19. Tentang Willy

118 13 0
                                    

- Setiap orang memiliki kisah pilu dalam hidupnya. Namun beberapa orang lebih memilih memakai topeng untuk menyembunyikannya. -

***

Ini kali pertama Luvena mengikuti pelajaran dengan tidak fokus. Ucapan Willy di koridor beberapa hari lalu terus mengganggu pikirannya. Ia tak mau terlalu percaya dengan apa yang Willy ucapkan. Tapi sisi hatinya meminta untuk mempercayai hal itu.

Rasa gelisah menjajah hatinya sekarang. Willy memang pernah berjanji untuk tidak menyakitinya, tapi Luvena tidak mau termakan oleh janji dari mulut si pematah hati. Ah, bahkan sekarang ia berstatus sebagai kekasih teman sekelasnya. Luvena meyakinkan dirinya agar tidak dengan mudah percaya.

Tidak pernah Luvena memikirkan hal semacam ini sebelumnya. Willy telah memberikan warna baru dalam hitam putih hidup Luvena. Mungkin warna merah yang sudah Willy tuang dalam hidup Luvena. Warna yang sering orang sebut sebagai lambang cinta dan kasih.

“Luvena?!”

Teriakan nyaring tersebut membangunkan Luvena dari lamunannya. Pak Sofan menatapnya garang, diikuti pandangan teman sekelasnya yang menatapnya kasihan. Terutama Sherly yang berada di sampingnya.

Luvena merutuki kebodohannya dalam hati. Ia sudah melamun di pelajaran yang salah. Pelajaran matematika di jam terakhir. Pak Sofan tidak akan melepaskannya sekarang. Ia juga tau apa yang akan didapatkannya setelah ini.

“Keluar kamu dari kelas saya!”

“Tapi, Pak...”

“Sekarang juga. Tutup pintu dari luar dan bawa tas kamu.”

Luvena hanya bisa berpasrah. Tidak mungkin baginya untuk melawan apa yang diperintahkan oleh salah satu guru yang mendapat julukan setan sekolah itu. Dengan gontai Luvena keluar dari kelas.

Willy memang benar – benar merubah hidup Luvena. Hanya karena memikirkan perkataannya, Luvena bisa terusir dari kelas. Pengalaman baru yang belum pernah ia dapat sebelumnya.

Luvena menghembuskan nafas kasar. “Sekarang apa?”

Mungkin bila anak badung yang mengalami ini, mereka akan senang setengah mati dan langsung mencari kesempatan untuk keluar dari sekolah. Tapi Luvena tidak. Satu – satunya tujuan yang Luvena punya sekarang adalah perpustakaan. Memangnya kemana lagi ia akan pergi sambil menunggu bel pulang berbunyi.

Luvena melangkahkan kaki dengan santai. Koridor masih sepi walaupun bel pulang tersisa kurang dari setengah jam lagi. Tak ada suara lain selain suara langkah kakinya. Sampai ketika ia berbelok di salah satu belokan, tubuhnya ditabrak dari depan.

“Astaga.” Luvena mendongak untuk melihat siapa yang menabraknya. Willy dengan wajah yang tidak seperti biasanya, marah dan terlihat begitu dingin.

“Will, jalan pake mata.”

Willy sama sekali tidak menggubris ucapan Luvena. Ia malah menarik Luvena untuk berbalik arah. Luvena kaget sampai kakinya sedikit terseret mengikuti langkah Willy yang cepat.

“Will, lo mau bawa gue kemana?”

Willy masih diam tak mau menjawab. Tatapannya yang begitu tajam lurus menatap ke depan. Menarik tangan Luvena dengan kuat.

“Will, lepasin,” pinta Luvena yang masih berusaha melepaskan tangannya.

Willy berhenti berjalan, kemudian menatap Luvena. Tatap matanya yang tajam sekaligus dingin dan penuh amarah, menghunus mata Luvena. “Temenin gue.”

Nadanya dingin. Seperti ada emosi yang tertahan dalam kalimatnya. Ini membuat Luvena bingung sekaligus takut. Belum pernah melihat ia Willy yang seperti ini sebelumnya. Tentang apa yang membuat cowok satu ini seperti ini sekarang, Luvena ingin tau.

WarnaWhere stories live. Discover now