🌀 18

2.8K 197 6
                                    

Yuta's POV :

Ruangan yang sedang kutempati bersama dua sahabatku sangat sesak, dan padat. Semua warga berdatangan silih berganti untuk menenangi ibu Vloryne. Tak banyak yang bisa kulakukan. Aku pun bingung harus bagaiman dan berbuat apa.

Fey sedang menangis, Athan menunduk dengan mata yang memerah, ibu Vloryne pun menangis setelah pingsan 3 jam tadi. Aku terus mengusap punggung Fey dan mengatakan, "Sudahlah, jangan menangis lagi."

Athan yang berada di samping Fey, tampak putus asa. Sesekali dia menyenderkan kepalanya ke dinding dan menghelas napas kemudian menunduk lagi.

Ayah Vloryne sedang menenangkan istrinya. Kulihat Ayah Vloryne tadi menitikan air mata di dapur saat aku sedang mengambil minum untuk Fey.

Betapa sedihnya kehilangan anak semata wayangnya. Aku juga sebenarnya menangis, tapi aku tidak selemah itu menunjukannya pada keramaian.

Sahabat datang saat aku berada dalam keterpurukan. Dia bahagia melihatku bahagia. Dia bersedih saat aku sedih. Hatinya adalah hatiku. Sakitnya adalah sakitku juga. Sekarang hatiku hilang satu. Kebahagianku berkurang satu. Sahabatku, hilang satu.

Vloryne anak baik. Kakek. Tolong jaga sahabatku ya. Jaga dia seperti saat Kakek menjagaku. Aku... sangat menyayangi dia. Doaku.

Bapak-bapak dan Ibu-ibu yang memakai pakaian serba hitam itu berdatangan semakin banyak. Tak lupa beberapa polisi yang menjaga entah untuk apa. Padahal kemarin, aku, Fey, dan Athan sudah diintrogasi.

Dan sekarang. Vloryne dinyatakan meninggal. Karena katanya, orang yang tiga hari tenggelam atau hilang tanpa jejak, dinyatakan meninggal. Aneh. Aku sama sekali tidak mengerti pemikiran orang-orang ini.

Fey sudah mereda tangisnya. Aku mengajaknya ke ruang tengah saja untuk dia menenangkan diri dengan berbaring. "Ayo Fey."

Athan yang kuajak menggeleng untuk menanggapi. Aku dan Fey beranjak ke ruang tengah dan mendudukan Fey setelah dia tidak mau kupapah.

"Berbaringlah," ucapku mengusap rambutnya.

Pergelangan tanganku ditariknya, menyuruhku untuk duduk. "Jangan tinggalkan aku. Tunggu hingga aku bangun," katanya. Dan aku menyanggupi permintaannya, dengan kepalanya yang berada di atas pahaku.

"Yuta."

"Hmm?"

"Kurahap kau tidak meninggalkanku setelah aku bangun," ucapnya dengan mata tertutup.

"Iya."

"Terima kasih." Satu bulir air mata turun dari matanya. Aku menghapusnya dengan ibu jariku.

"Sudah Fey. Jangan menangis lagi. Istirahatlah, aku akan menunggumu sampai bangun nanti."

Aku memperhatikan wajah Fey. Matanya bengkak, pipinya sembab, dan bibir yang bengkak akibat menangis tiada hentinya. Mungkin sudah 23 kali Fey menangisi Vloryne. Hmm... aku menghitungnya ya?

Aku bercerita kepada Ayah dan Ibuku. Dan kata mereka, "Kau yang sabar. Mungkin memang Tuhan merencanakannya begitu." Itu kata Ayah. Iya, memang benar. Ini semua kehendak-Nya. Tuhan lebih menyayangi Vloryne. Aku pun sama. Sangat.

Andai Vloryne masih bisa melihatku dan mendengar perkataanku. Aku ingin bilang padanya kalau aku sangat sangat menyayanginya. Lebih dari apapun.

Sudah berapa menit Fey tertidur, dan aku merenung?

Bosan. Hingga menit ke sepuluh, mataku terasa berat digerakan. Tak lama, mataku tertutup dan kesadaranku hilang. Membawaku ke alam mimpi.

"Vloryne?" Aku terus memperhatikan gadis di depanku. Rambutnya, postur tubuhnya, tingginya, semua bagian tubuhnya yang terlihat aku tahu. Mana mungkin aku lupa pada sahabatku sendiri. "Jawablah kalau memang itu kau."

The Prince Mermaid Where stories live. Discover now