21. Rahasia gelap

4.8K 640 64
                                    

Setelah event berlangsung, aku mendapatkan jadwal libur sampai pada event berikutnya. Biasanya hanya jarak satu sampai dua minggu, karena perusahaan tempatku kerja merupakan salah satu perusahaan EO terbesar di Indonesia. Cukup sebut nama perusahaan saja, pasti sebagian generasi muda pecinta konser tau. Dan hal ini membuat perusahaan kebanjiran  job menangani event-event lainnya.

Kedatangan Azrof dan Sara benar-benar bagaikan parasit, sangat menggangu. Waktu libur yang seharusnya ku gunakan untuk leyeh-leyeh di rumah jadi malas ku lakukan. Setiap buka pintu kamar, suara dari lantai bawah yang terdengar membuatku malas untuk ikut nimbrung. Tapi kali ini aku terpaksa  gabung karena Nyai (nenek) baru saja datang dari Palembang. Jika Nyai datang, pasti keluarga besar kumpul. Tidak mungkin aku yang sedang tidak ada kerjaan absen acara penting yang belum tentu ada setahun sekali ini. Nenek dan Kakek dari Papi juga datang. Papi hanya dua bersaudara, jadi keluarganya tidak seheboh keluarga mami yang tiga bersaudara.

Aku membantu mami menggoreng pempek yang sudah dibuat dari kemarin sore. Suara tawa para bapak-bapak terdengar menggelegar di ruang keluarga, padahal bahasan mereka tidak jauh dari mobil, motor, dan bola. Suara anak-anak kecil yang berteriak, ngoceh tidak jelas juga dapat samar-samar ku dengar dari halaman belakang. Semua anak-anak tanteku sudah menikah dan mempunyai anak. Hanya aku yang belum lepas masa lajang di keluarga besar mami dan papi.

"Granny, do you have lemonade?" Aksen Australia dari bocah umur 8 tahun yang terdengar sukses meraih fokusku dari pempek.

"Adanya jus jambu, mau?" Balas mami.

Ia tampak bingung, "what is that?"

"An, bilang jus jambu dong. Mami males mikir bahasa inggris kalo lagi ribet gini," ujar mami sembari meniriskan mie kuning.

"We don't have lemonade, but we have guava juice. You want?" Aku mematikan kompor setelah meniriskan pempek. Kemudian melangkah mendekat ke arah Azra yang tingginya sebatas bahu.

"Oh,  i can't drink it because allergies," balasnya dengan tatapan sedih.

Aku berpikir akan sesuatu yang menyegarkan dan dapat diminum Azra. Sampai pada akhirnya..., "well, we have tea and i can make it sweet with sugar. Are you intersting?"

Matanya berbinar, "sweet tea?"

Aku mengangguk semangat.

"One please?" Mintanya dengan wajah memohon.

Aku tertawa melihat wajah memohon bocah satu ini. Karena gemas aku mengacak rambut cokelat tuanya dan melangkah menuju rak penyimpanan untuk membuat es teh manis.

Setelah mencampurkan gula dan teh ke dalam satu gelas berisi air, aku memasukan es batu dan memberikannya kepada Azra. Ia meneguknya dengan semangat hingga satu gelas berhasil ia habiskan.

"I did it," ujarnya bangga sembari mengangkat gelas kosongnya.

"Yeay," karena gemas reflek aku memeluknya erat. Ia juga memelukku balik sembari tertawa renyah.

"Honestly, Mommy just make this sweet tea one times in a week. Even though Daddy love it so much. Mommy don't let us drink or eat a lot of sugar. It's upset me somtimes," jelas Azra sembari menghela nafas pasrah.

Sebenarnya ide menawarkan Azra teh manis muncul dari ingatan sialan di kepala yang mengingatkan bahwa Azrof sangat menyukai teh manis. Aku berasumsi bahwa Azra pasti sangat suka teh manis seperti bapaknya. Wajah Azra benar-benar mirip Azrof, membuatku sulit untuk tidak berpikiran bahwa Azra adalah anak Azrof. Dan karena wajahnya yang sangat mirip ini, aku seperti melihat sosok Azrof dulu di diri Azra. Sosok sopan, lembut, dan penyayang. Semoga saja bocah ini tidak tumbuh jadi brengsek seperti orangtuanya.

Women's StoryWhere stories live. Discover now