiri, nggak suka spotlight, kutu buku dan nggak gaul bisa tau mereka? Selalu saja ada masalah yang mereka buat setiap harinya. Yang selalu menjadi topik hangat untuk dibicarakan para ciwi ciwi tukang gosip disekolah.

Oke. Back to earth. Willy melambaikan tangannya. Sebagai waitress yang bekerja dengan baik, Luvena menghampiri meja mereka yang di isi 4 cowok ganteng itu.

Luvena memberikan buku menu pada mereka. “Mau pesan apa, mas?” tanya Luvena ramah.

Salah satu cowok dengan potongan rambut spike, namanya Rega, menyikut lengan Willy. “Will, mbak mbak nya masih muda tuh. Cantik lagi.”

Willy melotot kearah Rega. “Apaan sih lo, nyet.” Kemudian ia beralih menatap Luvena. “Maaf, mbak. Temen saya emang agak gesrek otaknya.”

Sedangkan Luvena hanya tersenyum tipis. Membuat Rega kembali bereaksi. “Ya ampun, mbak. Jangan senyum gitu. Nanti hati saya cedat cedut. Mbak mau tanggung jawab?”

Kemudian toyoran toyoran menimpa kepala Rega sebagai balasan.

“Maaf ya, mbak. Kita pesen frappucino latte aja 4. Sama french fries nya 4 juga,” ucap Willy. Luvena mencatat pesanan tersebut dalam notes kecil yang selalu ia bawa.

“Mohon ditunggu,” ucap Luvena sopan kemudian meninggalkan meja mereka.

“Kalo gue boleh nebak nih. Tuh mbak mbak kayanya masih seumuran sama kita kita.”

Cowok dengan kulit kuning langsat yang terkesan cool itu berbicara. Namanya Panji. Dia suka meramal.

“Nggak usah keluarin kemampuan cenayang lo. Dasar dukun!”

Itu Reno yang berbicara. Yang punya otak paling mesum di antara yang lain.

“Anjing lo!”

Jika lainnya terkekeh karena Panji, tapi tidak dengan Willy. Ia kembali mengingat wajah Luvena. Untuk pertama kalinya, Willy tau ada Luvena di dunia ini. Meskipun ia belum tau siapa namanya.

***

Seperti biasa, Luvena—si gadis cantik dengan rambut lurus hitam sedikit dibawah bahu—berangkat ke sekolah dengan menaiki sepeda gunung kesayangannya. Sepeda itu hadiah dari bunda-begitu Luvena memanggil ibu panti, sewaktu ia menginjak kelas 9 SMP.

WarnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang