2.Butuh Menangis

7.2K 711 81
                                    

Aku menatap pantulan diri di depan cermin. Selama dua hari ini aku hanya tidur tiga jam karena menyelesaikan tugas sebelum ujian akhir semester. Dari mulai makalah, membuat video wawancara, sampai tugas-tugas mencari kutipan dari buku-buku. Kesibukan yang membuatku tidak begitu peduli dengan panggilan dari Azrof atau pesan singkat darinya. Tapi bukan berarti aku tidak menyadari bahwa sudah tiga hari belakangan ia tidak ada kabar.

Aku memang bukan tipikal perempuan yang gila kabar, dimana saat pacarnya tidak memberi kabar maka akan galau seharian atau berhari-hari. Aku cenderung lebih santai walaupun tidak bisa munafik juga terkadang terbesit kekhawatiran memikirkan kemana perginya laki-laki itu. Ternyata tidak selamanya tugas itu membawa pengaruh buruk, buktinya karena sibuk perhatianku mudah sekali teralih dari Azrof. Aku sangat bersyukur akan hal itu.

Kampus negeri biasanya UAS lebih dulu, kemarin mami bilang bahwa Sara akan pulang sabtu ini. Seharusnya Azrof juga karena mereka kan sekampus. Tapi aku tidak mau terlalu percaya diri bahwa Azrof juga akan pulang di hari yang sama dengan Sara. Karena jika kenyataannya tidak seperti itu maka aku sendiri yang akan kecewa.

"An, temenin mami ke supermarket yuk," mami yang tiba-tiba masuk tanpa mengetuk pintu lebih dulu itu pun menginterupsi kegiataanku.

"Mami ih, Anna kan udah bilang untuk—,"

"Ketuk pintu dulu sebelum masuk. Iya-iya maaf, Mami lupa." Mami melanjutkan kalimatku yang dipotong olehnya.

Aku mendengus sebal, "ngapain ke supermarket? Kan minggu lalu udah."

"Mami mau beli bahan-bahan makanan sekaligus cemilan yang banyak. Sara kan mau dateng jauh-jauh dari Bandung dua hari lagi, masa Mami ga siapin apa-apa."

Aku mendecak. Selalu saja Sara si anak emas baru mami. Semua orang membangga-banggakan kakak tiriku itu seperti ia tidak memiliki celah atau kekurangan. Padahal jika mau dibandingkan secara fisik pun wajah kami berdua tidak akan memiliki selisih yang jauh, lain jika perbandingan itu dilihat dari otak.

"Anna mau kerjain tugas,"

"Astaga, Anna. Kan tugas bisa nanti pulangnya. Masa tega ngebiarin Mami jalan sendirian? Biasanya kamu juga mau kalo diajak kemana-mana,"

Memang iya aku selalu mau diajak kemana pun, tapi tidak kali ini. Karena alasan mami berbelanja untuk memenuhi kebutuhan si Sara-sara itu. Lama-lama rasa kesalku bisa bertambah jika tidak ada orangnya saja semua orang senang membicarakannya. Bukan hanya mami dan papi, tapi supir, pembantu, satpam di rumah ini pun suka membicarakan Sara. 'Neng Sara tuh cantik pisan' kalau kata Mang Ulum—supir di sini.

"Kalo Mami sendiri ntar ga ada yang jaga, gimana? Kalo ada yang macem-macem? Mami kan gabisa bela diri kaya kamu."

"Mami lebay," aku kemudian bangkit dari kursi dan meraih jaket yang ku gantung di tempat gantungan baju. "Ayo." Ajakku yang melangkah melewati mami lebih dulu keluar kamar.

Karena aku selalu menghabiskan waktu hanya bersama mami setelah perceraiannya dengan papa saat aku SD, jadi mana mungkin aku membiarkan malaikat lebay ini pergi-pergi sendirian. Walaupun sekarang aku sudah punya papi baru, tapi menjaga mami masih tanggung jawabku sampai kapanpun. Kebahagiaannya berani ku taruhkan dengan rasa lelahku.

Kami berdua turun ke bawah dan melangkah menuju mobil. Mang Ulum tampaknya sudah siap karena ia berdiri di samping pintu mobil persis sembari memamerkan senyuman khasnya itu.

Women's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang