33. Perbaikan

5.8K 634 35
                                    

Hari ini akan menjadi hari terakhir aku membimbing anak magang. Agak sedih juga sih, karena pasti setelahnya aku akan mendapatkan kerjaan mengurus event lagi. Dan jam pulang kerja tidak berarti kerjaanku selesai, karena di rumah aku tetap saja mengurus persiapan event.

Aku memasukan tablet ke dalam tas, kemudian menyerotnya dan menenteng tas keluaran LV tahun lalu. Dengan sedikit lelah aku melangkah keluar dari ruangan menuju lift. Sudah banyak karyawan yang pulang, hanya sisa beberapa saja yang tampak kerja rodi dengan laptopnya. Melihat suasana kantor sudah sepi aku jadi semakin ingin cepat-cepat pulang.

Ting...

Pintu lift terbuka di lantai satu. Aku keluar dari lift melanjutkan langkah keluar kantor. Namun pemandangan di depanku membuat langkahku terhenti. Tiba-tiba saja degup jantungku seakan berhenti karena terlalu terkejut. Aliran darah dari kepala sampai kaki terasa begitu cepat hingga alas heels yang ku gunakan terasa begitu menempel dengan lantai.

Sialan. Di luar turun hujan. Mobilku parkir di kafe samping karena tadi aku kesiangan dan tidak dapat parkir. Padahal seharusnya dengan jabatan ini aku mendapatkan parkir khusus.

Tapi bukan hanya hujan yang membuat suasana hatiku berubah. Sosok pria bertubuh tinggi dengan rambut rapih klimis inilah yang lebih berpengaruh terhadap perasaanku.

Ia melangkah mendekat sementara kakiku masih terasa sulit digerakan barang se-centi saja. Terus mendekat hingga berhenti di jarak sekitar 50cm. Ia menatapku dalam. Raut wajah mendung dengan kilat mata sedih. Itulah yang ku tatap sekarang.

"Aku mau bicara." Ujarnya tanpa ekspresi. Ia seakan mati jiwa.

"Tentang?" Balasku.

"Masa lalu, sekarang, dan nanti." Bahkan cara bicaranya terasa asing di telingaku.

"We're done. Just accept it." Aku mencoba memberi penjelasan dengan sedikit ekspresi menyepelekan.

"Belum. Tapi bisa aja setelah ini iya. Tapi please kasih aku waktu untuk bicara." Kilat sedih matanya seakan memberikan sedikit cakaran di hatiku.

Refleks aku mengangguk. Hati sudah menguasai akal sekarang. Anna sudah kembali menjadi bodoh jika di hadapkan dengan hal semacam ini. Sialan.

Ia melangkah di depanku dan aku mengikutinya dari belakang. Saat sampai di pintu depan, Ghani membuka payungnya dan memayungi tubuh kami berdua sampai masuk mobil.

Tangannya bergerak untuk menghidupkan mobil, tapi aku menahannya. Aku sedang tidak dalam suasana hati yang baik untuk mengobrol di kafe, restoran, atau tempat semacamnya. Aku membutuhkan keheningan agar dapat berpikir untuk menjawab penjelasannya nanti.

"Oke." Jawab Ghani seakan mengerti. Ia kemudian menghidupkan mobilnya untuk menyalahkan AC, dan tetap tidak menggerakan persneling.

"Cepetan. Ga punya banyak waktu." Ujarku ketus.

Ghani mengangguk. Ia menghela napas dalam, kemudian matanya terpejam beberapa detik seakan ia sedang menyusun kalimat sebaik mungkin.

"Aku mau nikah sama kamu."

Refleks aku menoleh ke arahnya. Dahiku berkerut diikuti dengan mata sedikit membelak. "Sinting lo ya." Hanya itu yang mampu keluar dari mulutku.

"Gue serius." Balasnya mencoba meyakinkan.

"Kita udah putus. Ga usah bego." Ketusku.

"Come on, An. Kita bukan ABG yang sekali berantem besar terus teriak-teriakan mau pisah dan menganggap itu pisah dan akhir beneran. Karena personally gue anggep kemarin itu pertengkaran biasa kita. Dan setelah kita renggang beberapa minggu ini, kita jadi bisa saling pikir apa yang salah dan gimana cara membenarkannya. And i know how to fix it. Gue tau gimana caranya. Lo mau hubungan kita lebih dari pacaran kan? Then i ask you now. Will you marry me?" Ghani mengucapkan perkataannya dengan percaya diri dan seakan tidak ada yang salah dari keputusan konyolnya ini.

Women's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang