Prolog

1.9K 105 12
                                    

“MOKA! Ini apa?”

Moka yang sedang memasukkan baju kotor ke mesin cuci seketika tersentak. Dia baru pulang sekolah dan melakukan pekerjaan rumah sehari-hari. Tak lama kemudian ibunya muncul seraya menunjukkan selembar kertas bercoretkan angka 2 warna merah di bagian atas bersanding dengan namanya. Riananda Moka. Muka ibunya tegang; campuran dari kedua alis mata yang menukik dan mata yang menatap Moka dengan tajam. Moka ikut menegang, kini dia berdiri tegak. Seketika dia mengaduh dalam hati dan membodoh-bodohkan dirinya sendiri karena sudah sembarangan menaruh kertas itu.

Bodohnya dia karena tidak segera membumihanguskan kertas yang mengancam ketenangan hidupnya itu.

“Itu… e… anu,” Moka menjawab dengan terbata-bata. “Tadi ada test Fisika dadakan, Bu. Moka belum belajar materi yang diujikan jadi gitu,” terangnya. Dia menggaruk pipinya karena panik. Mana sempat dia mengarang alasan ketika ibunya memandang dan menuntut jawaban?

Baru saja ibunya mau membuka mulut, Moka memotong. “Teman-teman sekelas banyak yang dapat nilai segitu kok, Bu. Bahkan ada yang dapat 0. Yang paling pintar di kelas aja cuman dapat 6,” imbuhnya.

Jawaban Moka itu justru mengundang kemarahan yang lain. Kini ibunya mengambil sikap berkacak pinggang. “Maksudmu? Jadi kamu masih bisa berbangga dapat nilai 2 karena ada temanmu yang dapat nilai 0, gitu?”

Seketika itu juga Moka ingin menampar bibirnya sendiri.

“Bukan gitu, Bu.” Suara Moka melemah.

“Nggak usah alasan. Makanya sejak awal Ibu sudah bilang mau memasukkan kamu ke bimbingan belajar tapi kamu nggak mau. Ini hasilnya! Kamu bikin Ibu malu. Nilai 2. Ya Tuhan, Moka! Bapak kamu itu guru. Bikin malu aja ada anak guru yang dapat nilai 2. Memangnya kamu nggak mau kuliah? Dengan nilai seperti ini, kamu nggak mikir masa depanmu?”

“Aku udah pernah bilang, Bu. Aku nggak mau kuliah. Aku cuma ingin segera lulus lalu kerja supaya cepat dapat uang.”

“Uang terus yang kamu pikirkan! Sekarang coba kamu pikir, dengan nilai 2 apa kamu bisa lulus SMA?”

Moka menunduk. Dalam kondisi seperti ini, diam lebih baik daripada terus menjawab kalimat ibunya.

Ibunya meneruskan, “Dalam mimpi pun Ibu nggak pernah dapat nilai segini. Sekarang kamu nggak bisa nolak lagi. Ibu daftarkan kamu ke bimbingan belajar!”

Moka langsung bereaksi. “Nggak, Bu!” tolak Moka. “Nggak usah. Moka janji, Bu. Moka nggak akan dapat nilai 2 lagi. Janji, Bu. Daripada buang uang mendaftarkan Moka ke bimbingan belajar, lebih baik buat Fadhil aja.” Moka serius dengan ucapannya. Dia merasa akan jadi hal yang sia-sia jika dia yang masuk bimbingan belajar. Hasilnya akan sama saja.

Moka hanya masih malas belajar dan sedang dalam masa adaptasi dengan lingkungan baru di SMA. Dia yakin bisa memperbaiki nilainya kalau lebih fokus belajar lagi.

“Kamu itu keras kepala sekali, meniru siapa sebenarnya?”

Moka meringis diberi pertanyaan itu. “Kasih Moka waktu sampai ujian tengah semester ini, Bu. Moka akan buktikan kalau Ibu nggak perlu masukin Moka ke bimbingan belajar.”

“Awas, ya. Kalau nilai kamu masih bikin Ibu malu, nggak ada kompromi lagi.” Ibunya menaruh kertas ujian Moka di meja depan televisi lalu berbalik.

Moka mengembuskan napas lega

**


Prolog dulu yeee!

Muweheheheh. Next-nya, nunggu respon dulu. Kalau ramai ya aku rajin nulis deh :D

Salam sayang,

nanoniken

Gold DiggerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang