25. Kesekian Kali

105 6 0
                                    

- Akan selalu menjadi hal yang wajar bila kita tidak mau melihat orang yang kita sayang disakiti dan bersedih -

***

Luvena terbangun dari tidurnya. Tadi setelah sholat isya, dia ketiduran. Mungkin karena saking capeknya. Pagi sampai siang di sekolah ia harus mewakili kelasnya untuk mengikuti classmeeting futsal cewek, lalu sorenya mengantar katering. Ya, di Angkasa memang selalu diadakan classmeeting olahraga untuk mengisi waktu luang setelah UAS.

Luvena mengucek matanya sebentar. Kemudian berdiri. Seharusnya tadi ia menemani anak - anak panti belajar karena mereka yang kebanyakan masih SD dan SMP baru menghadapi UAS. Luvena pun keluar dari kamarnya.

Ketika hendak menuju ruangan yang biasanya dipakai anak - anak panti belajar, Luvena samar - samar mendengar ada suara dari ruang tamu. Ia pun melangkahkan kakinya kesana terlebih dahulu. Ia cukup terkejut melihat bunda yang matanya sedang basah sedang bersama Willy di sebalahnya.

"Bunda?!" Luvena langsung menghampiri bunda dan Willy. "Bunda lo apain?" sungut Luvena.

"Willy nggak ngapa - ngapain, sayang. Cuma bunda aja yang sedih karena inget ayah, dan mama papamu," sahut bunda memberi penjelasan.

"Tuh. Suka banget deh negatif thinking kalo sama gue," bela Willy.

"Maaf."

"Ya sudah. Karena Luvena sudah bangun, bunda ke dalam dulu. Kalian lanjut aja ngobrolnya."

Selepas bunda pergi, Willy dan Luvena masih belum beranjak dari tempat mereka. Sebelum akhirnya Luvena bertanya, "Mau ngapain kesini?"

"Apel lah sama calon pacar."

"Apaan sih."

Luvena berjalan keluar rumah, menghindari Willy. Jangan sampai cowok itu tau bahwa ia merasakan panas pada daerah sekitar pipinya.

"Gitu ya sama gue mainnya kabur - kaburan. Maunya dikejar nih?"

Kontan saja Luvena berhenti berjalan lalu menoleh ke belakang. "Lo terlalu percaya diri," ucap Luvena sarkas.

Willy terkekeh. Ia mengikuti Luvena yang melanjutkan berjalan. Ia menuju ke taman belakang. Kemudian duduk di salah satu kursi disana. Tempat dimana pertama kali Willy datang kesini. Willy pun duduk di sebelah Luvena.

"Kenapa kesini? Pasti mau ngingetin pertama kali lo bawa gue kesini ya? Aduh, kalo itu mah nggak perlu diingetin gue juga udah pasti inget setiap saat."

"Diem, Will."

Luvena menatap ke langit. Menatap bintang malam yang rupanya cukup banyak malam itu. Ia tidak berbicara, hanya terdiam sambil sesekali memejamkan mata.

"Kenapa merem melek, Luv? Kelilipan ya?"

"Kangen orang tua gue."

Mendengar jawaban singkat Luvena barusan membuat mulut Willy mendadak bisu. Ia memperhatikan Luvena dari samping. Ia masih saja menatap langit malam. Entah benar atau tidak, Willy merasa ada sesuatu yang tertahan di balik sorot mata Luvena.

"Maaf," lirih Willy.

Mungkin sepatutnya Willy meminta maaf. Karena saat Luvena melihat air mata bunda dan mengetahui penyebabnya, ia mendadak juga merasakan hal yang sama.

"Lo nggak salah. Cuma emang gue lagi kangen aja sama mereka." Luvena memberi jeda sejenak pada kalimatnya. "Yang sama sekali nggak pernah gue lihat wajahnya kecuali lewat foto."

WarnaWhere stories live. Discover now