27. Sensitif

3.8K 559 32
                                    

Aku men-scroll down layar ponsel yang menampilkan situs lowongan kerja. Mencari lowongan EO di perusahaan lain untuk Ghani. Live Summer —perusahaan tempatku dan Ghani berkerja merupakan perusahaan EO terbesar di Indonesia. Tidak perlu menjelaskan dalam bidang apa perusahaan kami bergerak, cukup memberitahu dimana tempat kami bekerja saja hampir semua orang sudah tau.

Masuk ke sana tidak mudah, semua orang tau. Tapi keluar dari sana yang sangat mudah. Bahkan aku tidak pernah dengar Pak Setiadji menahan karyawannya yang ingin resign. Ia membiarkan mereka keluar dengan mudah karena setiap tiga tahun sekali perusahaan menerima karyawan baru. Hampir seluruh karyawan yang bekerja di sana berusia dibawah 40 tahun. Pak Setiadji se-perfeksionis itu dan sangat ambisius untuk memperkerjakan karyawan yang baru lulus kuliah. Karena ia bilang, anak baru akan selalu melahirkan kreatifitas baru dan itulah yang dicari perusahaan.

Usia Ghani yang memang sudah menginjak kepala tiga membuatku khawatir ia akan sulit mendapatkan kerja. Walaupun pengalamannya banyak, tapi banyak perusahaan memilih yang masih muda. Ditambah lagi tidak semua perusahaan berani memberi gaji setara gaji Ghani dulu. Hal ini semakin membuatku uring-uringan sendiri. Rasa bersalah semakin berkecamuk dalam diri.

Event yang ku pegang akan dilaksanakan lusa, biasanya aku akan memberikan jiwa raga untuk event. Tapi setelah Ghani resign, aku selalu mencoba untuk ada di dekatnya. Meskipun ia tidak memintaku untuk bersikap seperti itu dan merasa iba, tetap saja aku selalu datang ke rumahnya selepas urusan kantor selesai. Seperti sekarang ini.

Ghani datang membawa laptop dan segelas kopi susu dingin. Ia meletakan gelas itu di atas meja. "Minum, An," ujarnya kemudian memangku laptop.

Aku melirik ke arah gelas, kemudian memilih untuk meraih gelas tersebut dan meminumnya. Saat sedang minum, aku melemparkan arah pandang pada Ghani. Ia tampak sibuk dengan laptop di pangkuannya.

Gelas itu ku jauhkan dari bibir, "ngerjain apa?" Tanyaku sembari kembali menaruh gelas.

"Edit video." Balasnya masih fokus.

Aku mengangguk sembari membulatkan mulut berbentuk huruf o. Memang tidak ada hal lain yang bisa dilakukan Ghani sekarang selain meng-upload video seminggu dua kali di Youtube. Ia semakin semangat dengan Youtubenya, bahkan kemarin ia cerita subscriber-nya sudah mencapai satu juta. Tampaknya ketenaran Ghani di Youtube selevel dengan Deddy Corbuzier sekarang.

Aku duduk mendekat di sebelahnya, melihat ke layar yang menampilkan video Ghani. Ada yang aneh di video tersebut, Ghani tidak menyanyi seperti biasa. Melainkan ia hanya mengoceh di sepanjang video yang berdurasi 12 menit.

"Kamu kok ga nyanyi?"

Ghani menoleh ke arahku sejenak, kemudian dua simpul bibirnya tertarik ke atas memperlihatkan senyum bangga. "Banyak yang minta aku buat QnA, karena katanya banyak yang mau mereka tanyain dan aku harus jawab semua pertanyaan itu. Ya ga semua sih, terlalu banyak, beberapa aja tapi mencakup pertanyaan banyak followers aku di Instagram."

Aku lagi-lagi hanya mengangguk. "Ada yang nanyain aku ga?" Tanyaku iseng.

Ghani tertawa renyah. "Banyak,"

"Oh ya? Nanya apa?"

"Nanyain kapan kita ketemu, dimana, terus kamu udah kerja apa masih kuliah. Gitu-gitu,"

"Oh gitu," aku lagi-lagi mengangguk sembari membulatkan mulut berbentuk huruf o.

Aku kembali melihat ponsel yang masih dalam keadaan menyala di sebelah kanan. Aku segera meraih kembali ponsel. "Oh iya, aku tadi liat-liat lowongan kerjaan. Ga ada lowongan EO sih, tapi ada lowongan jadi PR di salah satu brand fashion. Aku tau ini juga karena perusahaan ini sponsorin event-ku lusa. Gajinya lumayan, Ghan. Mungkin kalo mereka tau jabatan kamu dulu, dan pengalaman kamu, kemungkinan minta gaji lebih gede bisa, terus juga—,"

Women's StoryWhere stories live. Discover now