Bab 12 - Perjanjian

367 52 14
                                    


DI kos?
Ya
Ok, nanti malem gue ke kos lo
Ngapain?
Ngasi jadwal dan perjanjian kerja sama kita
Cepet banget. Udah selesai bikin jadwal?
Ini lg gue kebut. Ntar lo baca dulu, ada yg perlu ditambahin atau dikurangin ga
Ok

Moka menaruh ponselnya di meja lalu dia kembali fokus pada layar laptopnya. Kemarin setelah Yogi menunjukkan sosok Rika, Moka tidak membuang-buang waktu lagi. Dia menyusun jadwal mentoran untuk Yogi dan jadwalnya membantu cowok itu. Yogi bilang dia siap kapan pun jadi lebih cepat lebih baik. Ujian tengah semester mereka tinggal enam minggu lagi, jadi Moka harus segera memulai mentorannya. Dia tidak yakin otaknya bisa menyerap pelajaran secara instan.
Selain tentang jadwal, Moka juga membuat list hal-hal lain seperti biaya yang dikeluarkan dan rencananya untuk Yogi. Cowok itu menyerahkan semua hal menyangkut Rika padanya. Sejak awal dia sudah memiliki ide, tinggal menyampaikan pada Yogi. Jika Yogi setuju, langkah selanjutnya adalah mengeksekusinya.
Baginya, tidak sulit menemukan cara untuk membantu Yogi. Menurut Moka, siklus pacaran seseorang selalu sama, berputar-putar, dan tidak pernah melenceng jauh dari lingkaran pusat. Mungkin itu juga alasannya Moka tidak tertarik untuk berpacaran. Dia membayangkan hal-hal membosankan, ribet, dan buang-buang waktu. Tidak bermanfaat.
Akan tetapi, demi menyelamatkan nilainya, Moka mau repot-repot mengurusi percintaan orang lain yang membosankan dan ribet itu. Apa pun akan dia lakukan supaya tidak mengeluarkan uang sepeser pun. Kemarin malam, dia menghabiskan waktu dengan merumuskan hal-hal yang perlu disetujui oleh Yogi untuk memulai kerja sama mereka. Dan sekarang ini, dia sedang memindahkan coretannya itu ke dalam Microsoft Word supaya lebih rapi.
Sedang sibuk menekuri laptop, pintu kamarnya tiba-tiba terbuka. Moka mendongak dan mendapati ibunya berdiri di samping pintu.
“Makan siang.” Ibu mengamati Moka. “Oh, belajar? Ibu nggak ganggu deh. Jangan lupa makan siang.”
“Iya sebentar lagi, Bu.”
Ibunya mengangguk lalu menutup pintu kamarnya lagi. Pandangan Moka beralih dari pintu ke laptopnya lagi.
Belajar?
Moka terkekeh. Ternyata mudah mengelabui ibunya. Dia hanya butuh membuka laptop dan tampak sibuk dengan layar laptopnya, maka sang ibu sudah mengira Moka sedang belajar.

**

“Ada yang mau lo tambahin?”
Yogi tidak menanggapi pertanyaan Moka.
Moka memperhatikan Yogi. Saat ini mereka sedang berada di teras kos, duduk berhadapan. Masing-masing memegang secarik kertas bertuliskan perjanjian kerja sama antara Moka dan Yogi. Moka menunggu Yogi membuka mulut dengan tidak sabar.
Cowok itu diam seribu bahasa. Tangan kirinya memegang kertas sementara tangan kanannya sibuk memutar bolpoin. Dia duduk bersandar pada kursinya. Kedua matanya terfokus pada kertas. Sebentar-sebentar dia mengernyit, menghadap ke atas, tampak berpikir lalu mengangguk-angguk tapi kernyitan di dahinya tidak juga hilang.
Moka penasaran bagian mana yang membuat Yogi berpikir begitu keras. Dia juga harus bersiap menjelaskan alasan atas poin-poin yang ditulisnya. Hingga akhirnya mata Yogi tiba di bagian akhir, Moka langsung memajukan tubuhnya menghadap pada Yogi. Jarak keduanya menipis.
“Gimana? Ada yang mau lo tambahin atau ubah? Nggak setuju?” tuntutnya.
Yogi mengalihkan pandangannya sehingga matanya bertemu mata jernih milik Moka. Dia membetulkan posisi duduknya lalu menyeret kursinya mendekati meja. Moka memundurkan badannya, memberi jarak.
Yogi menaruh kertas itu di meja lalu memencet bolpoin. Dia mulai memberi garis bawah pada poin yang menurutnya harus dibahas ulang. “Bagian ini. Jadi masing-masing punya jadwal seminggu dua kali, benar?”
Moka mengangguk. “Kalau gue harus belajar lagi di luar jam sekolah lebih dari dua kali dalam seminggu, entah bakal kuat apa nggak. Gue juga butuh me time.”
“Jadi jadwal mentoring lo itu Rabu dan Kamis selama dua jam. Sementara jadwal buat gue Sabtu dan Minggu. Kenapa harus weekend?”
“Karena kalau weekday kita sekolah. Kalau weekend waktunya bisa lebih fleksibel. Gue juga oke kalau lo butuh gue lebih dari dua jam.”
“Tapi ada kemungkinan juga kalau gue butuh lo pas weekday. Jadi untuk poin ini bisa dibuat lebih fleksibel lagi kan?”
Moka tampak menimbang-nimbang.
“Jadi misal gue butuh lo hari Selasa, anggap aja itu ganti hari Sabtu. Jadi jadwal lo sama gue Selasa sama Minggu,” lanjut Yogi.
“Boleh. Itu artinya jadwal mentoring gue juga bisa berubah sewaktu-waktu, dong?”
Yogi mengangguk dengan mantap. “Intinya kita punya waktu dua hari dalam seminggu.”
“Oke.”
Yogi menambahkan catatan di samping poin tersebut. Moka ikut menekan bolpoinnya dan menuliskan catatan di bagian yang sama.
Setelah puas dengan revisi pertama, Moka menatap Yogi lagi. “Terus?”
Kembali, Yogi menorehkan tinta hitam ke atas kertas perjanjian mereka. “Bagian biaya. Semua biaya-biaya yang timbul ketika Moka membantu Yogi, ditanggung oleh Yogi. Biaya apa ini?”
“Itu berhubungan dengan rencana gue, Gi. Jadi di sini gue bakal jelasin apa rencana gue buat bikin Rika balikan sama lo.”
Yogi menunjukkan ketertarikan berkali-kali lipat ketimbang saat Moka datang membawa kertas perjanjian mereka. Kini dia menyimak kelanjutan kalimat Moka dengan baik-baik.
“Pura-pura pacaran sama gue.”
“Hah?” pekik Yogi. Kemudian dia memprotes. “Ide gila!”
“Tunggu dulu. Dengerin gue sampai selesai. Jadi gini,” Moka berdeham, “tujuannya pura-pura pacaran sama gue ini supaya Rika cemburu. Kita harus bikin Rika sadar kalau dia kehilangan lo. Kita harus bikin dia nggak rela kalau lo punya pacar baru dan akhirnya menyesal. Cara paling mudahnya ya lo pura-pura pacaran sama gue. Menurut gue, sikap Rika yang selama ini ngegampangin lo, ngeduain lo, karena dia tahu kalau lo cinta mati sama dia. Dan Rika tau kalau lo bakal balik sama dia setiap kali Rika berbuat kesalahan. Dia pinter banget manfaatin lo, Gi. Jadi, ketika lo akhirnya berpaling dan punya pacar baru, gue yakin Rika bakal kelabakan.”
Yogi termangu. Sepertinya sedang mencerna pelan-pelan setiap kata yang diucapkan Moka.
“Cuman pura-pura, Gi. Lo mikirnya kayak gue bakal jadian beneran sama lo aja.”
“Gimana kalau Rika menganggap kita pacaran beneran dan ternyata dia biasa-biasa saja?”
Sama seperti Yogi, Moka juga sempat berpikiran tentang konsekuensi buruk itu. Namun berdasarkan cerita Yogi kemarin, Rika tidak mungkin biasa-biasa saja jika melihat Yogi punya pacar baru. Rika pasti terusik. Apa yang dulu menjadi miliknya, sekarang bersama orang lain.
“Nggak akan, Gi. Lo pernah dengar istilah, orang baru akan merasakan sesuatu itu berharga ketika kehilangan? Nah itu berlaku buat lo dan Rika.”
Yogi mulai terpengaruh dengan ucapan Moka. “Lalu, biaya yang lo maksud ini?”
“Gue harus tampak lebih cantik dan modis biar Rika makin panas begitu tau lo pacaran sama gue. Cantik dan modis itu butuh duit, Gi. Menurut gue itu bukan masalah besar buat cowok tajir macam lo.” Moka menyeringai.
Yogi memijat kerutan di dahinya. “Ternyata benar apa kata temen gue. Gue harus siap-siap diporotin kalau sama lo.”
Moka tergelak. “Gue nggak kenal temen lo dan temen lo nggak kenal gue. Terserah sih, ini bukan buat gue. Ini buat lo juga,” ujar Moka acuh tak acuh.
“Iya, iya!” Yogi menyanggupi. “Jadi ini berlaku juga buat gue ya.”
Moka yang hendak memberi tanda oke pada bagian biaya langsung mendongak. Dia mengernyit. “Lo… apa?”
“Pas gue lagi ngajarin lo, kalau butuh apa-apa, lo yang bayar. Gue nggak mau kena dua kali.”
Moka menimbang-nimbang sebentar. “Nggak masalah.”
Memangnya ketika mentoring, apa yang bakal mereka butuhkan? Buku? Bolpoin? Hah, murah. Tentu saja Moka langsung menyetujui. Poin-poin lainnya yang ditulis Moka disetujui oleh Yogi.
“Ada yang mau lo tambahin?” tanya Moka.
Yogi menaruh bolpoin dan kertas di atas meja lalu menatap Moka. “Karena kita pacaran, jadi nggak ada ceritanya lo jalan sama cowok lain. Dan, lo nggak boleh bocorin perjanjian ini ke orang lain.”
Moka langsung mengangguk. “No problem. Itu artinya lo harus siap antar jemput gue kalau gue lagi malas jalan kaki atau nggak bisa nebeng sama Emy.”
“Oke. Jadi kapan kerja sama ini berakhir?”
Barulah Moka teringat. Dia tidak menuliskan kapan berakhirnya perjanjian mereka. “Ketika kita udah selesai dengan urusan masing-masing?”
Yogi menelengkan kepalanya, tanda kurang puas dengan jawaban Moka.
“Lo cukup ngajarin gue sampai hari ujian tengah semester berakhir. Dan gue akan bantu lo sampai lo balikan sama Rika.”
“Tulis,” suruh Yogi.
Mereka pun bersamaan menuliskan sebaris kalimat yang diucapkan Moka. Setelahnya secara bergantian mereka menandatangani kertas masing-masing. Moka menerima kembali perjanjian mereka yang sudah ditandatangani dua belah pihak, dia membaca ulang.
Kemudian dia tersadar oleh sesuatu.
Moka akan membantu Yogi hingga Rika mengajak Yogi balikan.
Begitu yang tertulis di sana. Moka lupa mempertimbangkan satu hal: bagaimana jika hingga ujian tengah selesai berakhir, Rika masih belum mengajak Yogi balikan?
Moka terduduk lemas di kursinya. Berbeda dengan Yogi yang terlihat puas dengan apa yang baru saja mereka sepakati.


**

Gold DiggerWhere stories live. Discover now