Bab 5 - Cowok Tidak Sopan

540 68 2
                                    

TIDUR Moka terusik karena ringtone HP yang tidak dikenal. Perlahan kelopak matanya membuka satu per satu. Dia menoleh ke arah meja belajar dan menemukan ponsel Yogi menyala dan bergetar-getar. Moka menguap lebar dan melangkah ke meja belajar dengan tersaruk-saruk.
“Halo,” sapanya diakhiri dengan sebuah kuapan lebar.
“Heh! Lama banget angkat teleponnya? Baru bangun ya? Dasar pemalas!”
Moka menggaruk kepalanya yang mendadak gatal karena dicecar pertanyaan resek. Untung saja dia baru bangun tidur jadi tenaganya belum terkumpul untuk memaki si penelepon tidak tahu sopan santun itu. Dia sudah menebak identitas dari cowok bermulut nyinyir di seberang sana. Hanya saja, Moka perlu memastikan lagi.
“Ini siapa?”
“Yang punya HP! Balikin HP gue. Tas lo ada di sini, kan?”
“Iya,” jawab Moka. Dia mengucek matanya lalu menatap jam dinding di kamarnya. Pukul enam pagi. “Gue juga udah niat mau ke rumah Tante Nanik nanti.”
“Ya emang lo harus ke sini. Oke, bye.”
Klik. Panggilan telepon terputus.
Moka menatap layar ponsel di tangannya hingga perlahan layar itu menggelap. Dasar cowok nggak sopan!

**

Pukul sepuluh pagi, Moka sudah berada di depan rumah Tante Nanik. Dia berniat mengambil tas sambil mampir ke toko kue milik Tante Nanik. Ibunya tadi pesan untuk membeli cheesecake. Tante Nanik itu teman ibunya ketika sama-sama belajar membuat kue. Sekarang Tante Nanik sudah punya toko kue sendiri sementara ibunya Moka masih membuat kue sesuai pesanan saja.
“Pagi, Tante,” sapa Moka begitu masuk ke toko kue milik Tante Nanik. Yang disapa langsung menoleh dan tersenyum.
“Pasti mau ambil tas ya?”
Moka tersenyum lebar. “Sekalian mau beli cheesecake buat Ibu, Tan.”
Tante Nanik berbalik untuk mengambilkan pesanan Moka. “Tas kamu disimpan sama Yogi. Katanya tadi buat jaminan karena HP-nya kamu bawa,” jelas Tante Nanik sembari mengulurkan plastik berisi cheesecake.
Moka menerima dan menggantinya dengan sejumlah uang. Dia mencibir. “Jaminan apa sih? Nggak percaya banget kalau Moka bakal ngembaliian HP-nya. Itu juga nggak sengaja kebawa.”
Tante Nanik terkekeh. “Udah, sana kamu ke kamarnya aja.”
Moka berdecak sebal. “Iya deh.” Baru selangkah, dia kembali ke tempat semula. Moka menggaruk pipinya, menatap Tante Nanik yang juga menatapnya. “Kamarnya yang mana ya, Tan?”
Tante Nanik mengulum senyumnya. “Kamu itu ya. Kamarnya di rumah sebelah rumah Tante.” Tante Nanik menunjuk ke luar jendela.
Moka mengikuti telunjuk Tante Nanik tapi dia tidak beranjak dari tempatnya.
“Ya udah, Tante antar.” Tante Nanik keluar dari toko kuenya. Moka mengekor saja. Mereka melewati jalan setapak. Tante Nanik membangun kos-kosan untuk anak cowok tepat di sebelah rumah utamanya. Begitu sampai di depan pintu sebuah bangunan dua lantai, Tante Nanik memutar tubuhnya untuk menghadap Moka. “Kamu ketuk sendiri pintunya ya. Tante balik ke toko dulu.”
Moka mengangguk. Sepeninggal Tante Nanik, Moka nggak langsung mengetuk pintu. Samar-samar dia menangkap suara cowok-cowok yang saling menimpali. Dia mengedarkan pandangan ke teras kos-kosan itu. Tidak terlalu besar, hanya ada tiga kursi kayu dan satu meja bundar. Ada sebuah gitar tergeletak di salah satu kursi.
Puas memperhatikan teras kos, Moka mengetuk pintu. Terdengar sahutan dari dalam lalu pintu terbuka. Moka kaget. Berbeda dengan keadaan teras yang lengang dan rapi. Di dalamnya beberapa cowok berkumpul, bermain PS sambil makan camilan.
“Cari siapa?” tanya cowok yang membuka pintu.
Moka memperhatikan cowok itu. Dia hanya mengenakan kaus oblong lusuh dan celana selutut. “Yogi?”
Cowok itu ikut memperhatikan penampilan Moka dari atas hingga bawah. Hampir saja Moka membentak cowok itu kalau saja dia lupa kalau dia juga melakukan hal yang sama.
“Moka ya? Mau ambil tas? Masuk.” Terdengar suara dari dalam rumah.
Moka dan cowok yang membukakan menoleh berbarengan. Ilham berjalan mendekat.
“Temannya Yogi ya?” tanya cowok di depan Moka.
Ilham mengangguk. “Masuk, Moka. Gue panggilin Yogi dulu.”
Moka tampak ragu. “Boleh masuk nih?”
Cowok yang membuka pintu tadi tertawa. “Tenang aja, mereka udah disuntik jinak kok. Oh ya, gue Reo.” Cowok itu mengulurkan tangannya.
Moka membalas uluran tangan Reo lalu duduk di karpet. Nggak ada sofa di ruangan itu. Semuanya duduk di lantai yang beralas karpet. Mata Moka berlarian ke penjuru kos hingga dia tersadar bahwa ada beberapa pasang mata yang tengah memperhatikannya.
“Lagi pada ngapain sih?” tanya Moka sok kenal.
Dua cowok yang sedang memegang stick PS itu langsung bergerak kikuk. “Lagi mandangin lo,” jawab salah satunya.
Reo melempar mereka dengan bungkus snack. “Receh lo pada. Kayak nggak pernah lihat cewek cantik aja.”
“Eh, Moka. Kemarin gimana ceritanya kok Yogi bisa tepar gitu?” tanya cowok berkaca mata. Permainan sepak bola di layar televisi di-pause. Kini mereka menaruh stick PS-nya dan memilih untuk fokus pada Moka.
“Nggak tahu. Gue nemu dia lagi hujan-hujanan di taman,” jawabnya. Lalu obrolan ringan dan lelucon mengalir seolah mereka adalah teman yang sudah lama kenal. Dalam sekejap Moka sudah akrab dengan penghuni kos Tante Nanik. Bahkan sekarang Moka malah ikut main kartu bareng karena Yogi tidak kunjung muncul. Ada lima orang yang menghuni kos Tante Nanik. Yogi, Ilham, Reo, Beno, dan Fikri.
“Eh, loh itu Yogi,” ucap Fikri.
Serempak orang-orang yang tengah fokus memandangi kartu di tangan mereka itu mendongak. Pandangan mereka tertuju pada satu titik. Moka berbalik badan. Yogi berdiri di belakang Moka dan menenteng tas merah bata milik Moka. Yogi menguap. “Sini ke teras aja,” ajaknya. Tanpa menunggu Moka, Yogi berjalan duluan.
Moka mengembuskan napas lalu menaruh kartunya. Dia menuju ke teras. Begitu ada di teras kos, Yogi langsung mengulurkan tangannya.
“HP gue.”
Moka ikut menyorongkan tangannya. “Tas gue.”
Lalu mereka menukar barang masing-masing. Setelah mendapatkan tasnya kembali, Moka duduk di kursi teras. Dia meraih gitar lantas memainkannya.
“Kemarin seenaknya ngambil HP gue. Sekarang mainin gitar gue tanpa izin.”
Telinga Moka mendadak gatal. Mulai lagi, Yogi dan jarum-jarum di bibirnya. “Gitar lo? Kok di luar.” Moka memilih untuk mengabaikan sindiran Yogi.
“Gue tadi nungguin lo. Karena lama jadi gue masuk dan malah ketiduran.” Yogi merebut gitarnya.
“Pelit!”
“Thanks ya, udah bawa gue pulang kemarin.” Yogi mengucapkannya tanpa memandang Moka. Kepalanya menunduk, menatap jarinya yang memetik senar gitar.
“Oke. Tapi lo tahu, kan. Di dunia ini nggak ada yang gratis.” Moka melirik ke Yogi.
Yogi memandang Moka. “Jadi kemarin itu nolonginnya nggak tulus ternyata.”
“Tulus kok. Cuman, gue tipe cewek yang sering melakukan sesuatu dengan pamrih.”
Yogi tersenyum miring. Dia menggelengkan kepalanya mendengar kalimat Moka yang kontradiktif. “Kayak gitu bukan tulus namanya. Jadi gue harus ganti berapa?”
Moka menggumam. “Pertama, ongkos taksi dari taman ke kos lo. Dua, ongkos bensin gue dari rumah ke kos buat balikin HP lo.”
“Siapa suruh lo bawa HP gue?”
“Ya HP lo kebawa gue juga gara-gara gue nolongin siapa?” sahut Moka.
Yogi memicingkan matanya. “Lo ngerencanain ini semua ya?”
“Terserah kata lo. Lo bebas mikir sesuai prasangka lo.” Moka menengadahkan telapak tangan kanannya.
Mau tidak mau Yogi mengeluarkan dompet dan mengulurkan selembar uang pada Moka. “Segini cukup?”
“Thanks. Senang berbisnis dengan lo.” Moka tersenyum manis. “Lain kali kalau mau hujan-hujanan lagi, call gue aja.”
Yogi tidak menyahut. Dia memilih melanjutkan gitarannya.
Moka mengamati Yogi. Moka sudah sering bersama dengan cowok dengan tipe yang berbeda-beda. Jadi dia mengenali jenis tatapan Yogi saat ini. Cowok itu sedang melamun. Sorot matanya tampak sendu walaupun Yogi berusaha menutupinya dari Moka.
Kalau ada teori yang mengatakan ‘nggak apa-apa’-nya seorang cewek itu berarti ‘ada apa-apa’. Maka sekarang ini Moka mengerti bahwa dibalik wajah tenang seorang cowok, hatinya benar-benar tidak tenang. Moka yakin banyak pikiran berkecamuk di diri Yogi.
“Ngomong-omong kemarin kenapa lo nekat hujan-hujanan?” tanya Moka.
Tiba-tiba Yogi memetik gitarnya dengan kasar. Satu petikan itu sarat dengan kemarahan. Lalu gitarannya berhenti. Yogi berdiri dan menaruh gitarnya. “Bukan urusan lo.” Yogi melesat masuk ke dalam kos, meninggalkan Moka yang terpaku pada gitar Yogi.
“Tadi gue tanyain gitu, dia juga langsung bad mood.” Suara Ilham muncul, memecah lamunan Moka.
Moka mengangguk-angguk. “Benar yang dibilang Yogi tadi. Gue cuma nggak sengaja ketemu dia aja. Nggak seharusnya gue tanya.” Moka memandang Ilham. “Karena gue udah dapat tas gue balik, urusan gue selesai di sini. Gue balik ya, Ham.”
“Sekali lagi, thanks ya, Moka.”
Moka membalas dengan lambaian tangan.

**

Gold DiggerWhere stories live. Discover now