6. Taruhan?

141 21 0
                                    

- Dia berbeda. Orang sepertinya tak pantas dipermainkan -

***

"WOI!! PAK SOFAN NGGAK MASUK!! DIA NIKAHIN ANAKNYA"

Setelah Dana, ketua kelas 12 Ipa 4, mengumumkan bahwa guru matematika mereka tidak masuk, kelas berubah menjadi ricuh. Sorakan gembira berkobar ke seluruh penjuru kelas. Jamkos pelajaran matematika merupakan kejadian langka. Pak Sofan adalah tipikal guru yang rajin dan disiplin.

Beberapa anak berhamburan keluar kelas. Mungkin kantin yang mereka tuju. Sama seperti Sherly yang sekarang berniat mengajak Luvena ke kantin.

"Na, kantin yuk?" ajak Sherly.

Luvena menggeleng halus. "Nggak deh, Sher. Gue mau ke perpus."

"Perpus mulu, Na. Nggak bosen?"

Luvena tersenyum tipis. "Nggak."

"Ya udah deh. Gue ke kantin dulu ya?" Luvena mengangguk. Kemudian Sherly pergi meninggalkan Luvena.

Luvena memasang earphone di telinganya, memutar lagu nothing like us. Ia mengambil novel The Fault In Our Stars yang belum selesai ia baca. Kemudian melangkahkan kaki menuju ke perpustakaan.

Luvena berjalan di koridor sambil membaca novel. Matanya terfokus di sana. Sampai ia tak sadar ada empat cowok yang berjalan di belakangnya.

"Luvena!" panggil salah satu dari mereka, Willy. Namun karena ia memakai earphone, ia tak bisa mendengar panggilan Willy.

"Luvena. Kok gue dikacangin sih?" ucap Willy lagi. Respon Luvena yang masih sama membuat teman teman Willy terkekeh geli.

Willy pun mensejajarkan jalannya. Hingga akhirnya ia tepat berada di samping Luvena. Ia melihat Luvena dari samping yang sedang memakai earphone.

"Pantes."

Tanpa babibu lagi, Willy melepas earphone itu. Membuat Luvena berhenti berjalan karena terlonjak kaget.

"Apaan sih, Will. Kok lo cabut earphone gue," jutek Luvena.

Respon itu membuat tawa di belakang mengeras.

"Kok galak? Gue kan manggil tadi. Tapi lo nggak denger. Makanya gue cabut."

"Ya nggak harus di cabut juga," ucap Luvena lalu melanjutkan berjalan meninggalkan Willy.

"Kejar, bang, kejar," ledek Panji sambil tertawa. Willy memberikan tatapan tajamnya. Ancaman yang tak perlu digambarkan oleh kata kata. Diam.

"Mau kemana? Kok nggak pelajaran?"

Luvena mendesah kesal. "Lo sendiri? Ngapain ga pelajaran?" sindirnya.

"Cie mau tau nih ceritanya," goda Willy. Detik itu Luvena menyesal dengan apa yang ia ucapkan barusan.

"Terserah." Luvena mempercepat jalannya. Ia takut kalau ada yang memperhatikannya. Meskipun koridor sedang sepi sekarang.

Willy mencekal tangan Luvena. "Buru buru amat."

Luvena meronta ingin tangannya di lepas. Ia benar benar risih dengan ini. "Lepasin, Will." titahnya.

Seolah menulikan telinga, Willy tak melepaskan tangannya. "Guys, sini gue kenalin," ucap Willy pada ketiga temannya. Kemudian mereka mendekat.

"Banter amat, mas," sindir Reno sambil melirik tangan Willy yang mencekal tangan Luvena.

"Diem lo." Kemudian Willy menatap ke arah Luvena. "Nih kenalin. Bidadari bumi."

WarnaWhere stories live. Discover now