14. Setelah Tragedi

105 13 0
                                    

- Untuk orang yang berbeda, butuh perjuangan yang berbeda pula untuk mendapatkannya. -

***

Sesuatu yang pasti memang tidak bisa dihindari. Apa yang Willy lakukan kemarin menjadi perbincangan hangat di sekolah. Luvena benar benar di buat tidak tenang sejak kemarin. Hampir setiap Luvena lewat, semua menatapnya penasaran.

Hari ini ia tak berniat untuk pergi ke kantin. Alhasil dia membawa bekal nasi goreng yang ia masak sendiri tadi pagi. Sherly memahami hal itu. Jadi ia pergi ke kantin bersama Mikha dan lainnya.

Willy yang melihat Sherly tidak bersama Luvena mengernyit heran. Kemana cewek itu? Kenapa dia tidak pergi ke kantin?

"Nyari siapa, Will?" tanya Rega yang melihat mata Willy mondar - mandir melihat sekeliling kantin.

"Luvena. Kok dia nggak sama temennya yang kemarih sih?"

Teman teman Willy langsung menatapnya jahil. "Waduh, lo beneran klepek - klepek nih sama neng Luvena?" Reno menaik turunkan alisnya.

"Masih lo tanya aja, Ren. Santet gue manjur, nih. Karma on the way." sambar Panji.

"Ji, gue mau dong pelet. Buat melet Bu Novi. Biar klepek - klepek sama gue." Rega menatap antusias.

Willy tertawa menanggapi teman - temannya. "Ga, jangan Bu Novi. Lo nggak mau melet si Valen aja tuh?" Willy melirik cewek dengan perawakan kurus. Atlet karate yang merupakan musuh besar Rega.

"Ogah!"

Panji memasukkan cilok ke dalam mulutnya. "Jangan gitu, Ga. Ntar lo jadi suka sama dia."

"Ga bakal."

"Ga, benci dan cinta itu kaya cewek tulen sama banci Thailand. Serupa tapi tak sama. Hati - hati lo."

"Perumpamaan lo nggak ada yang lebih bagus, Ren?" Willy menegak habis minumannya. Kemudian berdiri.

"Mau kemana lo?" tanya Panji.

"Nyari bidadari. Siapa tau udah turun dari khayangan."

***

Luvena menghabisakan waktu istirahatnya di perpustakaan. Keberuntungan berada di pihak Luvena karena perpustakaan sepi. Ia bisa membaca novel yang baru ia beli beberapa waktu lalu dengan tenang. Setidaknya dengan membaca novel bisa menjauhkan pikirannya tentang kejadian kemarin.

Luvena selalu menyukai suasanya yang tenang. Namun ia tidak membenci keramaian. Ia hanya merasa tidak cocok dengan keramaian. Oleh karenanya ia selalu mencari kesempatan untuk menyendiri. Ini yang membuatnya terkesan tertutup dengan dunia luar.

Dering pada ponsel Luvena menghentikan aktivitasnya membaca novel. Ia melihat ada satu notifikasi line.

Willy Andrian : Serius amat baca bukunya. Liat ke pintu. Ada calon imam lo

Luvena mendelik kaget. Namun tak urung ia melihat ke arah pintu perpustakaan. Benar saja. Willy sedang bersandar di pintu perpustakaan.

"Mas, jangan berdiri di depan pintu. Tutup pintunya. Ini ruangan ber-AC." peringat Bu Lilis yang merupakan penjaga perpustakaan.

"Eh, iya, bu."

Willy menyingkir dari pintu kemudian menutupnya. Ia berjalan menuju Luvena yang seperti biasa duduk di sofa bagian sudut. Sedangkan Luvena yang melihat hal itu, langsung membereskan novelnya. Dia tidak akan membiarkan Willy membuatnya jadi bahan pembicaraan lagi meskipun sekarang perpustakaan sedang sepi.

Ketika Luvena berjalan dan berpapasan dengan Willy, cowok itu menahan tangan Luvena. "Will, lepasin."

"Mau kemana? Baru juga gue dateng."

WarnaWhere stories live. Discover now