4. Yang Pertama

197 21 0
                                    

- Membayangkan sesuatu yang tidak mungkin terkadang membawa suatu ketakutan -

°°°

Luvena berjalan keluar dari toko kelontong di dekat panti. Ia baru saja membeli balsem untuk mengatasi kakinya yang nyeri karena jatuh di tabrak Willy.

Ia mengernyit heran ketika mendengar suara sirine. Palingan ada tawuran di gudang. Gudang itu memang sering dibuat tawuran. Tapi anehnya polisi tidak pernah tau. Akhirnya polisi sekarang tau kalau gudang itu biasa menjadi tempat tawuran. Luvena cuek dan tetap berjalan. Memasuki gang menuju panti.

Tidak ada yang aneh di gang itu kecuali terlihat seorang cowok berseragam Angkasa tergeletak di gang tersebut tak jauh dari Luvena berada. Luvena mendekat untuk melihat siapa cowok itu.

Willy. Luvena mendelik kaget melihat Willy dengan wajah babak belur. Luvena mencoba untuk cuek, ia berjalan melewatinya. Tapi ia dilanda dilema. Mana bisa ia meninggalkan seseorang dalam keadaan seperti itu. Tapi jika menolong, ia takut akan terseret masalah nanti.

Luvena berhenti berjalan. Memejamkan matanya kemudian menghela nafasnya. Ia menoleh kebelakang. Perasaan tidak tega menyerangnya.

Luvena pun akhirnya kembali menghampiri Willy. Ia jongkok kemudian menepuk nepuk pipi Willy. "Will, bangun, Will." Willy masih diam tak bergeming.

Luvena membuka balsem beraroma kayu putih yang baru ia beli. Kemudian mendekatkannya ke area hidung Willy. Usahanya tidak berakhir percuma karena ia melihat hidung Willy bergerak seperti mengendus sesuatu.

"Ssshhh." Willy merintih memegangi kepalanya yang terasa sakit.

"Bangun, Will," ucap Luvena lagi.

"Gue udah mati ya? Gue udah di surga kayanya. Makanya liat bidadari gini. Di bumi mana ada," ucap Willy saat matanya terbuka. Kepalanya masih terasa berat. Dan, ah bisa bisanya dia berbicara seperti itu dalam keadaan seperti ini. Mungkin memang mulut Willy diciptakan untuk mengeluarkan kata kata receh.

Luvena memutar bola matanya. "Omongan lo mulai ngelantur. Udah ayo bangun," ucap Luvena.

"Kepala gue berat," ujar Willy jujur. Melihat kening Willy mengeluarkan sedikit darah, Luvena tau cowok itu tidak berbohong.

"Ayo gue bantu berdiri." Luvena menarik tangan kanan Willy untuk berdiri. Ia pun memapah Willy untuk berjalan. "Lo mau bawa gue kemana?"

"Ke rumah. Luka lo perlu diobatin."

"Ga perlu, Luvena. Ini udah biasa kok. Entar juga sembuh sendiri," tolak Willy halus.

"Gue nggak bisa ninggalin orang dalam keadaan kaya gini. Dan kalo lo biarin luka luka lo, nanti bisa infeksi. Dan satu lagi, lebih baik lo diam karna lo berat."

Willy menatap wajah Luvena dari samping. Matanya lurus menatap ke depan. Willy mencari ketulusan dari sorot mata Luvena. Entah mengapa ia merasa Luvena benar benar tulus melakukannya. Tak ada embel embel caper atau apapun. Seulas senyum Willy terukir di bibir tipis miliknya.

Sesampainya di rumah Luvena—yang sudah Willy ketahui adalah panti—Luvena membawa Willy ke taman belakang. Ia membantu Willy duduk di salah satu kursi besi di sana.

"Bentar, gue ambilin dulu obatnya." Willy mengangguk. Kemudian Luvena masuk ke dalam rumah untuk mengambil obat obatan untuk mengobati luka luar Willy.

Willy sering seperti ini. Tawuran dan membuat wajahnya babak belur. Tapi ini pertama kalinya ada orang yang mau mengobati hasil kelakuan nakalnya. Jika kalian tanya bagaimana dengan teman teman Willy, mereka pasti juga sibuk dengan lukanya masing masing. Dan jika kalian tanya tentang orang tua Willy, ah lebih baik jangan tanyakan. Karna Willy pasti tidak akan suka membahasnya.

WarnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang