Bab 10 - Simbiosis Mutualisme

384 57 5
                                    


Yogi : "Kita harus ketemu. Gw mau ngelanjutin obrolan yg kepotong td."


Sebuah pesan singkat masuk ke ponsel Moka. Dia yang sedang berjalan menuju parkiran terpaksa harus berhenti sejenak untuk membalas pesan tersebut.

Moka : "Dmn?"

Yogi   : "Ks gw."

Moka : "??"

Yogi   : "KOS GW."

Moka menggerutu begitu melihat balasan menjengkelkan itu. Siapa lagi kalau bukan cowok super sensitif yang akhir-akhir ini mengganggu ketenangannya. Hanya karena Moka membalas pesannya dengan singkatan, tanpa huruf vokal, Yogi langsung membalas dengan hal yang sama. Masalahnya, mana dia tahu kalau ‘ks’ itu artinya kos?
Moka pun memutuskan untuk nggak mengirim balasan untuk Yogi. Biar tahu rasa. Kalau dia masih menjengkelkan, Moka malas berurusan dengannya. Sebenarnya siapa yang butuh ketemu?
Baru berjalan dua langkah, getaran di saku kemejanya terasa. Moka bisa menebak siapa yang mengiriminya pesan.

Yogi  : "Hei."

Pesan itu dia abaikan. Namanya bukan ‘hei’. Tak lama kemudian datang pesan selanjutnya.

Yogi  : "Gimana, Mo?"

Moka mengembuskan napas berat. Kalau saja dia tidak ingat mengenai idenya yang melibatkan Yogi, Moka tidak akan capek-capek mengurusi Yogi. Kali ini tampaknya dia harus mengumpulkan stok sabar sebanyak-banyaknya.

Moka : "Sorean gue ke sana."

Yogi   : "Kabari kalo mau ke kos."

Moka : "Y."
Titik. Moka menyimpan kembali ponselnya. Yogi sepertinya sepakat dengan Moka untuk menyudahi pembicaraan mereka karena cowok itu nggak memberi balasan lagi.

**

Sesuai janjinya, pukul empat sore Moka mengetuk pintu kontrakan Yogi. Ilham yang membukanya. “Hai, Ham. Yogi ada?” tanya Moka. Dia melambaikan tangan pada Ilham.
“Yogi?” Ilham menoleh ke belakang. “Kayaknya sih masih tidur. Belum keluar dari kamarnya sejak pulang sekolah tadi.”
“Enak banget tidur! Dia aja nyuruh gue ke sini trus ditinggal tidur gitu? Bagus benar,” cibir Moka. Pantas saja, pesannya nggak dibaca Yogi, batinnya. Padahal Yogi yang memintanya untuk mengiriminya pesan sebelum berangkat ke kos, malah cowok itu enak-enakan tidur.
“Wah, nggak tau deh.” Ilham menjawab dengan santai seraya mengangkat bahunya.
Baru saja Moka mau menyuruh Ilham membangunkan Yogi ketika dia mendengar Tante Nanik memanggil namanya. Moka membalikkan badan dan mendapati Tante Nanik tengah berjalan ke arahnya.
“Apa, Tan?” tanya Moka ketika Tante Nanik sudah berada tepat di depannya.
Tante Nanik nggak menjawab tapi langsung menarik tangan Moka. “Kamu nggak sibuk kan? Bantu Tante sebentar.”
Mau tidak mau, Moka mengikuti Tante Nanik. Sebelum jauh, dia sempat berpesan pada Ilham untuk membangunkan Yogi. “Gue balik ke sini nanti, Yogi udah harus bangun ya, Ham!”
Ilham mengangguk.
Moka diseret untuk membantu Tante Nanik menyiapkan pesanan makanan ringan untuk arisan di komplek rumah Tante Nanik.
“Nanti Tante kasih jatah khusus buat kamu deh, Mo.”
Moka semringah dan mulai semangat menata kue-kue kecil ke dalam kardus. “Harus itu, Tan,” serunya dengan riang.

**

Moka berjalan menuju kos dengan kedua tangan penuh membawa piring. Tangan kanan ada piring berisi beberapa potong brownies untuk anak-anak kos. Sedangkan di tangan kiri berisi potongan tiramisu, hadiah untuk Moka yang telah membantu Tante Nanik.
Di teras kos, Yogi menunggu sambil bermain gitar. Begitu melihat Moka, dia berhenti bermain. Matanya langsung fokus ke piring di tangan Moka. “Apaan nih? Dari Tante Nanik?”
“Iya, bawa masuk gih.” Moka menyodorkan piring di tangan kanannya. Namun Yogi malah mau mengambil piring yang di tangan kiri Moka. “Eh, nggak boleh! Ini buat gue.” Moka mempertahankan miliknya.
Yogi berdecak, mencomot sepotong kue brownies lalu membawanya ke dalam.
Moka memilih duduk di kursi teras sambil memakan tiramisunya. Dia mendengar penghuni kos bersorak senang dan menyebut kue brownies seolah mereka belum pernah makan kue itu seumur hidup mereka.
“Sori, gue tadi ketiduran pas lo ke sini.” Yogi duduk di kursi samping Moka.
Yogi menoleh pada Moka yang sibuk mengunyah. “Berhenti dulu makannya. Lo dengerin gue ngomong, kan?”
“Denger kok. Gue makan kan pakai mulut bukan pakai telinga,” sahut Moka. Rahangnya masih terus bergerak seirama dengan suara kunyahannya.
Yogi menghela napas. “Serius, Mo. Gue mau nerusin pembicaraan siang tadi.”
Moka menelan tiramisunya. Seketika kerongkongannya kering. “Tolong ambilin minum segelas aja, Gi.” Melihat Yogi nggak segera bergerak, Moka mendesaknya. “Gue juga serius ini. Gue nggak bisa mikir kalau kerongkongan seret gini.”
Akhirnya Yogi menurut dan membawakan segelas air minum dingin untuk Moka.
“Jadi,” Moka memberi jeda sejenak, “bantuan apa yang lo maksud tadi? Apa hubungannya gue sama mantan lo?”
“Gue punya mantan. Namanya Rika. Lo ingat di hari Sabtu pas gue nekat hujan-hujanan di taman?”
Ekspresi Moka tidak berubah. Tidak ada respon yang dia berikan. Dia menyimak ucapan Yogi sambil mengingat sore itu. Sore yang tidak mungkin dia lupakan sampai kapan pun. Sore saat pertama kali dia bertemu Yogi.
“Rika tiba-tiba mutusin gue. Dia bilang, dia udah dapat yang lebih baik dari gue jadi dia nyuruh gue nyari cewek lain yang lebih baik dari dia.”
Moka berkedip-kedip. Mau tak mau, Moka mengamati wajah Yogi. Ganteng sih… tapi bucin parah.
“Jadi lo kayak orang mau pingsan itu gara-gara diputus sama mantan cewek lo itu?” Tanpa sadar Moka menyuarakan pikirannya. Segera dia menutup bibir supaya tidak kelepasan bicara.
“Gue masih belum terima. Kaget. Gue kenal Rika dari kelas 4 SD. Udah lama gue ngejar dia dan akhirnya dia mau pacaran sama gue. Udah 3 tahun ini kami pacaran. Tiga tahun bukan waktu yang singkat. Dan, dia itu cinta pertama gue.”
Ingin rasanya Moka tertawa terbahak-bahak. Dia menebak bahwa cowok yang sedang curhat di sampingnya itu pasti kekurangan hormon testosteron. Tidak itu saja. Moka juga kaget, ternyata cowok yang dibilang Emy paling pintar seangkatan mereka, adalah seorang cowok yang gagal move-on. Kalau bukan karena misi yang dibawa Moka, benar-benar… dia benar-benar tidak sudi mengurusi masalah remeh semacam ini.
Di umurnya yang kelima belas tahun, Moka belum pernah merasakan bagaimana cinta pertama. Bahkan hingga lulus SMP, dia tidak punya teman cowok yang dekat. Baru ketika SMA, dia populer di kalangan cowok. Selama ini dia dekat dengan cowok berdasarkan hubungan timbal balik dan saling menguntungkan. Dia tidak pernah melibatkan hatinya. Dia tidak ingin menambah pikirannya dengan hal-hal tentang cinta-cintaan.
Cinta pertama?
Moka tersenyum miring dan mendengus geli. “Yang udah pacaran 6 tahun aja bisa putus apalagi lo yang baru 3 tahun. Gue tau kalau cinta itu buta tapi bukan berarti bikin orang jadi bucin kayak lo. Lo bodoh atau naif sih?”
Sedetik kemudian, Moka menepuk bibir lancangnya. Dia melirik pada Yogi. Cowok itu tampak tersinggung tapi tidak menyuarakan protes. Hanya kedua alis tebalnya saja yang menukik. 
“Sori. Anggap aja itu tadi suara hati gue dan lo nggak dengar.”
Bibir Yogi masih tertutup rapat. Moka jadi merasa tidak enak hati. “Trus, gue bisa bantu apa?”
Mata tajam Yogi menatap mata Moka. Yogi sudah fix dengan rencananya. Tidak ada jalan lain lagi. “Bantu gue bikin Rika balikan lagi sama gue.” Akhirnya, Yogi merasa lega setelah mengucapkan rencananya pada Moka.
“Kenapa harus gue?”
“Karena lo mirip sama Rika. Lo udah berulang kali jalan dengan cowok yang berbeda. Hanya saja, lo nggak pernah melibatkan hati ketika jalan sama cowok. Mungkin lo bisa mengimbangi Rika.”
“Mengimbangi dalam hal?” Moka semakin bingung dengan maksud Yogi. “Coba jelasin dengan lebih lugas dan bisa gue mengerti. Gue nggak suka hal yang bertele-tele.”
“Bantu gue. Gue yakin lo bisa bikin Rika balikan sama gue.” Yogi mengulang permintaannya dengan perlahan. Hampir saja dia tidak sabar karena cewek di sampingnya itu tidak juga mengerti.
“Nah, makanya kenapa harus gue?” ulangnya.
Yogi memikirkan kalimat lain yang sekiranya dapat diterima oleh Moka. “Karena gue tau lo orang yang fair. Gue butuh bantuan lo dan gue akan kasih apa yang lo minta.”
Kalimat itu membuat pikiran Moka menjadi jernih. Dia tidak lagi peduli dengan hal-hal absurd yang diucapkan Yogi selama cowok itu setuju dengan penawaran yang akan dia berikan. Moka menyeringai. “Perfect.”

**

“Jadi syaratnya, lo harus jadi mentor gue selama sebulan sampai kita UTS. Lo harus ngajarin gue pelajaran di sekolah sampai gue ngerti.”
Gantian Moka yang mengungkapkan misi yang dibawanya. Sebelum Emy menceritakan identitas Yogi, Moka masih menatap Yogi dengan sebelah mata. Tidak sedikit pun dia tertarik dengan cowok itu. Namun setelah tahu bahwa Yogi adalah cowok berotak encer, pandangan Moka pada Yogi seketika berubah. Yogi menjadi jawaban atas kebingungan Moka mengenai nilai-nilainya ketika UTS nanti. Moka merasa dewi fortuna berpihak padanya. Siapa yang menyangka bahwa kesialannya menolong cowok gagal move on akan berbuah keberuntungan?
Sejak kemarin, julukan cowok dengan ribuan jarum di lidahnya yang diberikan Moka untuk Yogi berubah jadi cowok gagal move on.
Moka menatap Yogi yang sedang mengamatinya. Cowok itu tampak berpikir keras. Moka memutar matanya. “Apa susahnya sih jadi mentor gue? Teman gue bilang lo pintar.”
“Gue cuman lagi berpikir, apa jangan-jangan lo udah ngerencanain ini semua? Mulai dari kejadian di taman itu sampai hari ini.”
“Atas dasar apa lo mikir gitu.”
“Semua serba kebetulan aja.”
“Jadi, deal?” Moka memotong ucapan Yogi supaya dia nggak melebar membahas kemana-mana.
“Tunggu, jadi apa yang bakal lo lakuin supaya Rika balikan sama gue?” tuntut Yogi.
Moka menggumam. Gantian dia yang berpikir. “Untuk itu… gue perlu mengenal Rika lebih lagi. Nggak perlu kenal secara langsung, dari cerita lo aja cukup. Baru setelah itu gue pikirin caranya. Lo bilang sifat gue mirip sama Rika kan? Jadi sebagai sesama cewek, gue tahu gimana cara berpikirnya,” ucap Moka dengan nada menyakinkan. Dalam hati Moka memuji keahliannya dalam mengucapkan kalimat persuasif.
Yogi mengamati Moka sekali lagi. “Oke. Besok gue tunjukin yang mana orangnya.”
“Boleh.” Moka mengangguk-angguk, ditatapnya Yogi dengan lekat. “Jadi… deal?” Moka mengulurkan tangannya.
Akhirnya Yogi mengangguk lalu menjabat tangan Moka. “Deal.”

****

Ingat ya... Jangan mau tiba-tiba dideketin cowok atau cewek padahal mereka cuma mau manfaatin doang. Banyak tuh ceritanya, dipacarin cuma buat bikinin skripsi atau apalah. Setelah skripsi selesai eh, diputusin ( kunggacurhat loh yaa)
Jadi manfaatin balik! Jadi ngga rugi-rugi amat ~

Gold DiggerWhere stories live. Discover now