Bab 22 - Gelembung Warna Merah Jambu

325 54 0
                                    


MOKA menendang paha Fadhil saat mendengar bel rumah berbunyi. Moka berbaring di sofa sembari menonton televisi dan sedang malas bergerak.
“Woi, buka pintu sana!” kakinya menyerang paha adiknya sekali lagi.
Fadhil akhirnya mengalah. Dia menaruh HP dan beranjak membukakan pintu. Tak lama kemudian terdengar suara langkah kaki mendekat ke ruang tengah. Moka langsung bangun dari tidurannya.
“Dicari pacar kamu nih, Kak.” Suara Fadhil menyapa telinganya.
“Pacar aku siapa?” Moka langsung menoleh dan mendapati Yogi berdiri di belakang Fadhil. Kernyitan tercetak di dahinya. “Ngapain lo pagi-pagi ke sini?”
“Eh,” Yogi menggaruk tengkuknya.  “Mau… ketemu Fadhil.”
Fadhil menoleh. “Aku, Kak? Tadi pas di depan katanya….”
Yogi langsung memotong kalimat Fadhil. “Kapan hari kamu cerita soal temenmu di kelas sebelah, kan? Namanya siapa? Yuli….”
Kali ini Fadhil yang memotong, “Kak Yogi mau minum apa? Aku buatin.”
Fadhil bermain mata pada Yogi. Moka memperhatikan tingkah dua cowok di depannya. Tidak diberitahu pun Moka sebenarnya tahu bahwa Fadhil sedang menyukai temannya di kelas sebelah dan dia sering curhat dengan Yogi. Akan tetapi Moka berlagak tidak tahu saja. Dia juga menyembunyikan dari orang tua mereka. Karena kalau sampai Bapak dan Ibu tahu, habis sudah adiknya itu diceramahi.
“Terserah, Dhil.” Yogi duduk di sofa samping Moka. “Orang tua lo ke mana, Mo?” Dia memulai pembicaraan dengan Moka.
“Biasa kalau Minggu pagi gini, Bapak sama Ibu jajan berdua, kencan. Yang nggak biasa itu elo. Pagi-pagi udah nongol di sini aja. Bosan gue. Kemarin udah lihat lo semaleman juga.”
Yogi mengamati Moka, tidak terpengaruh pada kalimat sinis dari cewek itu. Moka mengenakan celana training panjang selulut dan kaus lengan panjang. Kemudian pandangannya beralih ke wajah Moka. Masih ada bintik-bintik kemerahan di kulit putih itu walaupun sudah tidak sebanyak kemarin.
“Gimana alergi lo? Masih gatal?” tanya Yogi.
Moka berdecak. “Jangan lo ingetin. Jadi pengin garuk rasanya.” Tangan kanan Moka terangkat menuju pipinya. Jarinya mulai menggaruk pelan.
Yogi bergerak kilat menarik tangan Moka. “Jangan digaruk.”
Tubuh Moka membeku. Dia membalas pandangan Yogi dan seakan terhanyut pada mata jernih cowok itu. Mereka berpandangan sejenak dengan tangan kecil Moka dalam genggaman tangan Yogi.
“Ehem.”
Dehaman kecil dari Yogi membuyarkan gelembung-gelembung warna merah muda yang mengelilingi Yogi dan Moka. Genggaman tangan Yogi pun terlepas.
Fadhil menaruh minuman di meja depan Yogi. “Diminum, Kak.” Lalu Fadhil memandang Yogi dan kakaknya bergantian. “Gue ke depan deh.”
Yogi terbatuk-batuk. Dia meminum es sirup yang dihidangkan Fadhil dalam sekali tegukan. “Gue kan mau ketemu lo, Dhil. Masa iya lo ninggalin gue ke depan.” Sekilas dia memandang Moka sebelum akhirnya menyusul Fadhil.
Moka terdiam serupa patung. Perlahan dia meraba di tempat di mana jantungnya berada, mencoba menormalkan gemuruh di dadanya.

**

Suara ramai di teras rumah menarik perhatian Moka. Percakapan seru antaraa Yogi dan Fadhil samar-samar terdengar hingga di ruang tengah. Sesekali tawa membahana keluar dari mulut keduanya. Moka beranjak dari sofa nyamannya untuk bergabung dengan dua cowok itu.
Saat jaraknya sudah dekat, obrolan di teras itu semakin jelas.
“Jadi menurut Kakak, aku harus deketin pelan-pelan gitu?” Ini suara Fadhil.
“Iya, kamu ajak pulang bareng, ke kantin bareng. Yah, perhatian-perhatian kecil gitu.” Yang ini suara Yogi.
Saran yang keluar dari bibir Yogi itu membuat Moka tidak bisa menahan tawanya lagi. Dia muncul di teras dengan tertawa terbahak-bahak. “Fadhil, kamu minta pendapat ke Yogi? Nggak salah tuh?” Moka menjatuhkan pantatnya ke kursi rotan di samping Yogi. Tawanya masih belum reda. Sampai-sampai dia mau menangis rasanya.
Fadhil tersinggung karena kakak perempuannya tertawa puas dan mendengar curhatannya pada Yogi. “Kak, nguping ya?”
“Iya, kenapa?” tantang Moka. “Kamu kenapa nggak minta pendapat Kakak aja sih, malah pilih Yogi.”
“Kakak kan cewek. Aku nyari pendapat dari sesama cowok lah!”
Seketika tawa Moka menyembur kembali. “Masalahnya kamu nggak tau kan, Yogi itu….”
“Mo, diam!” Refleks, Yogi langsung menutup mulut Moka dengan telapak tangannya. Ucapan Moka terpotong berikut dengan tawanya. Ini sentuhan kedua di pagi ini. Detak jantung Moka bereaksi dengan memalukan sekali lagi.
Yogi melepas telapak tangannya. Moka berkedip berulang kali.
“Emang Kak Yogi kenapa, Kak?” tanya Fadhil.
“Huh?” Mesin-mesin di otak Moka berputar, mengembalikannya ke pembicaraan awal. “Anak kecil nggak perlu tau!”
Yogi tersenyum tipis. “Lo udah sarapan? Udah minum obat alergi?”
Moka menggeleng. “Belum.”
“Kok belum? Gimana mau hilang itu bintik-bintik merah?”
“Iya, nunggu Ibu pulang. Ibu kan keluar beli sarapan juga.”
Obrolan mereka membuat Fadhil merasa tersisih. Dia mengesah lalu berdiri. “Aku masuk ke dalam aja deh, mau nonton TV.”
Kali ini, Yogi tidak ada niatan untuk menyusul Fadhil.

**

Gold DiggerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang