23. Permintaan

84 8 0
                                    

- Jika kamu meminta sesuatu yang masih belum ku ketahui, jujur saja aku takut untuk berjanji memberikannya. -

***

Irfan duduk di atas motornya dengan satu kaki ia naikkan di atas paha sambil menyesap rokok. Asap tipis mengepul setelah ia menghembuskan nafasnya.

Di taman tempat ia berada saat ini sepi. Hanya ada dirinya dan seorang cewek yang duduk di atas kap mobil menghadap ke arahnya. Penerangannya pun minim. Hanya ada beberapa lampu taman saja.

"Jadi mau sampe kapan cuma diem aja? Nggak mau ngomong kenapa ngajak ketemu?"

Irfan menginjak putung rokok yang tadi ia sesap. Masih fokus menatap cewek di hadapannya.

"Jadi, Luvena dulu siapa lo?" tanya cewek itu.

"Lo kenal dia?"

Cewek itu hanya mengendikkan bahunya sebagai jawaban. Irfan pun menghela nafas pendek. "Dia temen SMP gue," jawab Irfan akhirnya.

"Yakin cuma temen SMP?"

Terdengar jelas ada kekhawatiran dalam nada itu. Namun dia tetap berusaha untuk terlihat tenang. Ia sangat ingin mengetahui fakta itu secara langsung dari mulut Irfan.

Irfan memandangi cewek di hadapannya itu. Meskipun berat, tapi dia harus jujur. Dia tidak ingin menyakiti cewek di hadapannya ini lebih jauh.

"Gue pernah bilang sama lo kalo gue belum bisa lepas dari cewek di masa lalu gue." Irfan memberi jeda pada kalimatnya. "Cewek itu Luvena," lanjutnya.

Sekarang hati cewek itu seperti dihujam ribuan pedang. Oh ayolah. Memangnya apa yang lebih menyakitkan dari orang yang kamu cintai justru mengaku padamu bahwa ia mencintai orang lain.

Cewek itu mengalihkan pandangannya dari Irfan. Matanya yang memanas mulai mengeluarkan buliran bening. Irfan tau itu.

Ini membuat Irfan merasa sangat bersalah. Dia tidak pernah bisa melihat seorang wanita menangis. Apalagi dia yang menjadi penyebabnya.

Irfan melangkahkan kakinya mendekati cewek itu. Kemudian dengan spontan memeluk cewek itu. Cewek itu terkejut, tentu saja. Namun ia membalas pelukan Irfan dengan erat.

"Please jangan buat gue jadi brengsek karena udah bikin cewek nangis."

***

Sore ini langit tidak nampak seperti biasanya. Ada awan mendung yang menyelimuti langit hingga membuat senja indah di sore hari tidak nampak. Sangat disayangkan.

Seperti biasa, Luvena tetap mengantarkan pesanan katering seolah tak peduli bagaimana keadaan langit. Dia mengayuh sepedanya dengan beberapa kotak makanan yang ditali pada bagian belakang sepedanya.

Seusai mengantarkan pesanan katering, Luvena membelokkan sepedanya di salah satu toko buku. Ia akan membeli novel dari salah satu penulis favoritnya yang baru dirilis beberapa minggu lalu.

"Semuanya jadi tujuh puluh lima ribu lima ratus, Kak."

Setelah membayar novel yang ia beli, Luvena segera keluar dari toko buku tersebut. Kepalanya mendongak ke arah langit. Awan hitam telah menggumpal. Seperti sudah siap jatuh ke bumi.

WarnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang