Bab 16 - Pada intinya pacaran

323 60 0
                                    

Semoga masih ada yg nungguin cerita receh ini yaaaa. Haha

**

“EM, gue lihat tugas Matematika lo, dong.”
Moka langsung menodong Emy begitu temannya berjalan menuju meja mereka. Tanpa ada basa-basi. Memang begitulah Moka, dia merasa tidak perlu mengucapkan selamat pagi pada orang yang hampir tiap pagi dia temui. Emy melewatinya begitu saja. Raut mukanya datar, sama sekali tidak merespon perkataan Moka. Bahkan ketika Moka memanggil Emy untuk kedua kalinya, Emy tidak melirik sedikit pun. Emy duduk di kursinya, menaruh tas, lalu mengeluarkan ponsel. Sengaja mengabaikan Moka.
“Em!” Suara Moka kali ini sedikit meninggi.
Emy masih belum bereaksi. Moka merasa tidak ubahnya seperti sebuah patung di samping Emy. Seberapa kerasnya dia memanggil, Emy tidak akan tertarik karena baginya Moka adalah patung.
“Baiklah. Kalau lo nggak mau kasih lihat tugas Matematika lo juga nggak apa. Gue kan cuman mau lihat aja, nggak nyontek. Gue udah ngerjain sampai selesai kok, dibantu teman,” ujar Moka panjang lebar. Dia malas meladeni sikap Emy yang tiba-tiba aneh pagi itu. Mungkin ada yang terjadi padanya kemarin Minggu karena seingat Moka, sikap Emy masih baik-baik saja ketika bertemu di hari Sabtu. Selama libur sekolah, mereka berdua tidak berkirim pesan sama sekali. Moka juga bukan orang yang mau repot-repot berkirim pesan jika tidak ada hal yang penting. Selain itu, Sabtu dan Minggu kemarin, Moka bersama dengan Yogi.
Emy menoleh, memberengut. Bibir bawahnya maju beberapa senti dan kedua alisnya hampir menyatu. Kedua tangannya mengepal, seakan ingin meluapkan segala kekesalannya pada Moka.
“Ih!” Emy mengembuskan napas berat kemudian berdiri.
“Lo kenapa sih, Em?” Moka mulai menyuarakan ketidaknyamanannya dengan sikap Emy. Dia terganggu dan tidak sabar jika harus menghadapi orang yang tiba-tiba marah tanpa sebab.
“Kalau soal beginian aja lo baru nyari gue!” Dia sempat melemparkan tatapan tajam pada Moka sebelum keluar kelas.
Tinggallah Moka yang mengernyit bingung campur heran. Pandangannya masih berada di pintu kelas sementara otaknya sibuk bertanya-tanya apa yang membuat Emy tiba-tiba merajuk padanya. Apa salahnya? Soal tugas Matematika, Moka sering melihat tugas Emy dan bahkan tidak jarang menconteknya. Emy tidak pernah memprotes sebelumnya tapi kenapa hari ini berbeda?
Sebenarnya ada apa dengan Emy?

**

Beberapa menit setelah Emy keluar kelas, Moka memutuskan untuk menyusul sahabatnya itu. Dia akan memaksa Emy untuk menjelaskan keanehan sikapnya. Moka tidak mau suasana tidak nyaman itu berlanjut hingga pelajaran dimulai. Makanya dia mencari Emy. Lewat orang-orang yang berada di sekitar koridor kelas, Moka tahu bahwa Emy melarikan diri ke kantin.
Paling tidak Emy sadar kalau dia butuh air mineral… untuk mengguyur kepalanya supaya pikirannya kembali jernih. Tanpa sadar, emosi Moka ikut terpancing gara-gara Emy. Temannya itu berhasil membuat paginya menjadi buruk.
Baru saja melangkah di koridor laboratorium, langkah Moka dihadang Vara dan Sinta. Moka berdecak keras. Dia sedang tidak dalam mood untuk meladeni dua cewek itu. Vara mendekat padanya dengan tangan terlipat di dada sementara Sinta berada di belakang Vara seperti bayangan. Moka jadi teringat adegan labrak-melabrak di sinetron-sinetron yang disiarkan di televisi. Yang mana si penguasa sekolahan melabrak cewek lemah yang menurutnya menyebalkan. Namun ini bukan sinetron dan Moka bukan cewek lemah.
“Minggir lo,” ujar Moka. Dia menatap malas pada Vara.
Vara membalas dengan dorongan di pundak kanan Moka. “Gue mau ngomong sesuatu sama lo!”
Moka memejamkan mata, mencoba mengontrol emosi yang sudah naik ke ubun-ubun. “Tapi gue lagi nggak mau dengerin omongan lo. Minggir! Gue ngerasa nggak ada urusan apa-apa sama lo.”
“Ada!”
Seruan Vara itu menarik perhatian beberapa siswa yang kebetulan lewat di sekitar koridor. Mereka menghentikan langkah dan menonton. Moka tidak suka dirinya dijadikan tontonan. Dia berbeda dengan Vara. Jika Vara justru bahagia menjadi tontonan, Moka tidak. Dia bukan topeng monyet. Maka, tanpa permisi dia mendorong tubuh Vara supaya menyingkir. Moka melangkah dan menubruk bahu Vara. Vara yang terdorong, masih sempat mencekal tangan Moka sehingga langkah Moka terhenti. Moka menyentak tangan Vara.
“Apa-apaan sih lo?” Lalu dia mengedarkan pandangan ke sekitar. Tudingan jari telunjuknya mengarah ke siswa-siswa yang tengah memperhatikannya. “Kalian juga ngapain berdiri di situ? Pergi! Gue bukan tontonan!” Kesabaran Moka benar-benar habis. Moka yang biasanya acuh tak acuh pada sekelilingnya tiba-tiba membentak mereka. Kerumunan orang itu seketika hilang.
“Apa hubungan lo sama Yogi?” tanya Vara tak lama setelah bentakan Moka.
Mendengar nama Yogi, Moka langsung menangkap sinyal-sinyal dari pertanyaan Vara tersebut. Di kepalanya berdegung suara Emy.
Sepertinya Vara menyukai Yogi.
Senyum tipis muncul di bibir Moka, tanda dia mulai tertarik. Moka berbalik badan. Kini dia berhadapan dengan Vara yang tidak lebih tinggi darinya. Moka ikut melipat tangan di dada, dagunya sedikit dia angkat. Dia memasang tampang menantang.
Mari bermain-main dengan cewek yang sedang cemburu ini.
“Emangnya hubungan lo sama Yogi apa?” Moka balik bertanya.
Vara terkejut. Matanya bergerak ke sana kemari hingga akhirnya kembali menatap Moka. Dengan keberanian yang sedikit surut ketimbang sebelumnya, Vara membalas, “Jangan membalik pertanyaan! Di sini gue yang tanya dan lo yang harusnya jawab. Apa hubungan lo sama Yogi? Kenapa lo bisa ada di Instagram Yogi. Kenapa Yogi bisa meng-upload foto berdua sama lo?”
Moka agak menjauhkan kepalanya. Dia menatap Vara dengan wajah iba. Vara yang berteriak tapi kenapa Moka yang merasa malu. Padahal seharusnya Vara yang malu karena dia mempermalukan dirinya sendiri. Menurut Moka, merasa cemburu pada cowok yang bukan pacarnya itu hal menyedihkan. Moka tahu Vara bukan pacar Yogi karena di hidup cowok itu hanya ada satu nama cewek yaitu Rika. Entah apa hubungan Vara dengan Yogi, dia sedang menggali informasi.
“Justru karena itu gue harus tau apa hubungan lo sama Yogi. Gue nggak mau jawab pertanyaan dari orang asing. Gue nggak kenal sama lo. Kita nggak pernah kenalan. Gue juga nggak tau Yogi kenal sama lo apa nggak.”
“Gue Vara! Lo jangan pura-pura nggak kenal gue deh. Selain itu gue teman sekelas Yogi!”
Kedua alis Moka seketika terangkat. Segera dia mengambil ponsel di saku roknya lalu mencari kontak Yogi. Moka menelepon Yogi dan cowok itu mengangkat panggilan di nada dering pertama.
“Sayang,” panggil Moka dengan nada yang dibuat-buat. Dia mendengar suara decakan dan protes Yogi di seberang sana. Moka mengabaikan kalimat yang dilontarkan Yogi.
“Ini lho, ada Vara. Kira-kira kamu ingat punya teman sekelas namanya Vara?” Protes Yogi berhenti. Pasti cowok itu mengerti alasan panggilan sayang dari Moka. “Nggak. Dia tiba-tiba tanya ke aku, hubungan kita apa, kok aku bisa foto berdua sama kamu.” Moka tertawa sembari mengamati perubahan raut muka Vara. Cewek itu sedang menahan emosi. Napasnya naik turun. Di sampingnya, Sinta mengipasinya dengan telapak tangan. Tawa Moka makin keras. Mereka berdua itu sedang melucu atau apa?
“Jadi kita itu apa sih, Gi? Coba jelasin biar Vara dapat jawaban yang memuaskan. Bentar aku loadspeaker ya.” Moka menekan tombol loadspeaker lalu mengarahkan ponselnya pada Vara. Selang beberapa detik, suara Yogi terdengar dari ponsel Moka.
“Pacar.”
Moka langsung mematikan panggilan telepon. Dia menyimpan ponselnya kembali lalu menatap tepat di mata Vara. Sebelumnya dia sempat mengibaskan rambutnya perlahan. “Udah dijawab sama Yogi ya. Bye.”
Vara masih belum bisa menghilangkan keterkejutannya karena jawaban Yogi tersebut. Matanya melebar dua kali lipat. Moka tidak yakin, Vara ingat untuk bernapas atau tidak. Moka tidak ambil pusing dengan Vara. Sudah ada Sinta yang mengurus Vara. Dia berbalik lalu tersenyum penuh kemenangan.

**

Moka menemukan Emy sedang makan roti sendirian di kantin. Moka mengembuskan napas panjang lalu menaruh pantatnya di kursi depan Emy. Temannya itu langsung memiringkan badan, tidak mau menatap Moka.
“Lo kenapa sih? Gue salah apa?”
Emy menggigit rotinya dengan gemas lalu mengunyahnya dengan kasar. Moka ingin menertawakan tingkah Emy yang kekanakan tapi mati-matian dia menahan bibirnya. Tertawa hanya akan membuat Emy makin bete.
Karena Emy tidak juga menjawab pertanyaannya, Moka merebahkan bahunya pada kursi. “Terserah kalau lo tetap nggak mau buka mulut. Yang penting gue udah nanya. Lo kenal gue kan? Gue nggak peka dan nggak mau ambil pusing soal ngambek lo yang tanpa alasan ini. Emangnya enak lo ngambek sendirian sementara orang yang bikin lo ngambek itu nggak tau alasannya? Sia-sia. Ih, gue sih ogah. Rugi di gue, dong.”
Baru setelah itu Emy mau berhadapan dengan Moka. Tangan kanannya yang tidak memegang roti mengepal dan memukul meja pelan. “Lo jahat!”
Moka mengerjab. Seketika dia teringat adegan di film ‘Ada Apa Dengan Cinta’ dengan dia sebagai Rangga sementara Emy sebagai Cinta. “Gue ngapain lo?”
“Lo pacaran sama Yogi, nggak cerita sama gue. Gue masih lo anggap teman nggak sih, Mo?”
Moka memejamkan matanya lalu mengembuskan napas berat. “Jadi cuman gara-gara itu?”
“Menurut gue itu bukan cuman! Gue udah nunggu cerita lo dari Kamis kemarin tapi lo nggak ada cerita. Sampai gue lihat postingan Yogi di Instagram. Banyak teman-teman yang tanya sama gue dan gue kayak orang bodoh. Gue masih jadi teman lo nggak sih, Mo?”
“Gue bukan nggak mau cerita tapi gue nggak bisa. Sekarang ini gue juga nggak bisa cerita apa-apa. Gue cuman minta lo percaya sama gue. Kalau udah selesai urusannya, gue pasti cerita sama lo semuanya.”
“Jadi benar lo pacaran sama Yogi?” tanya Emy. Dia masih memberengut tapi emosinya sudah perlahan turun.
“Iya, gue pacaran sama Yogi. Bukan pacaran yang seperti itu. Tapi,” Moka tampak sedikit ragu tapi dia teringat perjanjian, “ya pokoknya kami pacaran.”
Emy mengerutkan kening saat mendengar jawaban Moka yang kurang menyakinkan. “Kali ini hanya main-main sama kayak sebelumnya?”
Moka menumpukan dagunya di telapak tangan. Dia mengembuskan napas ke atas sehingga poni rambutnya beterbangan. “Nggaklah, kali ini gue serius. Gue harus muter otak pas sama Yogi,” jawabnya misterius.
Dengan begitu, Emy tidak lagi marah padanya karena emosinya berubah menjadi rasa penasaran.

**

Gold DiggerWhere stories live. Discover now