🌀 23

2.1K 134 6
                                    

Kami sama-sama diam. Aku tidak ada topik yang membuat manusia batu ini bicara. Atau pun manusia batu yang memancingku bicara. Atmosfer canggung menyelubungiku sangat tebal. Hingga aku tak bisa bergerak.

Pangeran yang tengah membuka selembaran–entah apa–di depanku. Sedangkan aku, hanya diam mengamati selembaran itu dan bergantian menatap pangeran.

"Kau sudah kenyang?" tanya Pangeran yang membuatku terlonjak kaget. Dia tidak menatapku. Melainkan masih serius mengamati selembaran itu.

Aku diam sejenak, kemudian mengangguk.

Bodoh? Ya, aku bodoh. Dia tidak melihatku, tapi aku malah memberikan jawaban isyarat. Biarlah.

Hening kembali datang. Hingga ketukan di pintu yang terlihat bercahaya terdengar.

Kami menolehkan kepala ke sumber suara. Pangeran bangun dari duduknya. Begitupun aku, karena terlalu penasaran. Langkah pangeran berhenti saat tepat berada di belakangnya. Jika saja dia mundur sedikit, aku akan menabrak punggung kokokhnya.

Dia berbalik badan. Benar saja, jarak wajah kami hanya satu jengkal. Satu jengkal! Hingga aku merasakan buih-buih sedang bermain di wajahku. Pangeran diam. Aku pun sama. Mata ambernya seketika menajam. Aku hanya bisa menurunkan pandangan.

"Duduk." Saat aku mendongak, pengeran sudah berada di depan pintu. Cepat sekali dia berjalan.

Pintu tertutup. Tanpa sempat aku melihat orang yang berada di balik pintu.

"Tadi itu siapa?" tanyaku setelah pangeran mendekat.

Dia menatap manik mataku, dalam. "Bukan urusanmu," ketusnya. Wajah datarnya saat mengucapkan kalimat itu membuatku ingin mencubitnya. Dia sungguh menyebalkan! Aku akan mencubitnya hingga memerah. Bukan cubitan gemas tentu saja!

Dia kembali mengambil selembaran yang tadi ditekuninya. Tangan besar pangeran tiba-tiba meraih tanganku. Aku dibuat bingung. Dia menarikku mendekat ke arahnya. Hingga keningku menabrak dagunya.

"Kau–" Belum sempat aku memakinya, dia memelukku. Aku hanya bisa melongo tak percaya. Dan perlahan kesadaranku hilang.

***

Aku diam. Menahan amarah besar yang bergejolak di dalam hatiku. Karena lagi dan lagi aku selalu  saja dibius olehnya hingga tak tahu tempat apa yang pernah aku jajakan.

Sebuah padang rumput panjang yang ada batu semacam koral (?) yang aku lihat sekarang. Aku terduduk di atas rerumputan hijau ini, setelah mataku sudah mulai bisa menetralkan cahaya yang masuk ke pupil mata.

Ingin rasanya aku berteriak dan terjun bebas ke jurang atas semua kelakuan anak ini. Ya Tuhan, aku harus bagaimana? Apa lagi yang harus aku butuhkan untuk menghadapinya selain kesabaran?

Tidak ada yang berbicara. Pangeran tampaknya tidak peduli aku memunggunginya. Aku hanya bisa menghela napas. Pasrah. Kapan mimpi ini akan berakhir? Kapan aku bisa melihat wajah kedua orang tuaku secara nyata? Dan kenapa aku tidak bisa melihat wajahnya walau dalam mimpi?

Pertanyaan yang terus menerus menyelusupi ke dalam otakku. Ingin bertanya padanya, namun ego-ku lebih tinggi--tapi ego Pangeran lebih tinggi dariku.

"Ehm!" Deheman keras dari pangeran membuatku terlonjak kaget. Badanku bergerak seketika. Aku tidak ingin menoleh. Aku harus mempertahankan egoku. "Kau ingin jalan-jalan?"

Begitu kalimat yang pangeran sampaikan selesai, aku tidak kuat menahanya (egoku). Aku tersenyum senang. Dengan cepat aku memutar tubuhku menghadap pangeran.

Dia menatpku datar. Aku pun merapatkan bibir yang tadi sempat menyengir lebar. Aku tidak suka tatapannya. Buru-buru aku memalingkan pandangan. Mood-ku yang tadinya bagus, sekarang mendadak tidak bagus.

Pangeran! geramku dalam hati.

Tiba-tiba, tanganku ditarik olehnya. Aku mendongak, ya benar pelakunya adalah pangeran. Tidak, aku tidak langsung bangkit berdiri. Aku memalingkan pandanganku darinya.

Dia menarikku bangun, tentu saja aku bangun. Karena tenaga laki-laki lebih besar dari perempuan. "Ish... aku geram padamu!" sungutku menatap tajam matanya.

Yang hanya dibalas tatapan datar darinya. Dia menaikan satu alisnya. Dan aku semakin ingin menamparnya detik ini juga. "Kenapa?" Hah? Kenapa?

Aku hanya bisa mendengus dengan kekehan sebal. "Kau bilang 'kenapa?' Kau tidak tahu kalau setiap kau membawaku ke suatu tempat yang entah apa, malah membuatku tertidur dan kepalaku pusing?!" Aku menarik napas. "Dan--"

Oh astaga! Mulutku dibekap olehnya.

"Maafkan aku," ucapnya dengan penuh penyesalan.

Setelah beberapa detik, dia melepaskan tangannya dari bibirku. "Aku membecimu!" seruku berapi-api. Aku melepaskan genggaman di tanganku. "Aku. Membeci. Mu."

Pangeran menunduk, kemudian matanya menatapku dalam namun tetap saja datar. "Aku tidak berniat melakukan itu. Aku hanya ingin kau selamat." Wow, keren 9 kata.

"Selamat? Aku selalu ada di sampingmu, dan aku tidak apa-apa, mengapa kau berpikir aku dalam bahaya?" tanyaku dengan nada menyindir.

Dia diam. Aku pun diam mengalihkan pandangan. Napasku memburu karena berteriak tadi. Tenggorokannku merasa tercekal. Begitupun dengan genangan air di bawah mataku. Rasanya aku ingin menangis. Aku ingin pulang. Aku ingin bertemu Mama dan Papa. Aku tidak mau bersama orang ini.

Setetes air mataku jatuh melewati pipiku. Dengan cepat aku mengusapnya dengan punggung tanganku. Aku harus kuat. Aku tidak cengeng. Aku kuat menahan emosiku. Vloryne tidak pernah marah. Vloryne tidak pernah berteriak kepada orang.

"Maaf." Satu kata dari pangeran mampu meluluhkan air mataku seketika.

Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku. Kakiku kulipat untuk menyembunyikan tangisku. Begitu pedih mimpi ini. Aku tidak tahu saat bangun nanti mataku sembab atau tidak. Aku tidak peduli.

Tangisku tidak berisik. Aku menangis menahan isakan yang lolos dari bibirku. Air mataku terus-terusan turun. Aku butuh Fey. Yuta. Ataupun Athan yang menenangkanku.

Aku rindu sahabatku. Aku ingin bertemu mereka. Aku ingin bermain bersama mereka. Aku ingin melihat mereka ... bahkan sedetik pun.

Kurasakan ada tangan yang mengusap punggungku. Aku tau dia. Dia orang yang menyebabkan aku menangis saat ini. Ya dia. Manusia batu. Aku membenci dia.

Dia mengusap puncak kepalaku. Mengelusnya lembut. Tapi aku tahu, dia orang yang tidak punya hati. Selembut apapun usapannya dia, jika dia melakukan itu tanpa menggunakan hati, sama saja seperti paksaan.

"A-aku tidak butuh pedulimu!" erangku gagap. Air mataku terus menerus meluncur deras. Hingga isakan yang kupendam, tidak bisa kutangguhkan lagi. Isakan itu lolos dari bibirku.

Tbc

Minggu, 10 Maret 2019

A.n :

Macam biasa. Sebelum PTS, aku update. Ya itulah kebiasaan yang baru sekarang ini aku sadari //gak peka//

Ya, kuharap kalian suka di bagian ini. Semoga nangis. Amin (tapi kayaknya tydac ):)

See you~ minggu depan :)



Salam Wangi

D A H L I A

🐟🐟

The Prince Mermaid Où les histoires vivent. Découvrez maintenant