8. Bantuan

4.8K 611 31
                                    

"Anna!" ujarnya dengan suara khas yang membuat bulu kudukku berdiri mendengarnya.

"I-iya, Mas,"

"Kita sudah terlambat sepuluh menit sekarang." Katanya sembari melihat ke arah arloji di lengan kirinya.

"Ma-maaf, Mas. Lagi di-print kok. Sebentar lagi selesai," belaku.

"Kenapa kamu bisa lupa hal sepenting ini? Apa yang kamu pikirkan di rumah?"

"S-saya mengerjakan tugas-tugas dari Mas yang harus dibahas tadi pagi, maaf , Mas."

"Wajar jika posisi kamu diganti, kerjanya ga becus."

Sialan, ia mulai membahas-bahas hal ini lagi. Menurutku perubahan jabatan yang dilakukan Pak Setiadji saat Ghani mulai tiba di rapat hari itu adalah aib dalam dunia karirku. Dan aku membenci apabila ada yang membahas-bahasnya, terlebih lagi yang membahasnya adalah orang yang menggantikan posisiku.

Aku mencoba menghela nafas dan meredam emosi. Karena debat dengan Ghani pun sia-sia karena berujung ia yang tidak menghiraukanku, jadi sudah cukup debat tadi pagi.

Aku mencoba tidak menghiraukannya sembari meraih surat itu dari printer dan memasukannya ke dalam amplop cokelat kosong yang ada di atas meja Vivi. Kemudian memilih untuk berlalu lebih dulu dan tidak menghiraukan keberadaan Ghani.

Sembilan puluh persen aku yakin bahwa semua karyawan di barisan kubikel sebelah bisa mendengar apa yang Ghani bicarakan. Sepertinya keberadaan Ghani menambah topik gosip para karyawan lain mengenai dirikku. Astaga, jika bukan karena menjaga profesionalitas dalam kerja, aku sudah tampar Ghani dari kemarin-kemarin.

Kami berdua masuk ke dalam lift bersama. Suasana di dalam lift hening, aku tidak niat dan tidak ingin bicara sementara Ghani juga memilih diam. Dan saat lift itu terbuka di lantai paling bawah, Ghani keluar lebih dulu disusul dengan aku yang berada di bawahnya.

"Pake mobil saya aja," ujarnya melangkah menuju Range Rover hitam yang terparkir di bagian khusus atasan dan orang-orang penting di kantor.

Semakin dongkol saja aku melihatnya.

Ghani menekan tombol buka kunci pada mobil, kemudian ia masuk ke dalam diikuti dengan aku. Ia mulai menghidupkan mesin mobil kemudian menjalankannya.

Sepanjang jalan aku dan Ghani saling bungkam. Selain tidak ada topik pembicaraan, aku juga ogah diajak ngobrol olehnya jika ia mencoba mengajakku mengobrol.

Setelah tiga puluh menit di jalan, kami berdua tiba di sebuah restorant mewah yang berada di rooftop salah satu gedung tinggi ibukota. Aku turun lebih dulu dari mobil diikuti oleh Ghani, kami berdua melangkah memasuki gedung dan masuk kembali ke dalam lift untuk menuju restorant.

Saat lift kembali terbuka, aku dan Ghani segera melangkah masuk ke restoran dan menemui pihak dari GBK.

Dua orang pria dengan tubuh gempal dan setelan jasnya itu tengah menikmati makan di bagian luar restorant dekat dengan kolam renang. Tawa mereka segera sirna begitu melihat kedatangan aku dan Ghani yang mengenakan name tag kantor.

Ghani tersenyum dan mengucapkan selamat siang kepada keduanya. Kemudian ia menarik salah satu kursi yang berada di hadapan mereka dan mendaratkan bokongnya di sana, begitu pun dengan aku.

Women's StoryWhere stories live. Discover now