3.Pergi

6.5K 678 47
                                    


Setelah menuntaskan kuliah, Sara dan Azrof menikah. Kemudian mereka memutuskan untuk tinggal berdua. Memang sudah seharusnya seperti itu, tapi yang membuat hatiku semakin sakit adalah Sara dan Azrof memilih tinggal di Sydney, tempat dimana kakek dan nenek Azrof tinggal. Dulu ia pernah menjanjikanku tiket ke Sydney untuk bertemu keluarga besarnya, tapi sekarang bukan aku yang berangkat bersamanya melainkan Sara—kakak tiriku.

Aku tidak ingin terlihat lemah di hadapan keluarga, terutama Azrof. Memutuskan untuk mengantar mereka sampai bandara ku rasa cukup untuk menunjukan bahwa aku sudah move on dan sangat amat mengikhlaskan hubungan mereka. Walaupun sebenarnya hatiku berkata lain.

Sara dan aku memang tidak terlalu dekat, tapi ia cukup tau diri bahwa apa yang ia lakukan padaku termasuk kategori sadis. Oleh sebab itu saat ia akan masuk ke bagian check in, Sara mendekat ke arahku.

Bibir tipisnya tersenyum, rambut yang ia gerai tertiup angin membuat beberapa helai menutup wajahnya. Melihat betapa sempurnanya Sara, lagi-lagi membuat hatiku serasa dicubit. Benar kata semua orang, Sara dan aku tidaklah lain merupakan visualisasi dari pribahasa bagaikan langit dan bumi. Seperti tidak ada yang cacat dalam diri kakak tiriku ini.

"Na, Kakak pamit," ujarnya sembari menatapku dalam.

Hanya senyum terpaksa yang ku berikan sebagai jawaban. Bibirku mendadak kaku diikuti lidah yang kelu.

"Nanti Kakak akan usahakan sering hubungi kamu, Papi, Mami. Pasti." Tambahnya.

Lagi-lagi aku hanya tersenyum. Menyadari bahwa aku enggan menanggapinya, Sara beranjak dari hadapanku sembari menarik koper. Posisinya secepat angin tergantikan oleh Azrof. Ia berdiri di hadapanku dengan wajah bersalah dan kusut.

"Na," ucapnya dengan suara serak.

Aku mengalihkan pandangan ke arah lain. Bagus tinggi kami berbeda jauh, sehingga saat berdiri berhadapan aku tidak langsung bertatapan dengan sepasang matanya melainkan bertatapan dengan pundak Azrof.

"Aku tau ngejelasin kejadian gimana semuanya terjadi sekarang itu udah terlambat, tapi aku cuma mau kasih tau kamu satu hal bahwa aku benar-benar menyesal pernah buat sakit hati kamu. Anna, kamu berhak dapet seseorang yang jauh lebih baik dari aku-- ,"

"Jelas." Jawabku disela-sela ucapannya.

Azrof menghela nafas, kepalanya menunduk. "Aku cuma berharap dengan menghilangnya aku dari hidup kamu setelah ini, kamu bisa bahagia."

Dasar, otak udang! Sejauh apapun posisi kamu, kalau hati aku masih ada di kamu, ya sama aja. Ga akan ada bahagia-bahagia brengsek kaya yang kamu harapin di hidup aku setelah ini, Azrof. Hidup aku akan kelabu setelah kamu pergi dan terlebih lagi aku tau kamu ga akan pernah kembali padaku. Jadi, bahagia seperti apa yang sebenarnya kamu maksud?

Aku mendecak sembari tersenyum miring. Mengeluarkan ekspresi jahat seperti ini padanya malah membuat hatiku sakit sendiri. Aku memang lemah dengan cinta.

"Jaga diri kamu baik-baik, aku pamit." Ia menepuk pundak sebelah kiriku sebelum pada akhirnya berlalu.

Mataku kembali memanas, aku mendangakkan kepala untuk menatap langit-langit bandara. Menghirup oksigen sebanyak mungkin untuk menghilangkan sesak . Tapi percuma, sebanyak apapun oksigen ku hirup, rasa sesak itu tidak juga hilang.

Women's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang