Bab 1 - Not a Big Deal

1K 80 4
                                    

BAB 1

Pagi ini Moka duduk termangu sendirian di bangkunya. Hanya beberapa teman sekelasnya yang sudah datang. Dia memandang papan tulis kosong di depannya dengan tangan kanan yang menopang dagu. Pikirannya melayang-layang. Helaan napas keluar dari mulutnya. Tak berselang lama, seorang perempuan berkacamata datang dan menaruh tas di kursi sampingnya.

“Masih pagi udah ngelamun aja. Mikirin apa?” sapa Emy.

Lamunan Moka buyar. “Mikirin duit,” jawab Moka bohong.

Emy mengangguk-angguk. Dia nggak heran lagi. Separuh lebih ruang di otak Moka itu berisi tentang uang. Barulah sisanya dibagi-bagi untuk pelajaran dan kehidupannya sehari-hari. Emy nggak bertanya lebih jauh. Dia duduk di samping Moka.

Moka melirik pada Emy tapi tidak mengubah posisinya yang memangku dagu dengan sebelah tangan. “Kemarin Ibu nemu kertas test Fisika gue yang nilainya 2, Em.”

Sontak Emy menghadap Moka. Dia menatap Moka dengan wajah ngeri. “Terus?” tanyanya perlahan.

“Lo harus bantu gue, Em. Ujian Tengah Semester nanti, nilai gue harus di atas rata-rata. Kalau nggak, Ibu mau masukin gue ke bimbingan belajar. Gue bakal nggak punya waktu buat main-main lagi dan duit bulanan gue terancam kepotong buat bayar bimbel. Buang-buang duit banget.”

“Lo paling tahu gue nggak bisa bantu apa-apa.”

Moka memandang lurus kedua mata Emy. Benar, mereka berada di level yang sama. Nilai test Fisika Emy kemarin hanya selisih 1 angka lebih baik darinya. Lalu dia harus meminta tolong pada siapa? Satu-satunya teman cewek yang dia punya itu Emy. Teman cowok? Moka hanya dekat dengan cowok yang memberinya keuntungan. Joan, si kakak kelas yang rajin menraktirnya nonton bioskop karena selera film mereka sama. Avin yang punya kakak seorang fotografer. Lewat Avin, Moka mendapat kesempatan beberapa kali menjadi model foto kakaknya. Seingat Moka, cowok-cowok itu bukan murid pintar di kelas mereka.

Tentu saja, murid pintar pasti mampu berpikir dua kali atau lebih supaya tidak dimanfaatkan Moka.

Emy ikut mengembuskan napas. “Lo sih, pacaran mulu.”

“Gue pacaran sama siapa sih, Em?”

Emy langsung memiliki kesempatan untuk menyerang Moka.

“Lo nggak usah mengelak deh. Gue udah curiga, lo pasti ada apa-apa sama Kak Joan. Kemarin malem lo jalan lagi sama Kak Joan kan?”

Moka menoleh, menatap Emy dengan kernyitan di dahinya. “Dari mana lo tahu?”

“Gue lihat dari story Instagramnya Kak Joan. Dia kan masang foto lo kemarin malem.”

Kernyitan di dahi Moka semakin tajam. Dia tidak tahu kalau Joan mengambil foto secara diam-diam dan menyebarnya ke media sosial. Moka menunjukkan wajah tidak suka. Atas dasar apa Joan lancang meng-upload fotonya? Emosi Moka langsung tersulut. “Norak banget sih! Pinjem HP lo!” Moka menodong Emy. Dia langsung membuka Instagram Emy untuk mengecek karena Moka nggak follow Instagramnya Joan. “Joanjoe ini?”

Emy mengangguk.

Benar saja, ada fotonya yang sedang memilih makanan sebelum menonton bioskop. “Maksudnya apa sih pasang foto gue? Mau pamer gitu?” Segera dia mengeluarkan ponselnya dari saku kemeja. Moka mengotak-atik ponselnya untuk mengirim chat pada Joan.

Hapus story di Instagram lo.

            

Pesan LINE-nya terkirim tapi belum dibaca. Moka menunggu dengan nggak sabar.

“Bukan itu masalahnya. Gimana ceritanya lo bisa jalan sama Kak Joan. Dulu aja nggak minat sama dia. Cuek-cuek mau juga lo, Mo!” Emy mencibir setelah menyelamatkan ponselnya yang hampir saja dilempar tanpa perasaan oleh Moka.

“Dia ngajakin jalan, nonton film yang kebetulan pengin gue tonton juga. Lumayan kan gue dapat traktiran jadi nggak perlu keluar duit. Ya udah, jalan aja.” Ponselnya bergetar. Moka mengecek pesan balasan dari Joan lalu berdecak. “Banyak tanya lagi nih. Hapus aja apa susahnya sih?”

“Percuma juga dihapus sekarang,” timpal Emy. “Anak-anak sekolah pasti udah banyak yang lihat juga.”

Moka merebahkan punggung di kursi. Emy benar. Inilah yang dia benci. Sebenarnya dia sudah mencoba memutus urat syarafnya di bagian kepekaan tapi tetap saja risih mendengar spekulasi sepihak dari orang dengan beberapa improvisasi. Di zaman sekarang ini apa yang paling mengerikan? Berita palsu! Ingin rasanya dia masa bodoh. Namun sayangnya dia tidak sebodoh itu.

“Dia itu gila ya? Padahal gue cuma menemani nonton aja. Kalau pakai dipamerin ke media sosial gini kan bikin orang-orang mikir yang enggak-enggak.”

“Telanjur, Mo,” celetuk Emy. “Udah banyak yang nyangka lo gampangan. Baru minggu kemarin lo jalan sama Avin, sekarang sama Kak Joan. Cowok-cowok keren semua tuh! Lo bikin iri cewek-cewek satu sekolahan tau!”

“Lo juga iri? Asal lo tau aja, they’re not a big deal.”

Emy berdecih. Dia membenarkan letak kacamatanya yang sedikit melorot. “Not a big deal juga lo jalan sama mereka.”

“Mereka not a big deal. Duit mereka itu yang a big deal, Em,” jelas Moka sembari memangku dagunya kembali.

Seperti tersadar oleh sesuatu, Emy menatap Moka dengan intens. “Harus gini banget, Mo? Harusnya lo nggak asal aja jalan sama cowok.”

“Siapa bilang gue asal jalan sama cowok? Kalau nggak tajir, gue juga ogah, Em.”

“Itu dia yang bikin gosip jelek tentang lo yang matre cepet nyebarnya.”

Moka langsung meraih earphone yang disambung pada ponselnya lalu menyumpalkan benda itu di kedua telinga. “Lo berisik, Em.” Kemudian dia berdiri dan berjalan keluar kelas.

Seperti biasa, tidak ada lagu yang mengalun. Emy tahu hal itu. “Mau ke mana?”

Moka tidak menyahut atau menoleh. Dia memasukkan sebelah tangan ke dalam saku roknya. Tanda bahwa dia tidak mau diganggu.

**

Akhirnya comeback setelah 20 purnama (kek wamil aja)
Cerita ini udah selesai aku tulis, btw. Jadi insyaAllah nggak di-PHP yaaa ahahaha. Tinggal nunggu mood untuk upload aja. Just tell me kalau butuh next part yaa~

See you, next... (semoga secepatnya) :* kisseu

Gold DiggerWhere stories live. Discover now