12. Yang Dicari

102 15 0
                                    

- Carilah orang yang mau menemanimu di masa susah. Dia tidak akan meninggalkanmu hanya karena masa senangmu telah habis -

***

Hari mulai menjelang malam. Semburat senja mulai muncul menghiasi langit sore. Luvena masih berada di rumah sakit menemani Willy. Willy meminta Luvena untuk menemaninya sampai teman – temannya datang.

“Luv?”

“Apa?”

“Lo kenal cowok yang kemarin?”

Luvena yang mulanya berniat untuk minum, meletakkan kembali gelasnya di atas meja. “Kenal. Kenapa?”

“Kok bisa? Dia tuh cowok badung tau.” ucap Willy seolah tak mengaca pada dirinya sendiri.

Luvena menatap Willy dengan heran. Cowok ini tidak punya kaca atau bagaimana? Dia sama seperti Irfan. “Ga ngaca.” sindir Luvena.

“Udah ngaca. Pas gue lihat eh mirip banget sama nabi Yusuf.” ucap Willy dengan percaya diri.

Luvena mendengus. “Dia temen SMP gue. Dan dia baik sama gue.”

“Gue juga baik sama lo.”

“Bedanya dia ga suka mainin cewek kaya lo.”

Willy kicep. Ucapan Luvena tidak meleset sedikitpun. Willy yang suka mainin cewek. Gelar itu memang sudah mendarah daging pada diri Willy.

Willy jadi penasaran tentang hubungan Luvena dan Irfan. Melihat gelagat Irfan kemarin, sepertinya hubungan mereka lebih dari hanya sekedar “Teman SMP”.

“Yakin nih cuma temen SMP? Mantan lo mungkin?” tanya Willy dengan tatapan menyelidik.

Luvena berdecak. “Gue nggak pernah pacaran.”

“Serius?”

“Gue bukan lo yang punya banyak mantan.” sindir Luvena, lagi.

“Ye.. itu namanya pacarannya gagal, Luv.” bela Willy. Luvena mengernyitkan dahinya kemudian menaikkan sebelah alisnya, menuntut penjelasan.

“Dari pacaran itu cuma ada dua kemungkinan. Kalo berhasil bakal jadi manten, kalo gagal bakal jadi mantan.”

Rupanya penggantian huruf “e” dan “a” disini akan memiliki makna yang sangat berlawanan. Bisa diartikan bahagia untuk “e” dan diartikan menyedihkan untuk “a”.

Luvena kembali diam. Sedangkan Willy masih penasaran. “Jadi, dulu cowok itu siapa lo? Jujur.”

Luvena menghela nafas panjang. Mengingat Irfan sama artinya membuatnya merasa bersalah pada cowok itu. “Dulu dia pernah suka sama gue.” jawab Luvena jujur.

“Terus, terus?” tanya Willy penasaran.

“Ya nggak gimana gimana.”

“Ye, kok gitu sih. Kalian ga pacaran dulu?”

“Kan tadi gue bilang ga pernah pacaran. Udah deh jangan bahas Irfan.”

“Oh, jadi Irfan namanya.”

Luvena tidak berniat membahas tentangnya dan Irfan lebih lanjut. Ia memilih diam sambil menatap ke arah tirai kamar rumah sakit. Di luar mulai gelap.

Pintu kamar rawat Willy terbuka. Menampakkan seorang wanita paruh baya yang memakai baju khas orang kantoran. Air muka Willy berubah.

“Astaga, sayang. Kamu kenapa bisa gini?” tanya orang itu. Kalian bisa memanggilnya, Marina, mama Willy.

Willy diam tak menjawab apapun. Sedangkan Luvena yang berada di sana merasa awkward. Ia tau kabar bagaimana keluarga Willy. Dan sekarang bertemu dengan orang tua Willy secara langsung, membuatnya bingung harus berbuat apa.

WarnaOnde histórias criam vida. Descubra agora