Bab 18

299 57 3
                                    

Ungkapan Terima Kasih yang Berlebihan


YOGI muncul di depan kelas Moka. Tadi saat pelajaran terakhir dia mendapat pesan dari Moka untuk datang ke kelasnya pas pulang sekolah. Seingatnya, hari ini bukan jadwal les privat mereka atau weekend. Penasaran, ketika bel pulang sekolah berbunyi, Yogi langsung memberesi buku-bukunya dan melesat menuju kelas Moka.
Cewek itu tampaknya mengetahui keberadaan Yogi di depan kelas. Dia berjalan ke arah Yogi sembari mendekap secarik kertas.
“Kenapa nyuruh gue ke sini?”
Dan jawaban Moka adalah menunjukkan kertas yang tadi didekapnya itu ke hadapan Yogi. “Taraa! Tadi ada test Fisika dadakan lagi dan gue dapat 7, Gi! Amazing. Guru Fisika aja sampai melongo pas ngoreksi kertas jawaban gue.”
Yogi tersenyum tipis. Dia ikut bangga karena les privatnya membuahkan hasil. Bukan nilai yang sepenuhnya bagus tapi lumayan meningkat. Jauh lebih bagus daripada nilai 2 di test Fisika dadakan sebelum ini. Moka pernah cerita soal nilai bebek itu dan Yogi tertawa terpingkal-pingkal hingga perutnya sakit.
“Oke, jadi lo nyuruh gue ke sini pasti mau bilang sesuatu ke gue dong?” Yogi menaik turunkan kedua alisnya.
Mendapati Moka yang mengamatinya dalam diam, Yogi memberi clue lain. “Kayak ucapan atau apa gitu.”
“Oh.” Moka menarik tangannya menjauh dari hadapan Yogi. “Jadi lo lihat sendiri kan, gue nggak sebodoh yang lo pikir. I do well.” Moka mengelus kepalanya, seolah memuji diri sendiri.
Yogi menggeleng-geleng. “Lo pikir bisa dapat nilai segitu dengan usaha lo sendiri? Ada andil gue di nilai itu,” protes Yogi yang tidak digubris Moka.
Cewek itu malah melewatinya sembari bergumam sendiri.
“Gue mau sengaja ninggalin kertas ini di ruang tengah ah, biar Ibu bisa lihat.”
Yogi berbalik dan memandang punggung Moka yang perlahan menjauh. Perlakuan Moka yang tidak manis itu tidak mengurangi rasa bangga Yogi. Apalagi saat melihat senyum lebar dan mata berbinar milik Moka, rasanya kepuasan itu menular pada Yogi.

**

Sesuai dengan rencana Moka, ibunya berteriak heboh ketika melihat hasil test milik Moka.
“Moka! Moka!” teriak ibunya.
Moka tergopoh-gopoh dari dalam kamar. “Apa, Bu?”
Moka mengulum senyum kala melihat ibunya telah memegang kertas jawaban test Fisika-nya.
“Moka, nilai 7?” Ibunya tidak bisa menyembunyikan senyum yang mengembang.
“Iya, Bu. Itu tadi test dadakan, lho. Moka hebat kan, Bu? Jadi nggak perlu masuk ke bimbel. Kalau Moka udah serius belajar pasti naik kok nilainya.”
Ibunya mengibas tangan. “Ah, ini sih pasti karena kamu belajar bareng temenmu Yogi itu kan?” tebak ibunya. “Panggil Yogi ke sini buat makan malam bareng hari ini. Ibu mau berterima kasih.”
“Apa sih, Bu? Berlebihan deh, bawa-bawa Yogi. Kan yang ngerjain test ini Moka sendiri. Nggak bareng Yogi juga.”
“Iya! Tapi kalau kamu belajar sendiri nggak mungkin dapat nilai segini. Nggak ingat nilai 2 kemarin itu? Udah, sekarang buruan telepon Yogi. Bilang Ibu mau masakin makan malam buat Yogi.” Ibunya mendorong pundak Moka supaya segera kembali ke kamar.
“Bu….”
“Apa lagi? Kamu bilang Yogi anak kos kan? Dia pasti jarang makan masakan rumah. Oh ya, tanyain sekalian Yogi sukanya makanan apa? Ibu mau masakin!” ucap ibunya ditutup dengan tepukan keras di pundak Moka. “Buruan, lelet!”
Moka tidak bisa mengajukan protes lagi.

**

Moka mengamati bapaknya yang menatap Yogi dari atas hingga bawah. Malam ini Yogi benar-benar datang ke rumah Moka, menuruti permintaan ibunya Moka. Bapak tidak menyuarakan protes apa-apa saat Ibu mengatakan ingin mengundang teman Moka untuk makan malam di rumah. Namun ketika Yogi datang, Bapak langsung duduk di ruang tamu dan berlagak membaca koran. Yogi sudah memperkenalkan diri tapi Bapak menjawab dengan dehaman.
Sekali lagi Moka melirik pada bapaknya. Entah kenapa Moka mendukung sikap bapaknya.  Rasanya Moka ingin tertawa. Dia mengenal bapaknya sebagai orang yang hangat. Ini pertama kalinya Bapak menunjukkan sikap tidak ramah.
“Moka, Bapak kan udah bilang, nggak boleh pacaran dulu sebelum lulus SMA.”
“Pacar?” sahut Moka dan Yogi berbarengan. Mereka berpandangan sebentar.
“Pak, Yogi bukan pacar Moka.”
“Iya, Om. Saya temannya Moka. Bukan pacar.” Yogi ikut memperjelas hubungan mereka.
Bapak berdeham. Suasana kembali hening. Saat itulah Ibu datang dan duduk di samping Bapak.
“Nak Yogi itu hebat deh, Pak. Udah bantu Moka belajar. Bapak tahu nggak? Sejak belajar bareng Yogi, Moka dapat nilai 7 di test Fisika.”
Wajah tegang Bapak berangsur hilang. Bapak menoleh pada Ibu. “Oh ya?” Kemudian beralih memandang Yogi. “Kamu ngajarin Moka sejak kapan?”
“Belum lama ini, Om.”
Jawaban itu mengundang tawa Bapak. “Gimana rasanya ngajarin anak Bapak yang bebal ini.”
Ketegangan di muka Yogi ikut mencair ketika mendengar gelak tawa bapaknya Moka. “Susah, Om. Nggak kehitung berapa kali saya ngucap istigfar biar nggak emosi.”
Tawa Bapak makin kencang.
“Biasanya kalian belajar bareng di mana?” tanya Ibu.
“Di kos saya, Tan.”
“Mulai sekarang belajar di sini aja. Nanti selesai belajar Yogi makan bareng di sini lagi.”
“Wah, ngerepotin.” Yogi melirik pada Moka yang baru saja membuka mulut tetapi mengatupkannya lagi.
“Sama sekali nggak repot,” sahut Bapak. “Justru kami yang ngerepotin kamu.” Bapak tertawa lagi.
Ibu mengelus pundak Bapak. “Udah, Pak. Ketawa terus. Makanan di belakang kasihan dianggurin.”
“Oh, iya, Bu. Panggil Fadhil. Kita makan malam. Ayo, Nak Yogi. Kita makan.”
Mulut Moka menganga. Telinganya tidak salah dengar kan? Nak? Bapak tadi nyebut Yogi dengan sebutan Nak?
Moka tidak sempat memprotes karena keluarganya kini sudah berkumpul di meja makan. Fadhil juga sudah ada di sana, sedang dikenalkan dengan Yogi. Moka menyusul mereka.
Sambel terong, oseng daun pepaya, ayam goreng, dan tahu goreng terhidang di meja makan. Semua itu makanan kesukaan Yogi. Lihat saja binar-binar bahagia di mata dan liur yang berkumpul di sudut bibir Yogi, bersiap menetes.
“Tante benaran masak semua yang saya suka,” tutur Yogi.
“Iya, dong. Khusus untuk berterima kasih.”
“Padahal nggak perlu repot-repot gini, Tan. Kan saya jadinya enak.”
Bapak tergelak lagi. Moka melirik pada bapaknya. Sudah berapa kali bapaknya tertawa malam ini?
“Sayur kesukaanmu sama kayak Om, Gi. Oseng daun pepaya.”
Yogi tersenyum kalem. “Iya, Om. Di rumah saya ada kebun kecil yang ditanami Mama sama sayur-sayuran. Ada pohon pepaya juga. Dulu Mama saya sering masak sayur ini kalau saya lagi susah makan. Sekarang saya jarang pulang ke rumah, jadi kangen makan oseng daun pepaya ini. Jadi tadi pas Moka tanya makanan kesukaan saya, ya saya sebut sayur ini.”
Dan, Ibu langsung melesat ke pasar setelah lo menyebut makanan kesukaan lo, tambah Moka dalam hati. Dia tersenyum kecut.
Ibu memandang Yogi dengan penuh kasih sayang. “Kalau Yogi pengin makan masakan rumah, bilang aja. Nanti Tante masakin. Kamu kos di tempat Nanik, kan? Dekat dari sini.”
“Makasih, Tan.” Yogi tersenyum malu-malu.
Moka menoleh, memandang Yogi tidak percaya.
“Udah ngobrolnya. Ayo, mulai makan. Yogi, makan yang banyak lho,” ucap Bapak.
Moka tiba-tiba kehilangan selera makannya setelah melihat respon keluarganya yang berlebihan pada Yogi.

**

Halo.
Pengen cerita aja aku lagi merangkak ngelanjutin kisahnya Mbak Ayla. Kalau udah cukup lumayan tabungan babnya nanti aku UP hehehe.

Gold DiggerWhere stories live. Discover now