30. Selesai

3.9K 629 51
                                    

Aku mengajak Ghani makan siang bersama di salah satu restoran hari ini. Sudah lama juga tidak bertemu dengannya, minggu ini akan menjadi minggu ketiga kami tidak bertemu jika saja aku tidak mengajaknya makan siang bersama. Berbicara lewat telepon dalam seminggu hanya tiga kali, chatting pun kami jarang. Selain aku yang memilih menyibukan diri soal kerjaan untuk membimbing anak-anak magang, ia sepertinya juga lebih memilih melayani followers dan beberapa hari lalu aku sempat stalking akun instagramnya, ia terlibat kerjasama dengan Youtubers lain untuk membuat collab video.

Suara nyanyian dari Radio mengisi kesunyian antara aku dan Ghani saat kita tidak berbicara. Hening sampai aku bisa merasa tenang dan mengantuk.

"Kamu ga ada yang mau dibahas? Ngomongin apa gitu?" Tanyaku sebal karena sedari tadi selalu aku yang mencoba mengajaknya bicara.

"Ngomong apa? Aku ga ada kesibukan lain selain buat video. Kamu kan tau sendiri," balasnya santai, tidak ada emosi apapun dalam perkataannya.

Aku hanya menghembuskan napas pasrah. Mengalah seperti apa yang aku harus lakukan pada Ghani? Aku mengalah dengan selalu mencoba membuka percakapan, kemudian mengalah untuk selalu mereda emosi dan tidak menuntaskan pembicaraan yang akan berdampak pertengkaran, aku mengalah untuk selalu membalas pesan dan menerima telepon di saat aku sedang bekerja. Apakah mengalah sebegitu banyaknya masih belum cukup?

Terkadang aku berpikir apa yang membuatku masih bertahan dengannya saat berada di titik jenuh seperti sekarang. Apakah aku takut tidak mendapatkan pendamping jika aku putus darinya? Atau aku memang sudah benar-benar berada di zona nyamanku sehingga rasanya sulit untuk keluar? Karena meskipun aku jengah dan jenuh dengan hubungan ini, perpisahan tidak pernah terbesit di pikiranku. Jika saja alasanku mempertahankan hubungan karena Ghani adalah sosok idealku, jujur kini tidak lagi. Ia kehilangan aura charming seorang Ghani Suryadiningrat yang ku suka semenjak beberapa bulan belakangan ini.

Aku menghela napas dalam entah untuk yang keberapa kalinya. Kemudian telunjukku memilih untuk menekan layar sentuh radio dan mengganti-gantinya. Mencari lagu yang bisa ku nyanyikan untuk membunuh bosan.

"Kerjaan gimana?" Akhirnya Ghani membuka percakapan.

Aku kembali duduk, melihat ke arahnya dengan tatapan senang. "Baik. Baik banget. Aku disuruh ngebimbing anak magang dan ga dikasih event dulu untuk sebulan ke depan. Tapi aku tetep dapet bonus. So, iam so happy."

Ghani mengangguk sembari membulatkan mulutnya berbentuk huruf o. Ia kembali fokus menyetir dan tidak ada lagi obrolan antara kami yang dimulai dari pertanyaannya. Selalu aku yang bertanya tentang kehidupannya, seolah-olah kehidupanku tidak ada yang menarik yang ingin ia tau.

Keheningan itu berlanjut sampai kami tiba di tujuan. Aku memilih lebih dulu turun dari mobil dan berjalan beberapa langkah ke depan sembari menunggu Ghani. Setelah mengunci mobil ia menyusulku dan berjalan di sampingku.

Ghani tidak menggandeng tanganku saat kami masuk ke dalam restoran. Tidak mengharapkannya juga sih, tapi ia terasa benar-benar cuek. Sangat-sangat berbeda dengan Ghani yang dulu. Ghani yang selalu bisa membuat darahku berdesir hangat karena perlakuan sepele namun berdampak besar untuk hatiku.

Seperti biasa, aku memilih duduk di salah satu meja yang berada di tengah-tengah restoran. Ghani hanya mengikuti saja dan tidak banyak komentar.

"An, aku mau buat vlog ya," ia mengeluarkan kamera dari tas. Yap, Ghani dan kamera sudah tidak bisa dipisahkan. Benda itu seakan magnet dengan kutub negatif yang akan terus menempel dan saling tarik dengan diri Ghani sebagai kutub positif.

Aku mencoba mengacuhkan Ghani yang sedang berbicara pada kameranya. "Mas," aku mengangkat tangan untuk memanggil pelayan.

Pelayan pria itu datang sembari membawa dua buku menu. Ia memberikannya kepadaku dan Ghani.

Women's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang