Bab 13 - Sesi Les Privat

345 55 5
                                    

Sesi Les Privat


SIANG di hari Kamis, Yogi sudah mulai memberi les privat pada Moka. Cewek itu bilang, lebih cepat lebih baik. Lagipula dia butuh uang muka dan tanda jadi sebelum memulai rencananya sebagai pacar pura-pura.
“Gue heran kenapa cewek kayak lo bisa direbutin banyak cowok di sekolahan,” ucap Yogi setelah Moka turun dari boncengannya. Adegan ketika pulang sekolah tadi masih terbayang di kepalanya. Karena tidak ingin menarik perhatian seisi sekolahan, Yogi memilih menunggu di depan sekolahan saja. Berjalan di samping Moka, membuat Yogi merasa ada banyak mata yang memperhatikannya. Itu membuatnya tidak nyaman. Sebagai gantinya, selama menunggu di depan gerbang sekolah, dia melihat cowok-cowok di sekolahnya yang menyapa Moka. Kebanyakan kakak kelas, kalau yang seangkatan hanya berani memandang saja.
Moka melepas helm dan menaruhnya di rak. “Dulu pas hamil, Ibu nyidam megangin magnet mungkin, jadi pas gede banyak yang berebut nempel ke gue,” jawabnya asal.
Yogi malas menanggapi. Dia berjalan lurus masuk ke kos. Moka mengikutinya. Sampai di tangga menuju kamar kos Yogi, Moka melihat Beno baru keluar dari kamarnya di lantai 2. Moka menyapanya.
“Lho, Moka ke sini lagi? Nggak bosen?” celetuk Beno. Dia mahasiswa semester akhir, tinggal menyusun skripsi. Wajahnya masih imut-imut jadi yang belum mengenalnya pasti mengira dia masih siswa SMA.
Moka menjawab pertanyaan itu dengan senyuman tipis. Sementara Yogi langsung melesat ke kamar kos lalu menutup erat-erat pintunya. Moka yang berdiri di depan pintu menatap dengan bingung. Moka mengetuk pelan pintu kamar Yogi.
“Gi, gue masih di luar lho.”
“Gue mau ganti baju dulu, Mo! Lo nggak berniat mau ngintip kan?” teriak Yogi teredam pintu kamar.
Tak lama kemudian, pintu terbuka dan Yogi muncul dengan kaus polo berwarna navy. Dia melebarkan pintu memberi isyarat pada Moka untuk masuk. Moka melihat sekeliling. Kamar Yogi cukup luas dan rapi, tidak ada baju, celana, atau barang-barang pribadi lainnya yang tergeletak tidak pada tempatnya. Dindingnya pun bersih, hanya ada jam berbentuk bulat yang tergantung. Tidak seperti dinding kamar Moka yang penuh dengan poster dan tempelan kertas-kertas.
“Di sini sebulan sewa berapa? Kamar luas gini.” Tanpa izin, Moka membuka kulkas kecil di pojok kamar lalu mengambil minuman kaleng di sana. Yogi tidak protes, hanya melirik saja.
“Kenapa? Lo nggak kepikiran bakal ngekos di sini kan?”
Moka tersedak minumannya. “Memang kenapa kalau iya?” tantangnya.
Yogi mengangkat bahunya. “Nggak apa sih. Cuman kalau iya, gue bakal beres-beres barang deh. Cari kos yang lebih jauh.” Yogi menutup pintu kulkas ketika tangan Moka hendak meraih es krim miliknya. “Yang ini jangan.” Tanpa perasaan dia menepuk punggung tangan Moka.
“Pelit.” Moka melengos ke karpet lalu mengeluarkan buku pelajarannya. Tiba-tiba dia tertarik pada laptop Yogi yang diletakkan di atas karpet. Dia beralih pada laptop itu dan menyalakannya.
Yogi ikut duduk di samping Moka saat cewek itu mulai membuka data di laptopnya. “Nggak akan ada foto-foto aneh di sana.”
Moka mengulum senyum lalu menoleh pada Yogi. Senyumnya tampak misterius. “Siapa tau gue nemuin foto mesra lo sama Rika.”
Seketika mata Yogi memicing. Raut wajahnya kembali keruh. Moka mulai merutuki bibirnya yang seenaknya saja menyebut nama keramat itu. Nama itu sangat berpengaruh pada cuaca di hati Yogi. Sepulang dari kos Yogi, dia berjanji akan memukul bibirnya beberapa kali sebagai hukuman.
“Fotonya dia yang gue cetak aja udah gue buang ke tempat sampah apalagi yang di komputer, udah gue hapus selamanya. Kalau lo nggak percaya, cari aja di tempat pembuangan sampah.”
Moka memutar matanya. Sifat sensitif Yogi muncul kembali. Moka malas meladeni. “Ogah.” Moka menjauh dari laptop Yogi. Dia menepuk buku pelajarannya. “Mending mulai ajarin ini deh. Ma-te-ma-ti-ka. Gue tadi dapat tugas rumah, bantu gue ngerjain.”
Yogi melirik pada buku tugas Moka. “Gue bakal dapat bonus apa kalau nilai lo pas UTS di atas rata-rata?”
“Senyum dan ucapan terima kasih.” Moka tersenyum lebar.
“Senyum aja terus sampai gigi lo kering. Gue nggak bakal puas. Mana tugas lo?” Yogi merebut buku dari tangan Moka.
Perlahan, senyum lebar di bibir Moka memudar. Lo nggak tahu aja, seberapa mahalnya senyum gue. Harusnya lo bersyukur! cibir Moka dalam hati.

**

Gold DiggerWhere stories live. Discover now