7. Naik Becak

149 23 0
                                    

- Dirimu yang apa adanya, aku suka. -

***

Seperti hari hari biasanya, Willy baru menginjakkan kakinya di rumah pukul setengah sepuluh malam. Setiap hari tak ada yang menunggunya. Mungkin hanya Bi Minah saja yang menunggunya pulang.

Bukan menjadi rahasia lagi bahwa keluarga Willy tidak harmonis. Kedua orang tuanya merupakan pebisnis yang sangat sibuk. Mereka jarang sekali berada di rumah. Sekalinya di rumah, hanya pertengkaran yang ada.

Kakak perempuannya telah menikah dan ikut suaminya tinggal di Jerman. Tinggal Willy sendirian.

Willy memarkirkan motor sport hitamnya di garasi. Mobil bmw hitam yang terparkir disana membuat Willy sedikit enggan memasuki rumahnya. Namun tak urung ia masuk juga ke rumahnya.

Willy membuka gagang pintu putih rumah bergaya mediterania itu. Seperti rumah bergaya mediterania pada umumnya, rumah itu bernuansa putih. Tak banyak dinding pembatas yang membuat rumah yang sudah luas itu terlihat begitu luas.

Sepi adalah kata yang mampu mendeskripsikan keaadan rumah. Willy melangkahkan kakinya menaiki tangga. Kamarnya berada di lantai dua.

“Willy, dari mana kamu? Jam segini baru pulang.” Suara berat itu menahan kaki Willy untuk menginjak anak tangga selanjutnya.

“Anda nggak perlu tau,” ucap Willy dingin tanpa mau menoleh ke belakang.

“Papa berhak tau. Papa ini orang tua kamu.”

Willy mendengus. Merasa kalimat itu hanyalah sekedar rangkaian kebohongan. “Yang namanya orang tua itu tidak akan membiarakan anaknya merasa hidup sendiri,” sinis Willy.

Ia melanjutkan menaiki anak tangga menuju kamarnya. Tak peduli suara di belakang yang meneriaki namanya. Semua selalu seperti ini. Dan Willy selalu malas berada di rumah jika orang itu—papanya, juga berada di rumah.

Setelah mengambil tas seragam sekolahnya untuk besok, Willy kembali keluar kamar. Willy ingin pergi, ya, karena papanya juga berada di rumah.

“Willy!! Mau kemana kamu?!”

Willy tidak mengindahkan teriakan itu. Menulikan telinga seolah tak mendengar apapun. Langkahnya terhenti ketika tangannya ditarik.

“Mau kemana kamu?!”

Wajah papa Willy memerah. Rupanya tingkat emosinya naik karena merasa tak dihargai sebagai orang tua.

Wajah Willy terlihat begitu dingin. “Kenapa papa peduli? Bukannya setiap hari papa nggak peduli?”

“Papa peduli, Will.”

“Bohong. Semua yang papa bilang itu nggak pernah ada buktinya. Semuanya cuma bullshit.”

Tak peduli seberapa kasar ucapannya. Willy hanya marah, pada hidupnya dan orang tuanya. Orang bilang hidup Willy sempurna. Hartanya melimpah ruah. Tapi yang Willy rasakan malah sebaliknya.

Willy menjalankan motornya keluar dari rumah. Entah mau kemana ia malam ini. Yang jelas ia tak mau berada di rumah.

***

Seperti biasa, Glofam tutup pukul setengah sebelas malam. Itu artinya para pegawai baru keluar Glofam di atas jam setengah sebelas. Saat ini Luvena dan Fajar tengah berjalan beriringan menuju tempat parkir.

“Mau dianter pulang, Na?” tawar Fajar.

Luvena tersenyum tipis kemudian menggeleng halus. “Kaya biasa, Kak. Kan aku bawa sepeda.”

WarnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang