Bab 14 - Spartan

317 54 1
                                    

Plok!
Ternyata satu jam belajar bersama Yogi sudah cukup mengerikan. Entah berapa kali kepala Moka terkena pukulan dari gulungan buku yang digenggam Yogi. Tidak terbayang kalau dia harus belajar bersama Yogi selama empat jam dalam seminggu. Rasanya bukan tambah pintar, justru dia makin dungu. Yogi memukulnya seolah sedang memukul lalat yang keras kepala nempel di makanan yang mau dia santap. Kelak, jika Yogi memutuskan untuk kerja part time—entah kapan itu—sebagai guru les, Moka akan jadi orang pertama yang memberi saran padanya untuk tidak berpikiran jadi guru les.
Moka seakan sedang belajar bersama NAZI. Dibalik perangainya yang lembek jika menyangkut Rika, sebenarnya Yogi itu diktator, keras, saklek, dan perfect. Dia tidak mau mendengar dan tidak terima alasan Moka jika dia melakukan kesalahan. Moka berjanji akan membalas perlakuan Yogi dengan lebih sadis ketika kesempatannya tiba.
Kalau saja bukan karena kepepet, hari ini akan jadi hari pertama dan terakhir Moka meminta Yogi untuk memberinya les privat. Ketika Moka sedang menuliskan deretan angka yang sebenarnya tidak dia mengerti, lagi-lagi Yogi menyerang kepalanya. Kali ini bukan gulungan buku karena buku itu sudah kembali pada bentuk semula.
“Bodoh. Lo dulu lulus TK nggak sih? Perkalian bisa salah. Itu hal yang paling dasar banget, Mo.”
Moka langsung memeriksa tugasnya kembali, mencari-cari bagian yang dimaksud Yogi. Dahinya berkerut ketika tidak menemukan kesalahannya.
Yogi menggelengkan kepala. “6 kali 3 kenapa bisa jadi 24, harusnya 18, Mo!” Dia menunjuk kesalahan Moka dengan bolpoin.
Moka memekik perlahan. “Sorry, Gi. Gue keder kalau ngerjain soal matematika. Jadinya gini.”
“Anak TK zaman sekarang aja udah pinter perkalian, Mo.”
Moka melongo dengan wajah yang dibuat-buat. “Kids zaman now udah belajar perkalian? Kasihan.”
“Lanjut deh.” Yogi memijat keningnya. Kesabarannya benar-benar diuji ketika membantu Moka mengerjakan tugas matematikanya.
Beberapa menit kemudian, entah siapa yang memulai, mereka meninggalkan tugas matematika Moka dan beralih bermain kartu dan menyamil keripik yang dibawa Moka.
“Curang!” teriak Moka. Yogi membuat tahi lalat palsu di hidung Moka dengan spidol hitam.
Saat ini muka keduanya sama-sama berhias coretan. Yogi punya gambar codet di pipi kanan.
“Kocok kartunya,” perintah Yogi.
Tiba-tiba pintu terbuka. Refleks Moka dan Yogi menoleh. Di pintu, Ilham dan Beno menatap mereka berdua dengan heran.
“Mau ikutan?” ajak Moka membelah kesunyian. Namun mereka justru tertawa.
“Yaelah, muka kalian!”
“Gue kira ada apaan kok tiba-tiba diam. Soalnya tadi kan ada suara pukul-pukulan. Eh, nyatanya....”
“Bosan ngerjain PR. Jadi kita main kartu,” jawab Moka. Aneh juga, ketika belajar, Yogi dan Moka ramai dan pukul-pukulan. Pas main kartu mereka malah diam dan hanya berteriak sesekali ketika salah satu dari mereka kalah.
“Cuci muka dulu deh.” Moka berdiri.
“Mo, lo yang kalah. Lo beresin ini dulu,” protes Yogi. Namun Moka tidak menggubris dan langsung cabut ke kamar mandi.
Setelah selesai mencuci muka, Moka memberesi buku-bukunya. Yogi sudah tidak ada di kamar dan kartu-kartunya dibiarkan masih berceceran. Moka keluar kamar Yogi tanpa memberesi kekacauan yang mereka timbulkan.
Moka melangkah menuju teras lalu duduk di samping Yogi. Dia memeluk tas ranselnya.
Yogi menoleh. “Pulang sekarang?”
“Hem,” jawab Moka singkat. Moka masih menghadap ke depan.
“Lalu besok Sabtu?”
Moka menoleh. “Besok gue kabarin waktu dan tempatnya. Oke?”
Yogi mengangguk tanpa sedikit pun menaruh curiga. Dia penasaran dengan rencana Moka dan pacaran pura-pura mereka. Namun dia menyerahkan sepenuhnya pada Moka.


**

Ada angin apa kok updatenya siang?
Masuk angin, kak!

Oya, tanpa editan ya, tolong dimaklumi kalau ada kata-kata yang harusnya di-italic :p
Update dikit dulu, ntar juga ditambahin ~

Gold DiggerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang