Bab 2 - Permusuhan

711 72 2
                                    

BAB 2


Moka menggerakkan kakinya menuju ke kantin. Dia duduk di sisi samping lapangan basket, memandang lurus pada beberapa cowok yang sedang bermain bola di bawah ring basket. Mereka berebut, men-dribble, lalu bercanda-canda. Salah seorang dari mereka menoleh dan mendapati Moka sedang memperhatikan gerak-geriknya dalam diam. Cowok itu tersenyum, teman di sampingnya menoleh dan ikut tersenyum. Moka mengamati mereka tapi tidak memberi respon apa pun. Matanya memang memandang cowok-cowok itu tapi pikirannya tidak ada di sana. Hingga cowok-cowok itu berbalik dengan kikuk karena Moka tidak membalas senyum mereka.

Di tengah lamunannya, Moka mendengar sebuah suara yang menyebalkan. Suara dari cewek itu memang selalu bisa ditangkap oleh indra pendengarannya dengan cepat. Moka mengumpat dalam hati. Pagi harinya rusak karena kehadiran cewek tukang bully itu.

"Eh lo minggir deh. Gue mau duduk di sini."

Suara itu mengganggu Moka yang sedang makan sop ayam. Tangannya bergerak membuka Spotify lalu menyalakan musik dengan volume keras. Semua itu dilakukan untuk mengalihkan perhatiannya dari suara dua orang cewek yang baru saja masuk ke kantin. Daripada nyari penyakit.

Sia-sia saja. Telinganya memang sudah dia tutup rapat-rapat tapi matanya masih bisa melihat gerak-gerik dua cewek yang baru datang. Vara dan Sinta terlihat sedang mengintimidasi dua orang cewek yang sedang makan di kantin. Saat ini keadaan kantin memang sedang ramai, kursi-kursi terisi penuh dengan siswa siswi yang sarapan di sekolah. Di sana, berjarak satu meja dengan Moka, Vara dengan gaya sok berkuasa mencoba mendapatkan kursi dengan mengusir siswa lain.

Dua cewek yang duduk mencoba mempertahankan kursi mereka. Cewek yang berambut sebahu tidak beranjak dari duduknya sementara temannya yang berkuncir, melawan Vara dengan terang-terangan. Mereka terlibat adu mulut. Entah apa yang mereka ucapkan, Moka tidak bisa mendengarnya. Lalu tangan Vara terulur untuk menarik kunciran rambut salah seorang cewek. Saat itulah Moka hampir kelepasan kontrol atas dirinya. Dia menaruh sendoknya dengan kasar. Tubuhnya bergetar karena menahan diri untuk nggak mengacak-acak wajah Vara.

"Sialan!" desisnya.

Moka melepas kedua earphone-nya lalu berdiri sambil membawa mangkuk berisi sisa sop ayam. Dengan langkah lebar, dia mendekati Vara lalu menumpahkan isi mangkuknya ke atas kepala Vara. Wortel, kuah, potongan ayam, dan kubis itu mengotori rambutnya lalu turun menuju ke kemeja yang dikenakan Vara. Cewek itu berteriak histeris sementara Moka tersenyum puas.

Sayangnya, adegan itu hanya ada dalam pikiran Moka. Kalau nggak ingat dia sedang ada di tempat ramai, isi mangkuknya pasti tumpah benaran di kepala Vara.

Moka melepas earphone-nya.

"Var, lepas!" seru cewek yang ditarik rambutnya oleh Vara.

"Makanya pas gue bilang pergi harusnya tadi lo nurut. Nggak usah banyak bicara. Gue mau duduk di sini."

Moka memperhatikan ke sekeliling kantin. Beberapa pasang mata dan bibir tengah berbisik-bisik tanpa ada yang berani ikut campur. Kebetulan Moka sedang butuh pelampiasan atas rasa kesal pada ibunya. Dia berjalan mendekati meja tempat pertikaian lalu melepas tangan Vara yang menarik rambut seorang cewek. Vara kalah kuat dengan Moka. Dia menatap sengit ke arah Moka.

"Apa sih lo ikut campur? Si cewek matre sok mau jadi pahlawan?"

Moka pura-pura mengorek telinga kanannya. Si cewek matre. Bukannya dia tidak tahu, julukan itu melekat pada Moka gara-gara Vara yang menyebutnya pertama kali. Baru sebulan bersekolah, Moka sudah jalan dengan cowok-cowok kaya dan populer di sekolahnya jadi Vara iri dan menyebar julukan itu. Heran, mereka berbeda kelas tapi Vara sering mencari gara-gara.

Moka mengambil mangkuk di meja lalu menggandeng pergelangan tangan cewek yang rambutnya ditarik oleh Vara tadi. "Ambil minuman lo, pindah ke meja gue." Moka melirik ke cewek satunya lagi. "Lo juga ikut."

Moka baru mau berbalik tapi tangannya keburu dicekal oleh Vara. "Lo tuli ya? Gue tanya lo ngapain ikut campur segala? Sok jadi ibu peri!"

Cekalan di pergelangan tangannya itu mengaktifkan syaraf bagian mulut Moka. Dia menyentak supaya tangan Vara lepas lalu menatap Vara dengan muka datarnya. "Lo bilang gue sok jadi ibu peri? Trus lo apa dong? Setannya gitu?"

Agaknya Vara kaget karena Moka yang selama ini diam mendadak membuka mulut dan menantangnya. Wajah Vara tampak penuh oleh amarah tapi dia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Jadi Moka tidak tanggung-tanggung lagi untuk meluapkan kata-kata yang selama ini dia tahan. "Lo yang apa-apaan? Ada orang lagi makan enak-enak dan mereka sama sekali nggak ganggu lo, kok lo sembarangan ngusir? Emangnya ini kantin punya nenek moyang lo? Atau lo ikut nyumbang beli kursi kantin? Dasar...." Cepat-cepat Moka menutup mulutnya lalu melanjutkan kalimatnya dalam hati. Nggak waras. Gila. Nggak punya otak.

Moka bisa melihat raut wajah Vara memerah menahan emosi tapi masa bodoh. Moka berbalik dan menatap dua cewek yang berdiri tidak jauh darinya. "Kalian masih aja berdiri di sini. Ayo cabut cari tempat lain."

Dua cewek itu buru-buru menuruti perintah Moka. Mereka mengekor langkah Moka.

Moka mengambil ponselnya. Sebelum dia memasang earphone, dia memandang dua cewek yang duduk manis di kursi. "Karena gue udah nolongin lo berdua, bayarin makanan gue ini."

Cewek-cewek itu mengangguk. Moka berbalik lalu berjalan keluar kantin. Dia kembali larut dalam musik di telinganya tanpa memedulikan Vara dan Sinta tengah menatapnya dengan aura permusuhan.

**


Setiap bab isinya pendek-pendek aja. Kayak nyemilin snack, nggak berat dan nggak bikin kenyang banget. Hanya berisi satu adegan yang nggak dilebih-lebihkan. So... hope you enjoy it!

Gold DiggerWhere stories live. Discover now