Epilog

9.8K 846 160
                                    

Dua tahun kemudian

Aku menuntun Kaaria yang sudah mulai bisa berjalan walaupun belum lancar. Hari ini Kaia melakukan selamatan di halaman belakang rumahnya untuk memperingati hari ulang tahun si kembar. Seharusnya pesta ini akan menjadi pesta anak kecil, namun karena si kembar belum masuk sekolah jadi anak-anak yang datang adalah anak dari rekan-rekan Kaia dan Romeo.

Seharusnya di usia 30, aku sudah menuntun anak seperti Kaia. Minimal sudah punya bayi lah. Tidak-tidak bukan itu minimalnya, tapi minimal sudah menikah.

"Panas ya, Nek," celetuk Marvin sembari menyedot minuman dari gelas kaca.

"Namanya juga siang. Terik lagi, masa dingin." Balasku diakhir decakan malas.

"Ya seharusnya dresscode summer gitu lah. Kan akika jadi bisa pake bikini. Ga baju begini," ia menoleh ke bawah. Menyesali pakaian kaos dan celana cokelat selutut itu.

"Udah pake kaos masih aja gerah." Sinisku kemudian memilih untuk menggendong Kaaria.

Aku meraih minum yang dibariskan di atas meja samping Marvin. Kemudian menyedotnya. "Mau?" Tawarku pada Kaaria.

Ia menggeleng kemudian memalingkan wajahnya ke kanan. Kedua tangan Kaaria melingkari leherku. Ia memang lebih manja daripada Romenia. Padahal Kaaria laki-laki.

"Cocok, Nek," celetuk Marvin lagi.

Aku meliriknya sembari meneguk minuman. Mengangkat kedua alis untuk memberikan respon bertanya.

"Cocok punya anak." Balasnya sebal karena aku tidak mengerti.

Ujung gelas ku jauhkan dari bibir. Hanya senyum tipis yang bisa ku berikan untuk menanggapi ocehan Marvin. Karena tidak tau apa yang harus aku ucapkan untuk meresponnya.

Sudah dua tahun berlalu dan aku belum menemukan pengganti Ghani. Bukan karena aku masih mencintainya, tapi lebih ke cukupnya perasaan nyaman yang ku dapat dari orang-orang sekitar. Alistair juga pernah bilang bahwa aku tidak harus menurunkan standar pasangan hanya karena memikirkan omongan orang-orang. Toh standarku memang tidak sesulit itu.

Seiring berjalannya waktu pikiranku mulai berubah. Pikiran yang merubah sikap sampai cara berbicara. Ya, walaupun terkadang aku masih sering mengumpat dan berbicara kasar. Tapi setidaknya sudah sedikit berkurang. Aku juga tidak terlalu banyak mengandalkan emosi seperti dulu. Jika ada masalah, aku lebih memilih untuk memikirkan dan merenungkan jalan terbaik. Emosiku juga sudah tidak mudah tersulut. Sudah dewasa, layaknya padi aku harus bisa lebih berisi dan merunduk.

Mengapa aku berubah? Karena aku ingin mendapatkan pasangan hidup yang sama sepertiku sekarang. Tau apa yang disuka, jauh lebih sabar, dan selalu bersyukur. Bukankah jodoh cerminan diri? Jika aku tetap bertahan dengan diriku yang dulu, maka pasanganku juga demikian. Dan hubungan kami hanya berisi pertengkaran membahas siapa yang lebih baik. Ewh, that's not what i want.

Aku menghela napas untuk mengisi udara di paru-paruku. Kemudian kembali meneguk minuman dari gelas.

Tatapanku berhenti di satu objek saat Romeo muncul dari dalam rumah bersama dua orang. Ia dan dua rekannya tampak akrab. Terlihat jelas dari tawa renyah mereka. Dan rasanya ini kali pertama aku melihat Romeo sebegitu akrab dengan orang.

Rasanya tidak banyak yang berubah. Hanya rambut yang lebih panjang dan dibuat bun, kemudian brewok dan kumis mulai tumbuh. Badannya lebih besar, bahkan aku bisa tau sekeras apa ototnya dari balik kemeja hitam yang ia kenakan. Tapi terlepas dari itu semua, senyumnya masih sama. Gaya bicara dan tatapannya saat bicara dengan orang lain juga tidak berubah. Bukan, bukan Romeo. Melainkan orang di sebelahnya.

Women's StoryWhere stories live. Discover now