Bab 25 - Jabat Tangan

331 63 2
                                    

Moka menaruh kembali gagang teleponnya. Dia menatap lama pada benda itu. Satu helaan napas berat keluar dari mulutnya. Kemudian bel rumahnya berbunyi. Moka tersentak. Dia memalingkan muka ke pintu depan.
Tidak mungkin kan?
“Mo, tolong buka pintunya!” seru ibunya dari arah dalam.
Tanpa perlu disuruh pun, Moka sudah melangkah keluar.
Cowok yang tadi berbicara lewat telepon sekarang tersenyum lebar di depan pagar rumah, masih mengenakan seragam sekolah. Cepat sekali datangnya, hanya berjarak satu hembusan napas saja. Mata Moka masih membelalak ketika dia membuka pagar untuk Yogi. Dia menatap cowok itu penuh rasa ingin tahu.
Yogi memasukkan motornya. Kemudian dia menjelaskan, “Sebenarnya gue udah ada di depan rumah lo pas telepon tadi. Buat jaga-jaga kalau lo nggak mau terima telepon gue.”
Moka menutup pagarnya kembali. “Kenapa lo berpikiran gue nggak mau terima telepon lo?”
“Siapa tau lo ngambek? Marah? Karena chat lo nggak gue balas cukup lama. Dan,” Yogi mendekatkan jaraknya dengan Moka. Dia berdiri tepat di depan Moka sehingga posisi mereka berhadapan. “Karena gue udah membatalkan janji yang gue buat sendiri tanpa kabar sebelumnya. Sorry, Mo. Itu karena ada sesuatu yang mendadak.”
Moka sedikit mengangkat wajahnya supaya bisa bertatapan mata dengan Yogi. Kenapa harus ‘sesuatu yang mendadak’? Kenapa dia nggak cerita saja kalau bertemu dengan Rika? Moka bertanya-tanya.
“Lo nggak nunggu lama kan?” lanjut Yogi.
Moka tersenyum manis. Tidak biasanya. Tersenyum manis bukanlah hal yang bisa ditunjukkan Moka dengan percuma. Entah kenapa firasat Yogi mengatakan ada hal yang buruk akan terjadi.
“Nggak. Lima menit lo nggak balas chat gue, gue pulang. Nggak betah di kantin.” Moka berjalan melewati Yogi. “Hari ini belajarnya tambah sejam, itung-itung kompensasi lo batalin janji seenak jidat lo.”
Yogi memutar tubuhnya sehingga dia bisa melihat punggung Moka yang menghilang di balik pintu rumah. Dia tersenyum lega. Kalau memang firasat buruknya tadi adalah tambahan jam belajar, maka dia sama sekali tidak keberatan. Yogi mengikuti Moka masuk ke rumah.
“Siapa, Mo?” Ibu berjalan menuju ke ruang tamu ketika Yogi masuk.
“Yogi,” sahut Moka.
Ibu yang mendapati Yogi sudah berada di ruang tamu langsung menyapanya. “Lho, Nak Yogi? Tadi telepon, kan? Kok ke sininya cepet banget?”
“Iya, Bu,” jawab Yogi malu-malu.
Moka memutar kedua bola matanya.
“Oh, ya udah. Ibu bikinin minuman, ya? Kalian mau belajar lagi, kan?” Ibu berbalik ke dapur. Moka memandangi ibunya yang selalu terlihat bahagia setiap kali melihat Yogi. Apalagi setelah tahu bahwa Yogi membantu Moka belajar.
Yogi pun terlihat sudah nyaman berada di rumah Moka. Dia sudah akrab dengan keluarga Moka. Tentu saja, karena sering kali ibunya mengajak Yogi makan bersama sebelum Yogi pulang. Atau ketika bapaknya Moka pulang dari kantor dan Yogi masih ada di rumah, mereka akan ngobrol sebentar, membicarakan pertandingan bola. Lalu Fadhil, dia jadi punya teman curhat karena saat ini Fadhil sedang menyukai teman sekolahnya.
Tidak jarang Moka mencibir ketika Yogi memberi saran-saran dan teknik untuk mendekati cewek yang disukai Fadhil. Yogi saja meminta bantuannya untuk balikan sama Rika, kok.
“Jadi… keluarin tugas lo hari ini. Tadi Pak Adi ngasih tugas Kimia di kelas gue. Kelas lo dapat juga nggak?” Yogi sudah duduk di sofa dan mengeluarkan buku kimianya.
Moka mengembuskan napas. “Dapat. Kita kerjain bareng ya?”
Yogi menatap Moka. “Gue kali yang ngerjain. Lo paling cuma mau enaknya aja, nyontek.”
Moka berdecak sebal. Dia memperhatikan Yogi yang membuka halaman buku paket kimianya. Merasakan dipandangi Moka, Yogi pun mendongak. Kedua alisnya sempat bertaut ketika mendapati Moka tidak segera beranjak untuk mengambil bukunya.
“Buruan ambil buku lo. Kenapa malah ngeliatin gue? Kagum?”
You wish!” seru Moka. Dia berbalik menuju ke kamarnya untuk mengambil tas sekolah.

**

Yogi kembali ke ruang tamu rumah Moka dengan rambut yang sedikit basah. Dia baru selesai salat Maghrib dan sekarang bersiap untuk pulang. Moka mengamati setiap gerak-gerik Yogi yang mengemasi barang-barangnya. Karena tambahan waktu yang diminta Moka, sore ini mereka berhasil menyelesaikan dua tugas sekaligus, yaitu Kimia dan Bahasa Inggris.
Yogi memang benar-benar paket komplit. Dia menguasai semua pelajaran dan itu sesuatu yang sangat menguntungkan bagi Moka. Selain itu Yogi juga cowok yang telaten dan cukup sabar mengajarinya. Penjelasannya bisa dimengerti Moka. Sejak belajar bersama dengan Yogi, Moka hampir tidak pernah punya masalah dengan tugas rumah dan pelajaran di sekolah. Seperti saluran di otaknya yang dulunya tersumbat, perlahan terbuka dan alirannya lancar.
Dia pasti akan merasa kehilangan jika harus melepas Yogi. Namun apa boleh buat, dia tidak bisa tergantung pada Yogi. Dia sudah memikirkan matang-matang dan membulatkan tekad. Sedari tadi, Yogi bertingkah seperti tidak terjadi apa pun, jadi mau tidak mau Moka yang pertama kali harus menyinggungnya.
“Gi,” panggil Moka.
Yogi bergumam. Dia masih memasukkan buku dalam tas.
“Gi, dengar dulu.”
Barulah Yogi memusatkan perhatian pada Moka. “Apa, Mo?”
“Jadi… hari ini hari terakhir lo ngajarin gue ya.” Moka mengulaskan senyumnya.
“Maksud lo hari terakhir? Alergi lo nggak berdampak sama daya ingat kan? UTS belum mulai, gimana bisa hari ini hari terakhir?”
“Tadi Rika DM gue di Instagram.” Moka mengabaikan gurauan Yogi.
Tas yang ada di pegangan Yogi terlepas.
Moka melirik pada tas itu lalu melanjutkan kalimatnya. “Selamat ya, lo udah balikan sama Rika, kan? Jadi menurut kesepakatan kita, perjanjian kita berakhir jika salah satu dari kita udah berhasil.”
“Tapi, Mo. UTS aja belum mulai, gimana gue bisa lepas lo buat belajar sendiri? Bentar lagi, Mo. Sayang kalau berhenti di sini.”
“Gue bisa, Gi. Les lo cukup sampai di sini aja. Rika udah ngajak lo balikan jadi lo nggak perlu bantuan gue lagi. Itu artinya gue juga udah nggak berhak minta bantuan lo buat ngajarin gue. Gue nggak mau jadi parasit yang hanya ngambil keuntungan dari lo.”
Mulut Yogi terbuka lalu mengatup lagi. Moka beranjak dari sofa kemudian berdiri di depan Yogi. Tangannya terulur ke hadapan Yogi.
“Makasih buat tiga minggu ini. It means so much. Dan, sekali lagi selamat buat lo.”
Yogi menatap tangan kecil yang terulur di depannya cukup lama. Dia kehilangan kata-kata untuk menanggapi ucapan selamat dari Moka. Akan tetapi satu hal yang pasti, dia sama sekali tidak mengoreksi kata-kata Moka. Tangan Moka masih menggantung di udara, meminta disambut.
Pandangan Yogi beralih dari tangan ke mata Moka lalu kembali pada telapak tangan mungil itu. Tak lama kemudian Yogi membalas uluran tangan Moka itu.
Moka tersenyum manis setelah mereka berdua berjabat tangan.

**

-tukang updatenya lagi kena virus males dan goleran mulu, jadi lupa update wattpad-

Gold DiggerWhere stories live. Discover now