18. Gelisah

112 16 1
                                    

- Terlalu larut dalam perkiraan sendiri terkadang membuat kita tak menyadari realita yang sudah tersaji di depan mata. -

***

Tadi setelah keluar Glofam, Irfan sengaja membelokkan motornya di salah satu gerai gelato. Ia ingin berlama – lama dengan Luvena. Meskipun sempat mendapat penolakan dari Luvena, namun akhirnya Luvena setuju. Lagipula ia juga sudah lama tidak mengobrol dengan Irfan.

Dulu, mereka sering menghabiskan waktu bersama. Membeli pangsit mie favorit mereka di dekat sekolah mereka, atau jajan es krim seperti sekarang. Luvena yang selalu menyukai rasa coklat dan Irfan yang tidak pernah bisa lepas dari rasa vanila.

“Udah lama ya, Na?” Irfan menyendokkan gelato dengan rasa vanila ke mulutnya.

“Lama apanya?”

“Ya gini.” Irfan memberi jeda. “Makan bareng, main bareng, belajar bareng.”

Luvena tersenyum tipis. Kenangan semasa SMP bersama Irfan menyapanya bergantian. Irfan yang dulu dijuluki setan sekolah itu selalu bersikap lain dengan dirinya. Membuat Luvena pun nyaman berteman dengan cowok itu. Dan menjadikannya satu – satunya sahabat yang ia punya.

“Gue kangen, Na,” lirih Irfan sambil menatap lurus mata Luvena. Menyiratkan apa yang ia rasa selama dua tahun lebih tidak bertemu Luvena. “Kangen kita yang dulu. Kalo lo gimana? Kangen ga?”

“G—Gue?” Luvena menelan ludahnya. Tiba – tiba ia merasa sedikit canggung.

Irfan mengangguk. “Pasti enggak ya? Udah ada pacar sih,” ledek Irfan dengan kekehan di akhir kalimat.

“Pac–Willy?!” Mata Luvena mendelik kaget karena melihat tiba – tiba ada Willy disana dan berjalan menuju mejanya dan Irfan. Mata Irfan kemana arah pandangan Luvena.

Willy yang masih memakai celana seragam dengan baju polo warna hitam berjalan menuju meja Luvena. Sorot matanya tampak tak suka, dan itu ia tujukan pada Irfan yang justru terlihat santai melihat Willy.

“Luv, lo kok disini sih?” tanya Willy.

Dahi Luvena mengernyit. “Kenapa emangnya?”

“Ya lo kan–udah ayo pulang.”

“Gue kesini sama Irfan, Will.”

“Pokoknya ayo pulang.” Willy menarik tangan Luvena untuk berdiri.

“Will, apaan sih. Lepasin.”

“Ayo, Luv.”

Irfan ikut berdiri. Dia melepaskan genggaman tangan Willy di tangan Luvena. “Kalo dia nggak mau mending ga usah maksa.”

Willy menatap Irfan tak suka. Entah kenapa melihat Luvena bersama Irfan membuat hatinya tak enak. “Lo siapa sih? Jangan ikut campur. Ini urusan gue sama pacar gue.”

“Will, stop.” Luvena menatap tajam mata Willy. Nada bicaranya meninggi. “Kita ini bukan pacar. Yang pacar lo itu Karin, bukan gue. Jadi stop bilang gue ini pacar lo.”

Entah apa yang membuat Luvena mengatakan hal itu. Yang jelas itu yang ia ketahui. Kebenaran baru yang membuatnya sedikit merasa gelisah sejak tadi siang Willy resmi menjadi pacar Karin. Meski dia sendiri belum tau apa yang membuatnya seperti itu.

“Oh, jadi lo bukan pacar Luvena?” Irfan melempar senyum remeh. “Lo nggak ada hak buat ngatur dia dong. Sekarang kita tau kalo lo itu bukan siapa – siapa.”

Ucapan Irfan barusan benar – benar memancing amarah Willy untuk naik. Tanpa menunda lagi, Willy melayangkan satu pukulan keras di pipi Irfan sampai membuat cowok itu tersungkur.

WarnaWhere stories live. Discover now