18. Alasan

4K 454 71
                                    

Aku melihat ke arah jam dinding yang menunjukan pukul sepuluh malam. Mataku sudah bengkak sampai rasanya sulit untuk melotot karena otot-otot mata terasa kaku.

Apakah ada kata yang memiliki makna lebih buruk dari kata bajingan? Sungguh aku ingin meneriakannya di depan wajah Azrof. Berteriak sampai urat leherku menonjol, dan suaraku habis keluar bersama teriakan emosi itu.

Kumpulan kertas yang seharusnya ku selesaikan dari siang tadi malah tidak tersentuh sama sekali hingga sekarang. Tiba-tiba saja satu nama terlintas di pikiranku yang kelut. Aku meraih ponsel, menghidupkannya karena sedari siang tadi ku matikan. Kemudian memilih opsi angka dua di layar panggilan.

Tut...tut....

Aku masih menunggu.

Tut...tut...

Ayo angkat, aku membutuhkanmu.

Tut...

"Halo?"

Aku menghela nafas pelan, akhirnya seseorang mengangkat panggilanku.

"Kenapa, Na?" Tanya seseorang dari sebrang sana.

"A-al, bisa ketemu?"

"Yah, Na, gue lagi jalan sama Naura. Jalan macet banget, gue belum sampe rumahnya Naura daritadi, mau anter dia balik. Kenapa emang? Penting banget?" 

Mendengar jawaban Alistair semakin membuatku merasa tidak penting. Aku menggeleng sembari mengigit bibir bawah kencang, menahan isak agar ia tidak tau bahwa aku sedang menangis.

"Ga penting, yaudah have fun ya."

"Haha, oke. Thanks." Tepat setelah ia mengucapkan kalimat terakhirnya, aku memutus sambungan.

Dengan tenaga yang sudah sisa sedikit karena ku habiskan dengan menangis ini, aku berdiri dan melangkah menuju lemari. Mengambil satu dress yang ku kenakan terakhir saat sweet seventeen temanku enam bulan lalu. Dress yang sangat pendek itu terus ku amati baik-baik. Terakhir menggunakannya aku harus kucing-kucingan dengan Mami dan Papi, Azrof pun tidak tau aku mengenakannya untuk acara ulang tahun yang dilaksanakan di sebuah kelab malam. Yap, acara semi bebas tanpa pengawasan orangtua. Bukan acara sweet seventeen yang benar-benar memiliki makna sweet di dalamnya. Acara itu diisi oleh mabuk, dansa tidak jelas, dan rangkaian acara yang kalian bisa bayangkan. Lalu jika kalian bertanya bagaimana temanku yang baru menginjak 17 itu masuk ke dalam kelab tanpa KTP? Jawabannya adalah dia sudah sering melakukannya sebelum berusia 17. Jadi tidak ada yang membingungkan lagi.

Aku segera masuk ke dalam kamar mandi, mencuci muka kemudian meraih riasan wajah dan dress tadi yang ku taruh di atas kasur. Aku segera keluar kamar, mengambil jalur pintu belakang untuk ke garasi. Kemudian aku pergi dari rumah setelah diam-diam menghidupkan mesin mobil.

Aku mengganti pakaian di mobil dan berias seadanya di mobil. Setidaknya aku tidak terlihat begitu berantakan sekarang.

Dua penjaga menanyakan ID card, yang ku berikan kepada mereka. Ini bukan kali pertama  aku ke sini, mungkin tiga. Temanku yang memaksa untukku membuat ID card, katanya ini akan memudahkan segalanya di sini. Jadi aku menurut saja.

Aku masuk ke dalam dan langsung disambut oleh dentuman musik yang kencang sampai rasanya ingin tuli. Jantungku berdegup kencang karena dentuman kencang musik di sini.

Tanpa pikir panjang aku langsung melangkah ke arah bar sesuai tujuanku. Kemudian memesan gin 5 shoots. Meminumnya pelan-pelan dan berharap setelah meminum ini aku dapat melupakan Azrof.

Aku terus meneguknya, sampai kepalaku terasa ringan dan aku bisa oleng jika aku berdiri. Seluruh tubuh terasa lemas dan ringan layaknya kapas. Astaga, aku benar-benar membutuhkannya.

Women's StoryWhere stories live. Discover now