7. Bukan Ghani Kemarin

5.1K 555 14
                                    

Hari senin pun tiba, kembali bekerja dan beraktifitas. Tidak ada perasaan yang membuatku dongkol seperti kemarin-kemarin karena ku rasa Ghani tidak semenyebalkan yang ku pikir. Terlebih lagi dia sudah membelikan tas koleksi terbaru Balenciaga, jadi kata menyebalkan dan brengsek yang melekat padanya kemarin-kemarin sudah ku cabut dari dirinya.

Seperti biasa, Ghani selalu membuat rapat di pagi hari sebelum memulai kerjaan dibalik kubikel sendiri. Jam sudah menunjukan pukul tujuh kurang, sepertinya Ghani akan tiba sebentar lagi. Aku menatap pantulan wajah dari cermin bedak. Meyakinkan bahwa semuanya sudah oke dan rapih.

"Selamat pagi," tidak lama kemudian suara serak-serak basah ala David Cook itu terdengar.

"Pagi, Mas," jawab kami serempak.

"Perbaikan yang kemarin udah saya bahas sudah kalian ganti?" ujarnya to the point sembari membuka laptop berwarna silver itu.

"Mas," Vivi yang duduk berhadapan denganku mengangkat tangannya.

"Iya ada apa, Vivi?"

"Saya udah coba menghubungi pihak dari Parkir Timur Senayan, tapi mereka belum memberikan konfirmasi apakah tempatnya bisa kita pakai. Dan juga, pihak dari GBK belum menanggapi pengajuan kita tentang pencabutan kerjasama dengan mereka untuk acara ini, Mas,"

"Kamu kirim pengajuannya dalam bentuk apa?"

"Email, Mas,"

"Bodoh kamu." Jawab Ghani ketus. Tatapan matanya dingin dan menyudutkan posisi Vivi.

Vivi menunduk merasa bersalah setelah mendapatkan teguran dari Ghani. Ia tidak berani mengangkat kepala. Suasana di dalam ruangan pun mendadak mencekam. Hal ini rasanya asing untukku setelah mengetahui kepribadian Ghani yang menyenangkan seperti kemarin dan mellow seperti di kelab.

"Kamu pikir mereka itu siapa? Mereka bukan pihak kecil, mereka besar. Sangat besar. Yang kirim surel itu bukan cuma kamu atau dua perusahaan lainnya aja, tapi banyak. Ditambah lagi kita melakukan kesalahan kepada mereka dengan mencabut kerjasama. Coba misalkan kamu diposisi mereka, dimana ada perusahaan yang meminta maaf dan mencabut kerjasama melalui email. Gimana? Gimana sikap kamu?"

"M-Maaf, Mas," Vivi tampak salah tingkah.

"Maaf? Minta maaf ke mereka bukan ke saya. Minta maaf sama acara yang kamu buat, karena kamu acara kita terhambat." Balas Ghani dengan nada yang sedikit tinggi.

Melihat Ghani memarahi Vivi pagi-pagi begini membuat emosiku ikut tersulut. Tanpa pikir panjang aku mengacungkan tangan untuk mengeluarkan interupsi. Tepat saat tanganku diangkat, semua mata tertuju padaku begitu pun dengan sepasang mata menyeramkan itu yang kini beralih menatapku.

"Ada apa kamu? Salah juga?"

Aku menghela nafas sebelum berbicara, "maaf, Mas Ghani, bukan maksud saya membela rekan kerja saya Vivi. Tapi, agaknya aneh jika Mas memarahi Vivi yang melakukan kesalahan tidak seberapa itu sampai seperti ini...,"

"Aneh? Saya memarahi dia dengan alasan tidak seberapa kamu bilang? Kamu pernah mikir ga ada sebuah acara yang tempat pelaksanaannya belum diketahui dimana? Kalo belum pernah, acara kita akan jadi acara pertama yang tempat pelaksanaanya belum diketahui. Dan acara kita akan jadi acara paling buruk dimana semua orang membicarakan hal yang buruk tentang perusahaan, dan perusahaan lain memutus kerjasama dengan kita. Jadi, bagian mana yang kamu bilang tidak seberapa ini?" Ghani menunjukku dengan telunjuknya yang kembali ia genggam setelah kalimat terakhir dalam perkataannya.

Women's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang