Bab 8 - Permohonan Bantuan

419 56 0
                                    




MENURUT Yogi, taman kecil depan laboratorium adalah tempat yang cukup tenang baginya untuk berbicara berdua dengan Moka. Jarang ada siswa sekolahnya yang nongkrong di tempat itu setiap kali jam istirahat. Tempatnya yang ada di pojok belakang, jauh dari kantin, membuat tempat itu biasanya hanya dilewati siswa-siswa dari lantai atas yang ingin menuju ke kantin. Jadi Yogi mengajak Moka duduk di bangku yang terbuat dari kayu di pinggir taman itu.
Namun kenyataannya, sejak duduk di bangku tersebut, Yogi belum sempat mengucapkan kalimat selain….
“Soal kemarin siang….”
Karena ucapannya langsung terpotong oleh cowok—dari panggilan Moka, Yogi tahu bahwa namanya Avin—yang langsung melesat duduk di samping Moka begitu melihat cewek itu. Bahkan sekarang Yogi mendadak jadi sosok tak kasatmata di antara Moka dan Avin. Dua orang itu asyik ngobrol tanpa jeda.
Bukan ini yang Yogi inginkan.
Yogi ingin menyela, menghentikan obrolan dua orang itu namun dia urungkan niatnya begitu Avin menyinggung soal Sabtu sore kemarin. Yogi diam-diam ikut menyimak.
“Rendy lo apain? Dia ngamuk-ngamuk sama gue.”
Moka berdecak sebal. “Ah, lo ngapain sebut nama dia sih? Bikin emosi aja. Dia nembak gue, trus gue tolak. Dia ngamuk trus nyebut gue bodoh dan gampangan. Gila aja, kalau gue gampangan, gue nggak bakal nolak dia lah. Siapa yang bodoh sebenarnya? Temen lo kebanyakan nyemil micin ya?”
Avin terbahak-bahak. “Dia nggak bilang soal lo nolak dia, Mo.”
“Lo ngomong apa sih ke Rendy itu? Sampai tiba-tiba dia nembak gue? Perasaan setelah gue jalan sama lo, gue jadi dideketin cowok gila. Joan yang tanpa izin masang foto gue di story Instagram, Rendy yang… ah, males gue ngomongin dia lagi.”
“Lo kok nuduh gitu? Mereka cuman tanya ke gue, gimana rasanya jalan sama lo. Ya gue sih jawab jujur. Asyik jalan sama lo. Ya emang gue enjoy-enjoy aja pas jalan sama lo. Selama ini kan lo emang asyik diajak jalan, nggak ribet, Mo,” terang Avin. Kemudian dia menambahkan, “Asal selama jalan, lo nggak keluar duit sama sekali.”
Avin terkekeh. Moka membalas dengan memicingkan mata ke arah Avin lalu melipat kedua tangannya di depan dada.
Avin mengangkat kedua alis matanya. “Gue salah?” tanyanya. Gayanya sangat santai.
Moka mengedikkan bahu lalu mengalihkan pandangan ke depan.  “Nggak juga sih. Ya masa gue harus keluar duit? Yang ngajak kalian, ya kalian yang bayarin lah. Ogah banget gue, diajak jalan, bayar sendiri.”
Avin menepuk tangan. “That’s my Moka.” Avin baru saja mau merangkul pundak Moka ketika cewek itu menepuk keras tangan Avin.
“Nggak pake rangkul-rangkul. Dah, sana pergi!” usir Moka.
“Galaknya.” Avin mengelus tangannya yang panas karena ditepuk Moka. “Kapan-kapan jalan sama gue ya.”
“Iya, kabar-kabar aja. Kalau ada waktu, gue temenin. Buru, pergi sana.”
“Kok lo ngusir sih?”
Moka mengarahkan telunjuknya pada Yogi. “Lo nggak lihat kalau ada orang di sebelah gue? Tadi ada yang mau dia omongin tapi lo potong dan sampai sekarang lo nggak ngasih waktu buat dia.”
Yogi yang sedari tadi memandang ke arah lain sambil menguping, akhirnya menoleh.
Barulah Avin sadar pada kehadiran Yogi. Dia mengamati Yogi lalu tersenyum miring. “Mangsa baru?” ucapnya lirih tapi masih bisa tertangkap oleh telinga Yogi.
Sebuah sodokan siku dihadiahkan pada perut Avin. Cowok itu mengaduh.
“Mangsa? Memang gue buaya?”
“Jangan salah, zaman sekarang nggak hanya cowok yang buaya, cewek pun iya.”
“Buruan pergi atau gue nggak mau nemenin lo jalan lagi. Jalan aja sana sama Vara!”
Avin langsung berdiri. Sebelum pergi dia menyempatkan diri meraup muka Moka dengan tangan kanannya. “Bye. Nanti gue chat kapan kita jalan!”
“Avin!” seru Moka.
Yang diteriaki sudah ngacir pergi. Moka merapikan poninya yang berantakan karena ulah Avin. Dia menggerutu, menyumpahi Avin.
Yogi memperhatikan interaksi terakhir Moka dan kakak kelasnya itu. Dia juga merekam semua pembicaraan Moka dengan Avin. Dari obrolan singkat itu, Yogi merasakan kemiripan antara Moka dengan Rika. Yogi pernah mengalami hal yang sama ketika dia bersama dengan Rika.
Rika, mantan pacarnya yang sangat cantik. Dia selalu menarik perhatian lawan jenis. Yogi juga tahu bahwa banyak teman-teman sekolah Rika yang mendekati cewek itu. Rika sadar dengan kecantikannya dan tidak jarang memanfaatkan kecantikannya itu. Nggak hanya sekali dua kali, Yogi memergoki Rika bersama dengan cowok yang berbeda.
Teman. Hanya teman, begitulah pembelaan yang diucapkan Rika setiap kali Yogi bertanya siapa cowok-cowok itu. Hingga tiba-tiba saja, tanpa alasan jelas, Rika memutuskannya secara sepihak di Sabtu sore kemarin sebelum hujan turun.
Melihat Moka, sebuah ide terlintas di kepala Yogi
“Moka,” panggil Yogi.
Moka menghentikan gerakan tangannya yang merapikan rambut. “Apa?”
“Bantu gue.”
Kini Moka menoleh pada Yogi dengan sepenuhnya. Dia mengulang kata-kata Yogi, menyakinkan diri sendiri. “Bantu?”
“Iya, bantu gue supaya gue balikan sama mantan gue.” Yogi menatap lurus pada mata Moka.
Mulut Moka terbuka ingin mengucapkan sesuatu tapi terputus oleh bel masuk yang berbunyi. Dia teringat pada guru Fisikanya yang selalu datang tepat waktu. “Kita sambung obrolan ini next time.”
Tanpa menunggu persetujuan Yogi, Moka meninggalkan cowok itu. Kalau saja pelajaran selanjutnya bukan fisika, Moka pasti menuntut penjelasan pada Yogi. Akan tetapi Moka tidak mau dihukum mengerjakan tugas di perpustakaan karena terlambat masuk kelas. Itu hal yang memalukan. Egonya menolak. Pada akhirnya dia harus menelan bulat-bulat pertanyaannya.
Apa hubungan mantan pacarnya sama gue?

**

Gold Diggerजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें