Bab 15 - Panduan Menjadi Cowok Move On

340 54 4
                                    

Hola~
Sebenarnya otak ini sedang bingung mau dibawa ke mana Mbak Ayla dan Mas Alif di lapak-lapak sebelah. Tapi akhirnya update ini hahaha 😂

**

YOGI sama sekali tidak menaruh curiga ketika dibawa Moka ke mal hari Sabtu itu. Dia memang sempat bertanya apa tujuan mereka datang ke mal tapi Moka menjawab dengan misterius. Nanti lo juga tau sendiri, begitulah kira-kira.
Sampai saat mereka tiba di lantai dua, Yogi masih belum bisa menebak pikiran Moka. Dia memilih berjalan di samping cewek itu, mengikutinya tanpa bertanya apa pun. Hingga akhirnya langkah kaki Moka berhenti di depan sebuah salon. Lipatan terbentuk di kening Yogi. Dia makin penasaran dengan apa yang akan dilakukan Moka di salon langganan Rika. Setahunya hari itu bukan jadwal Rika nyalon karena tiga hari yang lalu Rika baru saja dari situ.
“Kalau lo mau ketemu Rika, hari ini dia nggak di sini, Mo.”
Moka berdecak. “Idih, siapa juga yang mau ketemu mantan lo.” Kemudian dia meringis ketika mendapat lirikan tajam dari Yogi karena istilah yang baru saja dipakainya. “Kalau datang ke salon ya mau nyalon lah.”
“Siapa yang mau nyalon?” Kerut di dahi Yogi masih enggan menghilang.
“Gue lah, masa iya elo? Ini kan salon cewek, Gi.” Moka memutar kedua bola matanya.
“Lo mau nyalon ngapain ngajak gue sih? Dan ini di luar urusan gue. Katanya hari ini lo mau mulai bantu gue?”
“Jelas dong gue ngajak lo. Soalnya kan yang harus bayar biaya perawatan gue di sini itu elo, Gi.”
Seketika mulut Yogi terbuka lebar. “Sorry, sorry, bisa diulang? Kayaknya gue salah dengar.”
“Nggak, Gi. Lo nggak salah dengar. Gue emang bilang, lo yang bayar biaya perawatan rambut gue. Kan udah tertulis di perjanjian kita.”
Yogi teringat dengan diskusi mereka saat membicarakan perjanjian. “Trus apa hubungannya biaya-biaya saat lo bantu gue sama biaya lo nyalon?”
Moka melipat kedua tangannya di dada. Dia menatap mata Yogi dalam-dalam. “Coba pikir. Gue udah bilang ke lo soal rencana gue, kan? Gue bakal jadi pacar bohongan lo biar Rika cemburu. Dan untuk bikin dia cemburu itu nggak gampang. Gue harus lebih baik, lebih cantik, dan lebih modis berkali-kali lipat dari mantan lo. Jadi ya gue harus ubah penampilan gue biar lebih dari Rika. Bayangin aja gimana rasanya kalau Rika putusin lo dan lo malah dapat pacar baru yang levelnya lebih tinggi dari dia. Kalau gue jadi Rika sih, ego gue nggak terima.”
Yogi diam. Dia masih menimbang-nimbang apakah dia sedang dimanfaatkan oleh Moka atau tidak. Walaupun apa yang dikatakan Moka tadi ada benarnya juga. Selama ini Rika tidak suka melihat cewek lain lebih cantik dari dia makanya Rika rutin merawat diri dan menjaga penampilan.
“Bukannya gue lagi morotin lo, Gi. Jujur, gue paling males ke salon, merawat rambut. Gue nggak suka. Gue lebih suka cara alami. Tapi demi jadi pacar bohongan lo, akhirnya gue rela berdekatan sama alat-alat salon. Lo harusnya sadar pengorbanan gue, Gi,” ujar Moka seakan bisa membaca isi otak Yogi.
Yogi mengamati Moka beberapa saat kemudian dia mengembuskan napas. Dia mengalah dan memilih untuk menurut saja pada Moka. “Ya udah lo masuk ke dalam, nanti kalau udah selesai kabarin gue. Gue bakal bayar tagihannya. Gue tunggu di tempat lain.”
Moka langsung membuka lipatan tangannya lalu menggoyangkan telunjuk kanannya di depan muka Yogi. “Salah. Justru seharusnya lo nungguin gue.”
“Males banget. Pas sama Rika aja gue milih nunggu di tempat lain,” tolak Yogi.
Moka menjentikkan jarinya. Dia tersenyum miring. “Nah karena itu! Pas sama Rika, lo nggak mau nunggu di salon. Tunjukkin kalau pas sama gue, lo mau nunggu di salon. Lo harus kasih tau bahwa selama sama gue, sikap lo berubah jauh. Itulah alasannya gue nyuruh lo follow Instagram gue. Asal lo tau, gue risih sama yang namanya public display attention, tapi untuk urusan lo… apa boleh buat.” Moka mengangkat kedua bahunya. Lalu dia melenggang masuk ke dalam salon.
Yogi melongo. Dia menatap punggung Moka yang menjauh lalu menghilang di balik pintu salon. Cewek itu bukan cewek biasa. Di dalam otaknya sudah memperkirakan akibat dan tujuan dari langkah yang dia ambil. Dia bukan cewek matre dan tukang morotin duit cowok. Moka hanya sangat perhitungan. Itu sudah watak yang sulit diubah. Semua sudah terorganisir dengan rapi dan tidak ada yang sia-sia.
Yogi merasa beruntung bisa menemukan orang yang tepat untuk menghadapi Rika.

**

Rasanya Yogi harus mengoreksi pernyataannya barusan. Dia beruntung? Yogi kembali menaruh curiga. Jangan-jangan semua ide-ide Moka ini sudah direncanakan sebelumnya. Bisa jadi jauh sebelum ini, mungkin ketika pertemuan pertama mereka di taman. Karena Yogi merasa sedang dimanfaatkan oleh Moka. Cewek itu sangat lihai mengambil setiap kesempatan yang ada untuk dia ambil keuntungannya.
Sama seperti sekarang, setelah selesai merawat rambut—Moka bilang dia creambath, merapikan rambut pendek dan poninya, serta memberi vitamin untuk rambutnya—Moka menggiringnya ke salah satu distro di mal tersebut. Sudah pasti Yogi yang disuruh membayar baju yang dipilih Moka. Cewek itu pasti akan mengulang alasan yang sama jika Yogi mengajukan keberatan.
Yogi tidak pernah menyangka bahwa biaya yang dimaksud Moka ketika mereka menandatangani perjanjian adalah biaya semacam ini. Kalau saja dia tahu, dia pasti berpikir ulang. Bayangkan, jika Sabtu-Minggu keadaannya terus begini, bisa-bisa uang bulanan Yogi habis sebelum waktunya.
“Kalau ini bagus nggak, Gi?”
Moka menunjukkan dress one piece selulut bercorak floral yang dipadu dengan cardigan warna tosca. Moka menempelkan setelan itu ke badannya dan meminta pendapat Yogi.
“Bagus,” ucap Yogi singkat. Dia bahkan hanya melirik sekilas lalu mengalihkan pandangan.
Raut Moka mengeruh. Dia mencekal lengan Yogi lalu menatapnya tajam. “Yang serius dong! Dari tadi lo cuman ngelirik lalu bilang bagus terus. Gue kan jadi nggak tau lo itu jujur apa nggak. Sekali lagi gue ingetin ya, ini bukan buat pribadi gue sendiri.”
Kalau bukan buat lo sendiri, trus emangnya baju itu buat gue? batin Yogi.
“Gue jujur kok. Emang semua baju itu bagus semua buat lo. Cantik.” Yogi mengalihkan pandangan ketika mengucapkan kata-katanya yang terakhir.
Yogi tahu kalau Moka sedang tersenyum samar.
“Ya iyalah cantik. Riananda Moka gitu loh,” ucapnya jumawa. Moka berbalik, mematutkan diri di depan kaca.
Yogi ikut menatap pantulan Moka di kaca. Saat ini dia berada di belakang Moka. Dia tidak bohong. Dengan model rambut baru dan poni sampingnya, Moka tampak anggun dan dewasa. Yogi tidak tahu apa yang dilakukan Moka dengan wajahnya, tapi satu hal yang dia tahu, Moka berdandan. Kulitnya pun putih cerah sehingga cocok jika mengenakan baju warna apa pun. Selebihnya, penampilan Moka saat ini sungguh enak dilihat. Matanya sendiri tidak bisa berhenti mencuri pandang ke arah Moka. Bukan hanya Yogi yang menyadari kecantikan Moka saat ini. Ketika berjalan bersama Moka di mal, tidak hanya sekali dua kali Yogi mendapati cowok-cowok menoleh, menghentikan gerakan, lalu curi-curi pandang ke arah Moka. Seperti de javu, Yogi juga pernah mengalami hal yang sama ketika bersama Rika.
Tanpa aba-aba sebelumnya, Moka menoleh dan memergoki Yogi yang tengah menatapnya. “Udah puas kagumnya?”
Otak Yogi tidak sempat memproses untuk mengeluarkan alasan atau bantahan. Akhirnya dia hanya mengelus kupingnya yang saat ini pasti memerah karena malu. Apakah wajahnya sangat kentara sedang mengagumi kecantikan Moka?
Moka menatap lurus ke depan lagi. “Gi,” panggil Moka. Dia mengangkat pandangannya sehingga mereka berpandangan lewat kaca. “Foto pantulan gue di kaca dengan posisi seperti ini. Bikin biar keliatan candid.”
Yogi mengernyit tapi tetap menjalankan perintah Moka.
“Jangan lupa lo juga keliatan di foto itu,” pesan Moka ketika Yogi sudah mengarahkan ponselnya ke kaca.
“Banyak maunya lo.”
Yogi mengambil beberapa kali jepretan lalu menunjukkan kepada Moka. “Nih. Narsis juga lo. Sok candid,” cibirnya.
Moka menyodok pelan perut Yogi dengan sikunya. “Foto ini bukan buat gue juga. Upload di Instagram lo, tag nama gue. Sama kayak tadi.”
Ketika menunggu di dalam salon tadi, Moka juga menyuruh Yogi meng-upload foto Moka yang sedang dipotong rambutnya. Padahal Yogi bukan tipe pria yang eksis di Instagram dan meng-upload kegiatannya. Di post story pertama, Yogi mendapat banyak DM di Instagram. Bahkan teman-teman sekelasnya banyak yang mengiriminya pesan pribadi di WA. Selain itu grup WA kelasnya ramai membicarakan story Yogi.
Yogi memijat keningnya. “HP gue jadi tambah ramai nanti, Mo,” ucapnya malas.
Moka berbalik. Alisnya menukik tajam. “Ya emang itu tujuannya. Biar banyak yang penasaran. Rika gimana? Dia udah lihat story lo yang tadi? DM?”
Yogi menggeleng. “Lo yakin dengan begini Rika mau ngajak gue balikan?”
“Nggak langsung gitu juga. Pelan-pelan tapi pasti. Kita bakal main halus, gerak tanpa diketahui trus menyerang Rika ketika dia lengah!” Moka berucap sambil memperagakan kata-katanya dengan telapak tangan kanan.
Yogi mengerutkan kening. Dia tidak mengerti maksud Moka.
Moka meraih ponsel Yogi. Dia membuka aplikasi kamera lalu mengubah setting-nya menjadi kamera depan. Yogi belum sempat terkaget saat Moka memanggil namanya dan menekan tombol tengah di layar ponselnya. Seketika wajah Moka dan Yogi diabadikan di ponsel tersebut. Moka tengah tersenyum manis sementara Yogi berwajah datar.
Moka memberengut. “Wajah lo, tegang kayak mau foto buat bikin kartu SIM! Senyum, Gi. Ulang.”
“Lo nggak bilang-bilang dulu kalau mau selfie.”
“Gue panggil nama lo tadi.” Moka mengarahkan kamera kepada mereka berdua. Sekali lagi dia tersenyum manis. Yogi mengikuti Moka. Dia tersenyum di belakang Moka.
Klik!
Kali ini Moka puas dengan jepretannya. Dari posisi yang dia ambil, Yogi tampak seperti menempel padanya. Moka mengembalikan ponsel itu pada pemiliknya. Sebelumnya dia berpesan. “Upload story tadi trus setelah itu pasang foto barusan di Instagram.”
Mulut Yogi terbuka lebar. Yogi masih fine ketika harus meng-upload di story Instagram tapi kalau memasangnya di Instagramnya… itu akan merusak tatanan Instagramnya. Selain itu, dia berkomitmen pada dirinya sendiri bahwa dia tidak akan mengepost foto dirinya di profil Instagram-nya. Makanya ketika berpacaran dengan Rika, tidak sekalipun dia memamerkan foto mereka berdua.
“Ingat, gue pacar pura-pura lo. Dan gue pengin lo berperan sebagai cowok yang paling bahagia sedunia karena udah pacaran sama gue. Tunjukkin kalau lo udah move on, Gi!”
Bulu kuduk Yogi meremang kala mendengar kata-kata Moka. Cewek itu pacar pura-pura kan? Namun kenapa bawelnya melebihi pacar sungguhan?

**

Gold DiggerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang