32. Rumah Sebenarnya

4.4K 564 57
                                    

Aroma Lavender menusuk indra penciuman saat aku tiba di ruangan dengan dominasi warna putih. Sofa dan hampir seluruh furniture di sini berwarna putih. Hanya tv, remot, dan pot dengan kaktus di atasnya saja yang berbeda warna dan tampak kontras. Sisanya, semua warna putih.

Aku lupa kapan terakhir kali aku kemari, rasanya sudah lama betul. Rumah dengan bangunan tua yang dulu sering menjadi tempatku bermain dengan Alistair kini sudah berubah drastis menjadi rumah dengan desain modern. Dulu rumah ini dindingnya tembok beton biasa, kini beberapa bagiannya berubah menjadi kaca berukuran besar yang membuat kita bisa langsung melihat view kolam renang dari dalam ruang tamu.

Alistair pernah bilang ia sudah merenovasi rumahnya, tapi aku tidak sempat berkunjung ke sini karena sibuk di kantor. Sampai pada akhirnya baru sempat datang setelah hampir dua tahun berlalu.

"Ini minumnya, Mba Anna," ujar Alistair sembari meletakan kopi susu hangat di atas meja. Kemudian ia mendaratkan bokongnya di sampingku.

"Tumben dateng ke rumah, malem-malem lagi. Ada apa?" Tanyanya sembari menyeruput kopi dari mug.

Aku menghela napas sembari melihat ke sekitar. "Mau main aja, kan belum sempat liat hasil renovasi. Jadi..., yaudah dateng deh."

Alistair menganggukan kepala sembari membulatkan mulut berbentuk huruf o. Kemudian ia menekan remot untuk menghidupkan tv di depannya. "Emangnya ga cape abis balik kantor langsung ke sini?"

Aku menggeleng cepat. "Di kantor gue juga cuma ngajarin anak magang, udah ga hektik kaya kemarin-marin."

Alistair lagi-lagi mengangguk. Ia kemudian memandang lurus ke depan menonton berita malam.

Sementara aku yang duduk di sebelahnya malah lebih tertarik menatap wajah Alistair dari samping dibandingkan menonton berita. Alistair memang tidak setampan Ghani, tapi wajahnya manis sekali jika diperhatikan. Alistair juga tampak santai dengan penampilannya, ia tidak peduli dengan pomade untuk mengatur rambut, tidak peduli juga dengan barang-barang kekinian, dan hal ini yang mungkin membuatku nyaman berada di dekatnya.

Aku tidak perlu selalu cantik untuk selalu berada di samping Alistair, karena ia tidak pernah mengomentari penampilanku sekali pun. Ia juga akan berbicara dengan nada yang sama setiap kali kita mengobrol. Ia tidak pernah membuat diriku menjadi orang lain saat berada di dekatnya. Alistair benar-benar membuatku nyaman tanpa aku sadari. Bagaikan kasur yang selalu menerimaku datang dalam keadaan lelah.

Alistair menoleh, membuat mata kami bertemu. Sontak aku terkejut dan menoleh ke lain arah untuk menghindari kontak mata dengannya, walaupun itu semua sia-sia karena aku sudah tertangkap basah memperhatikannya.

Alistair mengulum senyum, "kenapa ngeliatin gue kaya tadi?" Tanyanya.

"Eung..., engga ah gue lagi bengong aja tadi." Alibiku.

Ia tertawa kecil. "Pake salting segala, santai aja sih, Na. Gue juga suka ngeliatin lo kok, cuma strategi gue pinter ga kaya lo barusan."

Aku menoleh, mendapati Alistair yang tengah tertawa kecil. Aku mendecak, "ck, liat-liat bayar."

"Bayar pake mas kawin mau?" Ucapnya masih dengan senyum lebar.

Sontak aku terdiam. Walaupun bisa saja Alistair mengucapkan kalimat tersebut hanya untuk bercanda, tapi aku terlalu sensitif belakangan ini dengan hal-hal berbau pernikahan. Entahlah, mungkin faktor umur.

Sudut bibir sebelah kiriku tertarik ke atas. "Becanda kan?"

Kini gantian bibirnya yang berhenti tersenyum. Sudut bibir Alistair kembali ke garis semula. Ia menatapku dalam dengan tatapan merasa bersalah. Dan hal ini membuatku semakin merasa mudah dipermainkan masalah hati. Ada yang luntur begitu saja dalam hati walaupun aku tidak tau apa itu.

Women's StoryWhere stories live. Discover now