11. Hari Minggu

4.8K 762 84
                                    

Hari Minggu yang dibicarakan Ghani pun tiba. Berulang kali aku memastikan diriku terlihat cantik dengan melihat bayangan di kamera ponsel. Dengan make up tipis agar terlihat segar, dan kemeja putih serta blue jeans aku harap penampilanku tidak berlebihan dan tetap sopan.

Aneh, rasanya sangat nervous seperti ingin bagi rapot saat sekolah dulu. Bahkan lebih dari itu. Rasa gugup menguasai diriku sampai sulit berpikir jernih.

"Santai aja sih, An. Keluarga gue baik-baik," Ghani yang menyadari bahwa aku gugup mulai angkat bicara.

"Masalahnya ini keluarga besar, kalo gue buat image jelek di pertemuan pertama. Duh, ga bisa bayangin gue ke depannya gimana,"

"Bukannya malah bagus kalo mereka ga suka sama lo? Kan kontrak lo bisa lebih cepet berakhir?"

Iya juga sih. Tapi, tidak etis rasanya karena aku sudah merampok separuh gajinya demi kontrak aneh ini. Jika tidak memberikan yang terbaik, rasanya ada yang kurang. Karena aku perfeksionis dan profesional.

"Ya, tapi emang lo ga sayang udah merelakan setengah gaji demi kerja pacar pura-pura lo ini yang berujung ga disukain keluarga lo?"

"Engga sih,"

"Nah makanya ga usah bawel." Celetukku asal.

Ghani hanya menghela nafas sembari membelokan mobilnya masuk ke dalam pekarangan rumah besar. Saat mobil Ghani menyentuh pekarangan itu, aku sudah bisa lihat banyaknya orang di halaman depan yang di sulap dengan dekorasi ala-ala Bohemian.

"Siapa yang dekor?" Tiba-tiba saja pertanyaan itu keluar dari mulutku.

"Gue," balasnya santai. Kemudian ia memarkirkan mobilnya. "Yuk," ajaknya yang setelah mencabut kunci langsung turun dari mobil.

Aku berdoa dulu sebelum pada akhirnya mengikuti Ghani turun dari mobil. Tuhan, hambamu berserah diri kali ini Ya Tuhan.

"Mas Ghani my brother," seorang pria yang kisaran umurnya lebih tua dari Ghani itu datang menghampiri Ghani. Seperti bisa, mereka tos dan bersalaman ala pria yang diakhiri saling menepuk pundak masinh-masing.

"Udah ada calon nih?" Ujar pria itu yang melihat keberadaanku di sebelah Ghani.

"Weits, iya dong. Kenalin, Ben, ini Anna pacar gue."

"Ben," pria itu mengulurkan tangannya lebih dulu.

"Anna" ku sambut uluran tangannya sembari tersenyum lebar. Pokoknya wajah judesku harus aku buang jauh-jauh hari ini.

"Cantik, Bro. Langsung aja kalo gini mah," Ben menepuk dada Ghani dua kali sembari memberikan tatapan bercanda.

Ghani hanya memberikan senyum lebarnya tanpa berbicara sepatah kata pun.

"Gue temuin Nyokap dulu ya," ujar Ghani sembari menggandeng tanganku dan mengajakku menuju kumpulan perempuan-perempuan yang sedang asik mengobrol.

Otot pipiku terasa pegal karena setiap kali mataku bertemu dengan mata yang menatapku, pasti aku tersenyum lebar. Demi menghilangkan citra jutekku, otot pipi sampai pegal begini.

"Ma," Ghani menepuk pundak seorang wanita paruh baya yang duduk di atas kursi roda. Kemudian menggandengku untuk berdiri di hadapan wanita itu.

"Ghani," wanita paruh baya itu tersenyum melihat Ghani. Kerutan-kerutan terlihat jelas di sisi mata, dan smile lines wanita ini. Tapi dengan tatanan rambut rapih, ibu Ghani tidak terlihat tua.

"Tante," ujarku kemudian beralih untuk menyalami tangannya.

"Siapa, Ghan?" Tanya mama Ghani sembari tersenyum dan mengusap pundakku pelan.

Women's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang