31. Anna Baru

4.1K 602 40
                                    

Seminggu ini aku selalu langsung pulang ke rumah setelah dari kantor. Sesampainya di rumah aku juga langsung masuk kamar, atau paling-paling duduk di taman belakang sembari melihat langit malam yang kadang tak berbintang. Melihat hempasan langit sembari memikirkan apa yang aku harus lakukan untuk ke depannya. Tapi sekarang aku memutuskan untuk mampir ke kafe Alistair demi secangkir white coffe yang sudah lama tidak ku minum.

Pria dengan celemek hitamnya datang menghampiriku sembari membawa secangkir kopi hangat. "White coffe buat Annastasia Putri yang sekarang sombong," Alistair meletakan secangkir kopi itu di hadapanku.

Aku berdecak, "ck. Sombong darimana?"

"Gue telfon ga pernah diangkat. SMS, chat juga balesnya kaya mau-mau engga-engga. Kenapa si? Ngehindarin gue?"

Aku memang sudah lama tidak bertemu Alistair semenjak menjalin hubungan sungguhan dengan Ghani. Hampir tidak pernah. Karena Ghani sangat cemburu jika aku bersama Alistair dan aku malas melihat mereka bertengkar karena cemburu butanya Ghani. Jadi aku memang menghindar dari Alistair.

Soal telfon dan pesan singkat, aku memang tidak terlalu sering memainkan ponsel dan membalas pesan singkat. Jika memang ada yang perlu dibicarakan lebih baik bertemu langsung, karena telfon kurang efektif juga untukku.

Asap yang mengepul dari cangkir semakin meningkatkan nafsuku pada kopi. Aku meraih cangkir di atas meja kemudian menyesap white coffe secara perlahan. Meletakannya lagi setelah berhasil menyesap tiga kali. "Gue sibuk banget kemarin-marin. Gausah sama lo, Al, sama Kaia dan Marvin aja gue hampir ga pernah ketemu. Lo taulah seberapa besarnya kerjaan mengontrol diri gue." Alibiku.

Alistair menaikan satu alis dengan kedua sudut bibir yang tertarik ke bawah, kemudian dia mengangguk pelan. "Gue pikir lo menjauh dari gue karena omongan pas di Bioskop."

Deg. Jantungku serasa dibogem oleh batu besar. Tiba-tiba saja atmosfer di sekelilingku terasa berubah. Agak mencekam sehingga membuatku sedikit gugup. Musik klasik yang mengalun di kafe untuk membantu meditasi setiap pengunjung yang stres pun seakan tidak bisa meluruskan pikiranku.

Setelah aku menerima Ghani menjadi kekasihku, pernyataan dalam bentuk pertanyaan Alistair di bioskop seakan lenyap dari pikiran. Rasanya aku terlalu terbuai dalam hubungan dengan Ghani sehingga pikiranku hanya dikuasai oleh dua hal; Ghani dan kerjaan. Tidak ada yang lain. Saking terbuainya aku seakan kehilangan perasaan pada Alistair, seperti menguap begitu saja dengan sendirinya. Ck, aku merasa seperti ABG yang memilih bocah tampan untuk menjadi kekasih dibandingkan bocah si juara kelas yang tekun. Seperti ada gengsi tersendiri berpacaran dengan si bocah tampan itu walaupun rupanya hubungan berakhir lebih cepat dari proses pembuatan bayi.

Merasa tidak ada jawaban dariku, Alistair tertawa kecil. Wajah manisnya yang semula mulai menyeramkan untukku kini kembali. "ABG yang duduk di sana ngeliatin lo mulu, An," Alistair menunjuk ke arah jam tiga dengan dagunya.

Aku menoleh dan mendapati ada sekumpulan anak SMA— yang tampaknya baru pulang sekolah karena masih menggunakan seragam sedang berbisik dan melihat ke arahku. Tidak ambil pusing, aku kembali menoleh dan hanya mengangkat bahu.

"Ada masalah sama Ghani?" Alistair menatapku dengan raut wajah tenang.

Aku mengernyitkan dahi, "ga ada kayanya."

Alistair tersenyum simpul, "walaupun lo ga kasih gue jawaban, tapi gue tau kok lo sama Ghani pacaran."

Badanku terasa kaku saat Alistair mengucapkan kalimat barusan. Rasa tidak enakku semakin bertambah padanya. Sial, mengapa jadi sesusah ini menjelaskan semuanya pada Alistair?!

"I was." Balasku gugup sembari kembali meraih cangkir dan menyesap kopi hangat yang sudah mulai agak dingin.

"Maksudnya?" Alis Alistair bertaut.

Women's StoryTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon