🌀 4

6.9K 497 9
                                    

Aku menyelinap keluar kamar dari jendela tinggi ini. Aku tidak tahu betapa tingginya kamarku dan dasar tanah di bawah sana.

Ya mau bagaimana lagi, kalau aku izin kepada Papa dan Mama pasti tidak akan diperbolehkan. Apalagi keluar malam begini.

Aku merambat lewat dinding-dinding licin ini, kakiku berjinjit dengan sangat hati-hati, dan sepatu flat- ku kutaruh di tas kecil yang kugendong di depan. Dan jangan lupakan batangan besi itu, sudah kumasukkan terlebih dahulu sejak Mama dan Papa tidur. Aku mengambilnya di gudang tempat Papa menyimpan peralatan mekaniknya.

Yuta ... aku juga sudah menelponnya pada saat yang sama. Dan sepertinya dia hanya mengiyakan saja.

Sudah sampai di atap yang jaraknya tak terlalu jauh dari tanah. Aku menginjak gentengnya dan ...

"Ups." Aku terpeleset. Untung saja tiang yang kokoh ini tak jauh dariku. Kalau iya, huft... kacau nanti.

Aku melompat dari atap itu. "Hop!" Kakiku mendarat sempurna tepat di depan Yuta.

"Memang kau mau apa ke perpustakaan?" tanya Yuta setengah berbisik saat aku selesai memakai sepatuku.

Aku menariknya agar menjauh dari halaman rumahku. "Nanti saja saat di jalan," jawabku masih menarik tangannya agar menjauh dari rumahku.

Setelah sudah memastikan bahwa aku sudah sangat jauh dari rumah, aku mulai menceritakan tujuanku ke perpustakaan sekolah.

"Ya, buku itu sangat berharga bagiku."

Aku melihat Yuta lewat ekor mataku, dia tersenyum. "Baiklah. Lagi pula aku juga sedang bosan di rumah. Aku ingin keluar malam, tapi tidak tahu bersama siapa."

Mendengar ucapan Yuta, aku juga terkadang sama sepertinya, bosan, dan sangat ingin keluar malam. Tapi orang tuaku selalu melarang, katanya 'anak perempuan tidak boleh keluar malam, sampai jam 7 malam'. Ya, itu batas aku keluar malam, sampai jam 7, itupun harus sudah berada di atas matrasku dengan lampu tidur yang mati.

Andai aku seperti angin, yang tidak bisa disuruh dan bergerak bebas sesuka hati. Aku akan selalu mensyukuri hidup ini tanpa helaan napas sedikitpun.

"Mau mampir ke cafe sebentar?" tawar Yuta kepadaku.

Aku menggeleng dengan senyum tipis. "Tidak, nanti kemalaman. Lain kali saja." tolakku.

Yuta orangnya santai, tidak pemaksa, dan selalu tersenyum walaupun tugas kimia menempuk.

"Baiklah. Lain kali. Tapi kau harus mau."

Dan, aku salah menilainya tidak pemaksa.

Aku mengangguk, tapi mungkin, kalau keluar malamnya bersama Yuta, akan diperbolehkan.

Tak terasa kami berjalan hingga tiga kilometer dari rumahku. Kami sudah sampai di belakang sekolah. Dinding ini yang kumaksud, kukira tingginya hanya sampai puncak kepalaku, ternyata melebihi kepala Yuta.

"Kau naik di punggungku saja." Yuta sudah memasang punggung kokohnya di bawah kakiku dengan tangan yang menempel di tembok.

Aku gugup, dan menggigit bibir bawahku kuat-kuat. "Apa tidak ada cara lain?" tanyaku.

Yuta menggelengkan kepalanya. "Tidak ada. Ayo cepat, sebelum Pak Mauro menangkap kita!"

Dengan sigap kakiku menaiki badan Yuta yang membungkuk. "Apa kau kesakitan?" tanyaku saat badanya sudah mulai naik keatas.

"Tiiidaaak. Ceeeppaatt." ucapnya seperti keberatan dengan bebanku.

Kakiku mulai naik keatas bahunya. Tanganku berusaha meraih ujung tembok ini. "Tidak sampai!" ujarku melihat kebawah.

The Prince Mermaid Where stories live. Discover now