Bab 3 - Sebuah Tendangan

621 68 1
                                    

BAB 3

Sebuah Tendangan

PUKUL lima sore lebih, mendung mulai mendominasi langit. Moka menengadahkan kepala lalu menunduk menatap payung yang dibawanya. Emy memaksa untuk membawa payung miliknya. Saat ini Moka sedang berjalan-jalan di sekitar kompleks pertokoan. Sepulang dari sekolah, dia mampir ke toko buku untuk membeli majalah. Dia tidak sendirian karena di sampingnya ada Rendy yang menemani. Rendy itu adalah kakak kelas yang dia kenal beberapa hari yang lalu. Mereka sudah sering bertukar pesan singkat. Moka langsung mengiakan ajakan Rendy untuk mengantar pulang ketika Joan menawarkan ajakan yang sama. Biar Joan tahu rasa. Siapa suruh membuatnya sebal karena meng-upload potonya tanpa izin?

"Lo buru-buru pulang nggak? Mampir ke taman dulu yuk," ajak Rendy. Telunjuknya mengarah ke taman di samping toko buku.

Moka mendongak, menatap langit yang menggelap. Mampir bentar sepertinya nggak ada salahnya, batinnya. "Boleh deh." Moka akhirnya mengangguk.

Lalu keduanya duduk di salah satu bangku panjang taman. Moka melepas tas ransel di pundaknya. Rendy mengoceh tentang beberapa hal yang ditanggapi Moka dengan gumaman. Perhatiannya lebih tertuju pada barang belanjaannya. Dua majalah untuknya dan satu untuk Fadhil. Semua itu Rendy yang membayarnya. Moka tidak memintanya tapi Rendy sendiri yang langsung membuka dompetnya dan mengulurkan kartu ATM ketika Moka sudah berada di depan kasir. Setelahnya Rendy tidak meminta Moka untuk mengganti uangnya jadi Moka anggap itu pemberian. Moka memasukkan belanjaannya ke dalam tas ransel.

"Emm... Moka," Rendy berdeham-deham, "lo mau nggak jadi pacar gue?"

Moka menoleh dengan perlahan. Dia kaget. Bukan kaget karena ditembak. Kalau itu sih dia sudah sering—justru bosan mendengar pertanyaan yang sama. Hanya saja Rendy ini berhasil memecahkan rekor. Baru jalan sehari... eh, salah, bahkan belum ada dua jam jalan bareng, sudah main tembak. Rata-rata cowok yang mendekati Moka, jalan 2-3 kali baru menembak.

Rendy tiba-tiba berdiri lalu dia meraih tangan Moka. Cewek itu ikut berdiri, bersiap melarikan diri seumpama Rendy melakukan hal memalukan di depannya. Berlutut dengan satu kaki, misalnya.

Namun untunglah, Rendy tidak sememalukan dalam pikiran Moka.

"Jadi jawaban lo apa, Mo?"

"Sori. Gue nggak bisa nerima lo secara kita baru jalan sekali. Yang udah berulang kali jalan bareng aja gue tolak, apalagi lo?" Moka mendengus. "Gue nggak segampang itu." Dia melepaskan tangannya kemudian mengambil tasnya sebelum akhirnya beranjak pergi.

"Nggak usah sok jual mahal deh lo!" Rendy berteriak di belakang Moka. "Gue tau lo itu gampang diajak jalan. Udah bagus gue nembak lo. Dasar cewek bodoh," ucapnya kasar.

Pilihan kata Rendy itu membuat Moka tersinggung. Moka berbalik dan memandang Rendy dengan tatapan sinis. Sebelah ujung bibirnya terangkat. "Trus siapa yang nawarin diri buat nemenin si cewek bodoh ini dan mengantar pulang lagi? Jangan konyol deh. Siapa yang lebih bodoh sekarang?" Moka mengucapkan kalimat terakhirnya dengan nada yang sedikit lebih tinggi dari yang sebelumnya.

Hal itu menyulut emosi Rendy. Cowok itu menarik tangan Moka dengan keras sehingga posisi mereka sekarang berhadapan dengan jarak selangkah saja. "Eh, nggak ada cewek yang boleh neriakin gue ya!"

Moka mengesah. Selama bertukar pesan dan sebelum ini, Rendy berlaku sangat manis padanya. Namun sekarang cowok itu berlaku kasar karena pernyataan cintanya ditolak. Moka menatap mata Rendy tanpa sedikit pun rasa takut. "Ada! Gue!" Kemudian dia menendang tepat di betis kanan Rendy. Setelah itu dia berbalik dan meninggalkan cowok itu sendirian di taman, mengerang kesakitan.

Moka membuang napasnya. Dia puas karena emosinya berhasil dia salurkan dengan baik.

Baru beberapa langkah menjauh dari Rendy, ada suara seorang cowok yang sepertinya berbicara pada Moka. "Kayaknya sakit tuh."

Gold DiggerWhere stories live. Discover now