Bab 20 - Double Date

322 53 0
                                    

Double Date


“Mau ke mana kamu, Kak?”
Moka keluar kamar bersamaan dengan pintu kamar Fadhil yang terbuka. Adik lelakinya itu langsung menatap Moka dari atas hingga bawah. Kedua alis tebalnya kemudian bertaut.
“Makan bareng teman,” jawab Moka. Dia berjalan menuju ruang tengah dibuntuti Fadhil.
Fadhil mampir ke dapur untuk mengambil snack kentang lalu bergabung dengan Moka yang duduk di sofa. “Pakai baju kayak gitu? Malam Minggu gini?” tanya Fadhil sambil mengunyah. Dia melirik ke kakaknya sekilas. “Mau kencan? Udah punya pacar kamu, Kak?”
Pertanyaan itu dilontarkan bersamaan dengan ibunya yang kebetulan lewat. “Eh, kamu sama Yogi pacaran, Mo?”
Gantian Moka yang mengerutkan kening. Heran, kenapa ibunya tiba-tiba menyebut Yogi? Padahal Fadhil atau pun Moka sama sekali tidak ada yang menyinggung nama cowok itu.
“Kok Yogi, Bu?”
“Tuh, Yogi udah ada di depan. Ibu suruh nunggu di teras. Mau makan di mana?”
“Nggak tau, Bu. Yogi cuman bilang makan di restoran gitu.”
Moka berdiri, merapikan bajunya. Saat ini dia mengenakan setelan one piece selutut yang dulu dibeli dengan uang hasil mem-provoke Yogi. Cowok itu mudah mengeluarkan duit asalkan dengan alasan yang jelas. Dan nama Rika tentu alasan yang sangat kuat. Moka mengambil tas selempang kecilnya.
Ibunya memperhatikan penampilan Moka yang rapi. Tidak biasanya Moka pergi pas malam Minggu secantik dan sewangi saat ini. Jika bukan untuk acara penting, Moka lebih memilih untuk menghabiskan waktu malam Minggunya di rumah, bersantai-santai, atau tidur awal. Namun sekarang? Anaknya itu pasti berdandan. Setelan yang dipakainya pun baru dilihatnya sekali ini. Tingkahnya sudah mirip seperti orang yang akan berkencan.
“Benaran kamu sama Yogi pacaran? Kalau iya sih, Ibu setuju-setuju saja. Yogi anak yang pintar. Dia masih ngajarin kamu pelajaran sekolah, kan?” berondong ibunya.
Ibunya bertanya dengan nada serius dan itu justru membuat Moka tergelak. “Nggaklah, Bu. Masa iya Moka sama Yogi? Kayak nggak ada cowok lain aja.”
“Memangnya apa salahnya dengan Yogi. Ganteng iya, pintar iya, sopan iya.”
“Ya, Ibu aja sana yang pacaran sama Yogi,” seloroh Moka.
“Hus! Walaupun perut bapakmu buncit, Ibu masih cinta mati sama Bapak.”
Moka memutar bola matanya lalu mencium punggung tangan ibunya untuk berpamitan. Moka melangkah keluar untuk menemui Yogi yang duduk di kursi teras. Dari samping, Moka memperhatikan penampilan Yogi yang rapi. Pria itu tampak berbeda. Baru kali ini Moka benar-benar mengamati Yogi. Moka baru menyadari bahwa cowok itu terlihat charming. Yogi tipikal cowok pintar yang tidak nerd dan memakai kaca mata setebal pantat botol. Dia modis dan cool. Pipi Moka memanas tiba-tiba.
Eh, cool?
Pasti ada yang konslet di otaknya gara-gara terpengaruh pada ucapan adiknya. Apa tadi yang dibilang Fadhil? Kencan?
Pandangan mata Moka langsung tertuju pada kaus yang melekat pada badan Yogi. Moka terdiam beberapa saat, lupa untuk menyapa Yogi, hingga cowok itu sendiri yang merasakan kehadiran Moka. Yogi menoleh lalu berdiri.
Tak berbeda dengan Moka, Yogi juga langsung fokus pada penampilan Moka. “Udah gue duga lo pasti pakai baju itu jadi gue pakai kaus yang warnanya sama.”
Bibir Moka sedikit terbuka. Dia tidak heran lagi jika Yogi jadi cowok konyol ketika menyangkut Rika. Yang tidak dia sangka bahwa makan malam ini begitu penting bagi Yogi. Padahal mereka hanya makan malam biasa kan? Bukan kondangan di mana memang wajar bagi pasangan untuk memakai baju dengan warna senada.
“Mau makan di mana sih, Gi?” tanya Moka, mengalihkan pembicaraan dari baju mereka.
“Udah, ikut gue aja.”

**

Motor Yogi berhenti di parkiran sebuah restoran di daerah Kemang. Moka turun dan wajahnya langsung memucat ketika melihat gambar kepiting dengan capit-capitnya beserta teman-teman penghuni laut lainnya.
“Gi, kita nggak makan di situ kan? Kita makannya di….” Moka mengedarkan pandangan ke sekitar, berharap ada restoran yang menyajikan ‘hewan darat’. Namun nihil, hanya ada satu restoran di parkiran itu. Restoran dengan tulisan seafood terpampang jelas.
“Benar ini kok tempatnya.”
Moka baru saja hendak membuka mulut untuk menjelaskan kondisinya ketika dia merasakan ada yang hangat melingkupi pergelangan tangannya yang ramping. Tanpa aba-aba, Yogi meraih tangan Moka dan menuntunnya masuk ke restoran tersebut.
“Buruan. Rika udah nunggu di dalam.”
Moka terkejut hingga tidak berpikiran untuk melepas tangan Yogi. Sepanjang dari parkiran hingga pintu masuk, Moka masih sempat mendengar ucapan Yogi.
“Nanti di dalam, nggak ada gue-elo ya. Kita pakai aku-kamu.”
Selebihnya, Moka tidak sempat memprotes ucapan Yogi yang lainnya karena seluruh perhatiannya tertuju pada telapak tangan besar yang tengah menghantarkan kehangatan di pergelangan tangannya.
Telapak tangannya yang menggantung saat digandeng Yogi terlihat mungil. Pergelangan tangannya yang terlalu ramping atau tangan Yogi yang besar? Warna kulit telapak tangan Yogi ternyata sedikit lebih gelap ketimbang lengannya. Mungkin karena Yogi kadang tidak memakai sarung tangan ketika berkendara sehingga telapak tangannya terkena sinar matahari secara langsung. Moka tersenyum tipis ketika melihat bagian tangan Yogi yang belang. Saat ini Yogi mengenakan kaus polo berlengan pendek sehingga Moka bisa melihat rambut-rambut halus di tangan Yogi. Baru kali ini dia benar-benar memperhatikan tangan Yogi.
Terlalu sibuk mengamati tangan Yogi dan tangannya sendiri membuat Moka tidak sadar bahwa dia sudah berdiri di depan Rika dan cowok berambut cepak yang pastilah pacar Rika. Yogi melepaskan tangannya yang menggandeng pergelangan tangan Moka. Moka hendak menoleh pada Yogi ketika tubuhnya seketika tidak berkutik begitu Rika berdiri dan mencium pipi kanan dan kirinya. Tubuhnya sempat membeku.
Saat itulah Moka merasa terlempar…
… kembali ke dunia nyata.
Moka teringat pada peran yang harus dia lakukan malam ini.
Ayolah, Mo. Malam ini lo harus ber-acting jadi pacar Yogi. Lo harus jadi cewek yang paling manis sepanjang masa.
Maka, seolah sudah berlatih lama sebelumnya, Moka tersenyum lebar dengan natural. “Hai, nggak nunggu lama kan? Gara-gara Yogi sih, kalau udah main game sama adik aku pasti lupa waktu.” Moka menoleh pada Yogi yang tampak terkejut dengan sikap ramah yang ditunjukkan Moka. Yogi berkedip-kedip.
Moka duduk di kursi disusul dengan Yogi duduk di sampingnya. Saat itulah Moka benar-benar memperhatikan cowok yang dibawa Rika. Cowok yang berbeda dengan yang dia lihat pertama kali di salon langganan Rika dulu. Sekali lagi Moka menoleh pada Yogi, ingin tahu bagaimana reaksi cowok itu. Namun raut wajah Yogi tampak tenang.
“Nggak kok, kita juga baru aja datang. Langsung pesen makan aja yuk.” Rika memanggil pegawai restoran yang membawa buku menu.
Moka menatap Rika lalu menelan ludahnya dengan perlahan. Dia membolak-balik buku menu untuk memilih makanan yang bisa dia makan. Deretan makanan berjudul hewan-hewan laut seperti kepiting, udang, kakap, cumi, dan kawan-kawan memenuhi buku tersebut.
Yogi, Rika, dan pacarnya sudah menyebutkan pesanan masing-masing, tinggal Moka yang belum. Moka merasakan orang-orang di sekitar meja itu menunggunya memesan.
“Hmm, ca kangkung.” Hanya sayuran yang terlihat aman baginya.
“Lo vegetarian? Atau lagi diet?” tanya Rika. “Pantesan badan lo kurus gitu.”
Moka mengalihkan pandangan dari buku menu ke Rika yang duduk di depannya. Entah kenapa Moka tidak suka disebut kurus oleh Rika yang badannya juga sebelas dua belas dengan korban busung lapar.
“Nggak. Aku kan belum selesai nyebut pesanan.” Moka membalik buku menu ke bagian makanan seafood lagi. Cumi? Dari sekian hewan laut, Moka belum pernah makan cumi. Mungkin saja tubuhnya akan baik-baik saja dengan hewan itu.
“Sama cumi saus asam manis ya, Mas.”
Setelah pegawai restoran mencatat dan mengulangi pesanan mereka, dia berbalik dan menuju tempat kerjanya.
“Lo pintar banget milihnya. Cumi di sini emang enak banget, Mo. Ini tuh restoran favorit gue sama Yogi.” Rika mengalihkan pandangan ke Yogi. Dia berbicara dengan santai seolah Yogi adalah teman lamanya yang tidak punya masalah di masa lalu semacam pacaran lalu putus tanpa alasan sebelumnya. “Lo ingat, Gi? Lo pernah nekat hujan-hujanan dari kosan lo ke rumah gue pas gue bilang pengin makan cumi di sini.”
Moka melirik pada cowok di samping Rika. Pacar Rika itu berdeham dan memanggil Rika. “Yang.”
Namun Rika tak mengindahkan panggilan pacarnya. Moka memandang Rika dengan senyum yang tidak lepas dari bibirnya. Dia yakin sepulang dari sini, otot sekitar bibirnya akan kram karena terlalu sering tersenyum.
Rika sama sekali tidak membuang waktu. Dia memang sengaja memanas-manasi Moka dengan menceritakan masa lalu antara Yogi dan dirinya. Dia menunjukkan tempat duduk yang biasanya ditempati bersama Yogi. “Yogi udah pernah bawa lo ke sini, Mo?”
Moka menggeleng. “Belum nih. Nyebut nama tempat ini aja nggak pernah.”
“Biasanya kalian makan di mana? Siapa tau bisa jadi referensi gue sama Fendi.” Akhirnya setelah sekian lama, Rika menyebut nama pacarnya.
Moka saja sampai heran, sebenarnya dia membawa Fendi untuk apa? Sebagai pajangan? Hiasan? Supir? Karena Rika sama sekali tidak memperkenalkan Fendi pada Moka atau Yogi.
“Aku sama Yogi jarang makan di luar. Yogi paling suka makan masakan Ibu di rumah. Dia kan sering datang ke rumah buat belajar bareng. Kalau udah gitu biasanya Ibu ngajak makan bareng di rumah.”
Kelopak mata Rika sempat melebar selama beberapa detik tapi setelahnya cewek itu berhasil menjaga raut mukanya kembali. “Wah, kalian udah sedekat itu ya.”
Rika mengedipkan sebelah matanya pada Yogi. Untunglah tidak lama setelah itu, pesanan mereka datang sehingga Rika tidak sadar pada Yogi yang bingung harus bereaksi seperti apa.
Begitu Moka menerima pesanannya, gantian kelopak matanya yang melebar.
Oh, cumi. Gue harap kerja sama lo malam ini. Jangan bikin malu, ya?

**

28 Years Old aku update besok ya. Soalnya buru-buru. Tengkiu~

Gold DiggerWhere stories live. Discover now