🌀 21

2.4K 182 4
                                    

Aku menutup mataku saat bintang itu turun ke arah kami dengan kecepatan lambat. Hidupku berakhir!

"Kenapa menutup mata?" tanya pangeran dengan nada datarnya.
"Aku akan mati di dunia mimpi ini," sahutku dengan suara... lirih.

Dia kembali menatap atas sana. Tanpa peduli dengan ketakutanku. Dan semakin lama, bintang itu mendekat. Mendekat. Dan aku merasakan ada hal aneh. Mengapa bintangnya tampak sama? Erm... maksudku, mengapa tidak menjadi besar?

Oke ini kali keempat kenjanggalan yang kutemukan. Bintang kecil di angkasa seharusnya besarkan saat dia menembus atmosfer bumi? Atau paling tidak batu-batunya menyiprat. Ini tidak sama sekali.

Kututup mataku rapat-rapat melihat bintangnya 'sangat ingin' menyentuh keningku.

Dan...

"Egh!"

Aku membuka mataku perlahan. Mendongak ke atas. "Ini apa...?" tanyaku gugup. Entah mengapa aku gugup begini.

Kuamati bintang itu yang sekarang tengah mengambang di atas kepalaku. Ikan? Sungguh ini ikan?

"Iya." Apa?

Dia... baru saja membaca pikiranku? Aku menoleh dengan kening mengerut dalam. Dan orang yang kuperhatikan--atau lebih tepatnya kutuntut--agar menjawab kerutan di keningku. Ya setidaknya dia bisa membaca bahasa tubuh jika nyatanya dia tidak bisa membaca pikiranku.

Dia menoleh. Dan aku gelagapan sekarang. Mengapa aku gelagapan? Aku membuang pandangan agar tidak merasa diintimidasi oleh mata ambernya.

"Maaf," ucapnya yang membuatku melihatnya lagi.

Aku hanya bisa diam. Mencerna apa yang baru saja dia ucapkan. Dia bilang 'maaf'. Maaf? Untuk apa?

Kerutan di keningku semakin mendalam. Mataku semakin menyipit untuk menuntut jawabannya yang kelewat sukar dan irit itu.

"Lupakan. Ya, itu ikan."

Dan yeah, dia menjawabnya. Akhirnya anak ini tahu bahasa tubuh. Jika tidak, aku akan mati karena hampir ingin berteriak tadi.

Dan TUNGGU!

APA DIA BILANG IKAN??!

IKAN?!

Tanpa sadar aku memegang keningku, dan memejamkan mata dengan kepala menunduk. Apa lagi ini ya Tuhan? Kepalaku ingin meledak sekarang.

"Mengapa di sini ada ikan?" tanyaku pelan. Nyaris seperti bergumam.

"Jika sudah masanya, aku akan memberitahu semuanya."

Aku mendongak, "Mengapa tidak sekarang saja? Kau tak mau kan aku mati karena rasa penasaran yang kau buat?" sindirku tajam.

"Akan ada masanya. Kau harus bersabar."

Aku memutar bola mataku malas. Oh ayolah. Anak ini cukup dewasa juga rupanya.

Dan keadaan menghening kembali. Pandangan kami teralihkan oleh bintang-bintang kecil--ralat ikan kecil bercahaya ini.

Sekarang, aku berpikir positif dulu. Mungkin saja itu ikan robot yang bercahaya kan? Ya mungkin saja. Atau mungkin... memang benar. Di era sekarang, banyak hal yang tidak ada dilogikaku, contohnya berita yang 'tidak'--kuulangi 'tidak' sengaja aku tonton (aku tidak menyukai berita) tentang Jepang yang akan membuat mobil terbar atau sky drive yang akan dibantu oleh toyota.

Aku tidak bisa membayangkan mobil terbang itu akan melayang tepat di atas kepalaku. Di atas kepalaku. Oh, aku juga punya pengalaman yang tidak menyenangkan, saat aku pulang sekolah. Saat itu aku hendak mengambil kuciranku yang dibuat main oleh Athan, dan berakhir di bawah mobil, karena mobil itu sedang keadaan mati, aku pun menggambilnya. Tepat saat itu, aku harus terlentang di kolong mobil, karena mobil itu tiba-tiba saja berjalan. Mungkin kalau tidak diteriaki teman-temanku, aku akan terlindas.

The Prince Mermaid Where stories live. Discover now