17. Bioskop

4.3K 525 35
                                    

Setelah sarapan di kafe Alistair, Ghani kembali ke rumah sakit karena mamanya menelfon. Ia bilang aku lebih bakk tidak ikut karena papanya masih di sana dan ia tidak mau percakapan tidak mengenakan tadi pagi terulang. Oleh sebab itu aku menetap di kafe entah sampai kapan, dan dia sudah beranjak pergi satu jam lalu.

Karena kesepian, aku meminta Alistair menemani. Ia selalu mengenyampingkan pekerjaannya demi menemaniku, hal ini membuat perasaanku semakin jadi tiap bertemu dengannya.

"Kayanya udah akrab ya sama si atasan rese yang lo bilang itu?"

Aku mengangkat bahu, "gitu deh." Balasku singkat malas membahas Ghani lebih lanjut.

"Dia ngaku lo pacarnya tapi lo engga, sebenarnya kalian gimana?"

Aku melempar lirikan dengan alis bertaut, "hem.., nanya atas dasar cuma kepo atau peduli?"

Alistair tertawa kecil, "emang kepo sama peduli gabisa diliat bedanya?"

Aku ikut tertawa renyah. "Gue anggap aja lo peduli ya. Walaupun gue tau lo cuma kepo, but let me just pretend it,"

"Gue beneran peduli, An. Come on, kalo ga peduli gue ga akan nelantarin pekerjaan kaya gini,"

"Oke-oke," aku menghela napas sebelum berbicara. "Gue sama dia pacaran kontrak." Jelasku.

"Hah? Kontrak? Maksudnya?"

"Gue pacaran sama dia cuma untuk dipamerin di cewe yang dia suka tapi udah nikah doang awalnya, tapi berita itu malah nyebar sampe keluarga besarnya maksa mau ketemu gue, ya jadi gue sama dia terpaksa bohong lagi. Tapi untuk pura-pura di depan keluarganya gue punya kontrak. Semacam kontrak kerja, gue dapet uang dari pura-pura ini. Ya cuma sebatas itu doang sih," jelasku.

Alistair terdiam, menatapku dalam membuatku balik melemparkan tatapan bertanya padanya.

"Dia keliatan suka benaran sama lo."

"Dia desprate karena cewe yang dia suka udah married."

Alistair mengangguk paham. "Oh gitu, make sense,"

"Ngomong-ngomong, weekend ini ada acara?" Tambah Alistair.

"Ada. Gue mau cek tempat acara untuk yang kedua kalinya. Kenapa?"

"Oh, gapapa. Tadinya gue mau ajak lo nonton, udah lama gue ga ke bioskop. Takut lupa bentuk bioskop gimana," ujarnya diakhiri tawa renyah.

Aku ikut tertawa mendengar ucapannya. Pembicaraan dengan Alistair memang akan selalu menyenangkan. Entah karena suasana hati yang selalu gembira saat bertemunya atau memang ujarannya yang dapat selalu memecah keheningan.

"Hahahaha, lucu-lucu. Well, kalo cuma mau liat bentuk bioskop, kenapa kita ga nonton sekarang aja?" Usulku.

Alistair tampak menimbang-nimbang jawaban. "Uhm, kafe hari minggu gini biasanya rame, Na. Ga enak sama Om kalo gue keluyuran dan ga mantau kafe,"

"Senin sampe Minggu kemarin-kemarin lo selalu di kafe. Hidup lo itu full untuk kafe, sekali-kali libur ga masalah, Al. Memang ga cape kerja terus?"

"Cape sih, tapi gue udah komitmen dari awal sama Om. Lo tau kan gue gimana soal kerjaan?"

Aku menghela napas kemudian mendecak. "Come on, gue juga workaholic. Tapi gue ga menyerahkan hidup gue juga di kerjaan. Komitmen dan tanggung jawab emang pasti, tapi kita manusia, Al. Butuh istirahat."

Alistair menatapku tepat di manik mata. Aku mencoba meyakinkannya melalui tatapan. Sela berapa detik kemudian ia menghela napas pasrah.

"Oke," alistair melepas ikatan celemek yang terikat di pinggangnya, kemudian melepaskan kaitan celemek di lehernya. "Cek film bagus yang lagi main hari ini. Pastiin gue ga sia-sia nonton film itu." Ia kemudian berdiri dan masuk ke dalam bagian pelayanan.

Women's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang