Bab 4 - Kerepotan Pertama

537 63 0
                                    


Moka tidak pernah membayangkan dirinya mau direpotkan dengan percuma. Dia membantu si cowok payah berjalan menuju halte. Tubuh cowok itu yang besar dan jangkung membuat Moka sedikit kesusahan. "Woy, jangan lemes dulu. Gue nggak kuat kalau harus bopong lo. Jalan sampai halte dulu." Sebagian seragam Moka basah kena tetesan air hujan dari payungnya.

Beruntung saat keduanya sampai di halte, ada taksi yang berhenti di depan mereka. Si pemesan taksi berbaik hati memberikan taksi itu pada Moka setelah melihat cowok di sebelahnya yang tampak hampir pingsan. Bersama dengan sopir taksi, cowok itu berhasil masuk ke dalam taksi.

Bapak sopirnya langsung bertanya begitu kembali di belakang setir. "Ke mana, Neng?"

Kelopak mata Moka mengerjap beberapa kali. Kemudian dia menatap cowok di sebelahnya yang sudah merebahkan kepala di kursi penumpang dan memejamkan mata. Moka menggoyangkan lengan pria itu. "Hei, rumah lo mana?"

Cowok itu diam.

Moka berpikir keras. "HP lo mana?" tanyanya lagi. "Hei."

"Tas," jawab cowok itu pelan tanpa membuka matanya.

Segera saja Moka membuka tas milik cowok itu. Setelah menemukan benda yang dicari, dia membuka daftar panggilan di ponsel itu. Ada nama 'Bu Kos' di daftar itu, maka Moka langsung menghubunginya. Terdengar nada dering beberapa kali sebelum akhirnya panggilannya diangkat oleh seorang wanita.

"Halo, ada apa, Gi?"

"Maaf, Bu. Saya nemuin eh," ucapan Moka terputus karena dia ingin mencari padanan kata yang lebih sopan untuk menjelaskan kondisinya, "si pemilik ponsel ini hujan-hujanan, Bu, dan sekarang kayaknya lagi sakit. Badannya lemes dan menggigil."

"Ya ampun, Yogi," sela wanita di seberang telepon sana.

Oh, jadi namanya Yogi?

"Jadi gini, Bu. Rumahnya di mana ya? Ini saya udah di dalam taksi mau nganter Yogi."

"Oh ya, di...." Wanita itu menyebutkan sebuah daerah. Moka menyimak. Dia mengernyitkan dahi. Alamat yang disebut terdengar tidak asing.

Lho, kok? Itu kan rumahnya....

"Tante Nanik ya?"

"Betul. Mbak tau rumah saya?"

"Ini Moka, Tante."

"Lho, Moka? Kok bisa?"

"Nanti Moka ceritain di rumahnya Tante Nanik. Tante tunggu aku deh ya." Moka mematikan telepon. Setelah dia menyebutkan alamat pada Bapak Sopir, taksi mereka mulai berjalan membelah hujan deras.

"Pacarnya kenapa diajak hujan-hujan, Mbak?"

Bibir Moka mengerucut. Ih, Pak Sopirnya sok tau. "Bukan pacar, Pak. Saya nemu di jalan. Mau diantar pulang soalnya kasian. Takutnya pingsan."

Pak Sopirnya mengangguk-angguk sambil ber-oh ria. Moka menoleh pada Yogi. Pria itu terpejam dengan kepala menghadap ke arah jendela. Moka memberanikan diri untuk menyentuh dahinya. Panas.

Demam nih cowok.

**

"Terima kasih ya, Pak," kata Moka setelah Pak Supir membantu memapah cowok lemah itu ke dalam rumah. Setelah itu, Pak Supir pergi bersama dengan taksinya.

Moka duduk di sofa. Di depannya Yogi terbaring, tidak berhenti menggigil. Tante Nanik datang membawa handuk kering untuk membungkus tubuh Yogi. Di belakangnya, seorang perempuan muda membawa nampan berisi segelas teh hangat yang disuguhkan pada Moka.

"Makasih, Mbak." Langsung saja teh hangat dalam gelas itu berpindah ke perut Moka. Dia merasakan tubuhnya sedikit menghangat setelahnya.

Moka terdiam begitu melihat Tante Nanik begitu telaten merawat Yogi yang basah kuyup. Pasalnya peran Moka di sini cuman sebagai merpati pos; mengantar si cowok sekarat ke kosnya dengan selamat.

Tak lama seorang cowok yang tampaknya sebaya dengan Yogi muncul di ruang tamu rumah Tante Nanik. Perhatian penghuni ruangan tertuju pada cowok itu.

"Ham, kamu bantu Yogi ke kamarnya. Suruh mandi, ganti baju," pesan Tante Nanik.

Cowok yang bernama Ilham itu mengangguk. Moka mengikuti punggung Ilham dan Yogi yang menghilang di balik dinding. Kemudian matanya tanpa sengaja menemukan jam dinding. Seketika dia meringis. Moka belum mengabari ibunya kalau hari ini pulang terlambat. Alamat dia bakal dimarahi ibunya.

"Tante," panggil Moka, "Aku pulang deh ya. Keburu maghrib. Oh, ya, Tan. Motornya Yogi tadi masih ada di parkiran taman."

Tante Nanik menoleh pada Moka. "Nanti biar Ilham yang ambil." Kemudian Tante Nanik menatap ke arah luar. Hujan masih mengguyur kota Jakarta. "Biar diantar Pak Supri pakai mobil Tante ya, Mo. Masih hujan juga."

Moka mengangguk. Mana mungkin dia menolak.

**

Benar dugaan Moka. Habis dia dimarahi oleh ibunya. Bahkan ibunya sudah menunggu di ruang tamu ketika Moka pulang. Moka diberondong pertanyaan macam-macam.

"Kenapa pulang telat dan nggak ngabarin Ibu? Tadi yang nganter kamu siapa?"

"Itu supirnya Tante Nanik, Bu. Aku tadi dari rumah Tante Nanik." Moka sengaja nggak menceritakan mengenai Yogi karena malas diberi pertanyaan lebih dalam lagi.

"Terus, tas kamu mana?"

Moka mengernyit. "Ya, di pungg...." Moka baru sadar kalau tas ranselnya tidak ada di punggungnya. Dia teringat kalau tadi tasnya ditaruh di sofa Tante Nanik.

"Hehe," ringisnya. "Ketinggalan. Besok Moka ambil."

Untung saja besok hari Minggu.

"Ya sudah, kamu mandi terus ganti baju sana."

Fiuh.

Tanpa sadar Moka mengembuskan napas lega. Dia melangkah menuju kamarnya. Ketika melewati ruang tengah, dia bertemu dengan Fadhil, adiknya. Fadhil menatapnya penuh selidik. Moka membalas dengan tatapan bengis. Dia tidak sedang dalam mood bagus untuk menyerahkan hadiah komik untuk adiknya. Fadhil langsung melengos.

Dia memandangi pintu kamarnya dalam diam. Sepertinya ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Moka merogoh saku roknya dan menemukan ponsel Yogi. Satu tepukan keras mendarat di dahinya.

Kok kayak barter gini, sih?

**


Gold DiggerWhere stories live. Discover now