Bab 29 - Tiga Buku Latihan dan Keterbukaan

394 54 0
                                    

Tiga buku latihan soal yang diberikan oleh Yogi itu tercecer di lantai kamar Moka dalam kondisi terbuka. Sementara Moka berjongkok di tepi kasurnya dengan kepala tertutup oleh kedua tangannya yang terlipat di atas lutut. Pundaknya naik turun tidak teratur. Moka tengah terisak.
Baru saja dia berniat mengerjakan soal-soal seperti yang diminta Yogi sepulang sekolah tadi. Namun ketika membuka satu buku dan membaca soal pertama, ingatannya berlarian ke sebuah waktu saat Yogi berada di sampingnya, membimbingnya belajar. Dia berusaha memfokuskan pikiran pada soal di hadapannya tapi otaknya blank. Seolah apa saja yang telah dia pelajari menghilang. Tak ingin berkubang di satu soal, dia membuka buku lainnya lalu meraih pensil dan menghadap kertas kosongnya kembali.
Seperti kertas putih polos yang dia sediakan, otaknya juga sepolos itu. Dia membaca ulang soal yang hendak dia kerjakan tapi sama saja. Tidak ada satu pun tanda-tanda dia menemukan cara untuk memecahkan soal itu. Moka melempar buku itu lalu membuka buku terakhir yang diberikan Yogi. Matematika. Pelajaran yang menjadi momok baginya.
Sama saja.
Moka baru sadar kalau dia sedungu itu.
Minatnya untuk belajar hilang. Matanya tiba-tiba memanas begitu mengetahui ketidakmampuannya. Dia yang sudah besar kepala dan mengatakan bahwa dia bisa belajar sendirian. Padahal dia masih amat sangat membutuhkan Yogi. Dia sudah telanjur tergantung pada Yogi.
Menyedihkan.
Dadanya sesak saat mengingat ucapan Yogi siang tadi.
Dan lo harus tau kalau lo kesulitan ngerjain, gue dengan senang hati bantu. Karena seingat gue, seharusnya gue ngajarin lo sampai UTS selesai.
Darahnya naik ke ubun-ubun, menahan marah. Mana mungkin meminta hal lancang itu? Apalagi ketika Yogi sudah mendapatkan Rika kembali. Menurut perjanjian yang mereka buat, memang benar Yogi punya kewajiban untuk mengajarinya hingga UTS selesai. Namun tidak adil jika dia mengambil keuntungan secara sepihak.
Yang tersisa tinggal dia sendiri, berkubang dalam ketidakmampuan dan mengharap sesuatu yang bukan haknya. Ingin rasanya Moka mencemooh dirinya sendiri. Ayolah Moka, sebelum ini lo juga baik-baik aja tanpa Yogi. Kenapa juga lo harus nangisin pacar orang? Lo sendiri yang bilang kan, kalau hubungan lo sama Yogi itu cuman main-main?
Moka mendongakkan kepala. Benar, egonya menolak untuk jadi cewek cengeng. Dia bukan Yogi, cowok yang super sensitif itu. Moka meraih ponsel di meja belajarnya lalu menekan nomor Emy. Dua kali nada sambung, Emy mengangkat teleponnya.
“Em … ke rumah gue.”
Terdengar sahutan Emy yang menanyakan kapan dan ada apa.
Dada Moka entah kenapa jadi penuh lagi. Ada dorongan dari dalam yang ingin keluar dari mulut dan dia tahan di ujung tenggorokannya.
“Sekarang, Em. Lo … lo harus ba-bantu gue belajar!” Moka mengakhiri teleponnya dengan sebuah isakan keras. Kemudian dia melipat kedua kakinya dan membenamkan kepalanya kembali di atas lutut.

**

“Cewek bodoh,” cela Emy setelah membaca secarik kertas di tangannya. Dia duduk bersila di samping Moka yang menunduk sembari memeluk kedua lututnya. Baru saja, dia berhasil membuat Moka membuka mulutnya. Emy memaksa Moka untuk bercerita mengapa cewek itu tiba-tiba menelepon dengan menangis. Dalam keadaan tidak berdaya, cerita tentang perjanjiannya dengan Yogi pun mengalir dari bibir Moka.
Lima menit berlalu setelah Moka selesai dengan ceritanya, sekarang dia terdiam. Emy menatapnya, masih tidak percaya dengan kisah yang baru saja dia dengar. “Jadi, kalau nanti Yogi putus sama Rika lagi, gue juga mau bantuin mereka balikan deh. Gue juga mau dibantu belajar sama Yogi, gratis lagi.”
“Hei.” Moka mendongak.
“Kenapa? Lo gitu kan? Pakai acara pura-pura pacaran dan bikin perjanjian.” Emy menengadahkan kepala, menatap langit-langit kamar Moka. Ditaruhnya kertas perjanjian itu ke kasur Moka.
“Sorry, karena baru sekarang gue cerita sama lo. Gue udah janji nggak cerita ke siapa pun soal perjanjian gue sama Yogi.”
“Ngapain lo minta maaf sama gue?” Emy memandangi Moka. Cewek itu tengah menatap pada buku-buku yang dibiarkan terbuka di karpet kamarnya. Kemudian Emy menoyor pelan kepala Moka. “Lo udah kena getahnya sekarang. Jadi itu impas lah.”
Moka mendelik pada Emy.
Emy terkekeh lalu merangkul pundak temannya. “Gara-gara gue kasih tau kalau Yogi itu peringkat satu pas penerimaan siswa kemarin ya, Mo? Lo jadi bikin keputusan sekonyol ini.”
“Mungkin… dia muncul di saat gue lagi kepepet. Gue bingung gimana caranya biar dapat nilai bagus di UTS ini biar nggak dimasukin ke bimbel.”
Emy mengeratkan rangkulannya sembari menepuk pelan pundak itu. Moka melanjutkan kalimatnya. “Demi masukin gue ke bimbel, mungkin Ibu harus nerima orderan kue lebih banyak lagi. Gue nggak mau bikin Ibu kecapekan.”
Bimbingan belajar di luar jam sekolah semacam itu hanya untuk keluarga-keluarga dengan uang melimpah. Sementara keluarganya pas-pasan. Bapaknya hanya guru SD dan ibunya membantu dengan membuat kue-kue basah tergantung orderan. Moka tidak mau membebani keluarganya.
“Sorry. Gue menyesal nggak terlahir jadi cewek pintar jadi bisa ngajarin lo. Dan sekarang lo minta gue bantuin lo belajar, gue bisa apa? Gue sendiri juga butuh bantuan.”
Moka terkekeh. Emy melepas rangkulannya dan memasang wajah pura-pura ngambek. “Apa-apaan dengan ketawa lo itu?”
Moka tersenyum tipis. Emy membalas dengan senyuman lebar. “Lo itu jarang nunjukin emosi dan tiba-tiba lo telepon gue sambil nangis. Kenapa? Lo udah mulai suka sama Yogi?”
“Gue nggak nangis.”
“Iya, tadi lo nggak nangis. Cuman cegukan.”
Moka mencibir.
“Trus sekarang gimana? Lo suka sama Yogi dan lo juga yang memutus perjanjian kalian secara sepihak. Yang gue nggak ngerti itu… apa alasan lo? Katakanlah lo nggak bisa ambil keuntungan lagi dari Yogi itu bullshit.”
Moka terdiam beberapa saat. “Gue nggak memutus secara sepihak.”
“Maksud lo? Yogi juga berencana menghentikan perjanjian kalian?”
“Hari itu… lo ingat pas gue minta lo temenin nunggu Yogi trus ada yang DM gue? Itu Rika.”
Emy menjentikkan jarinya.
“Sorenya gue cek Instagram Yogi dan foto gue udah dihapus dari sana. Semuanya.” Moka merapatkan kedua lulutnya ke tubuh lalu memeluknya erat. “Bagi Yogi… semua udah berakhir. Dan buat apa gue maksa untuk terusin. Dan emang lo pikir, gue bisa biasa-biasa aja melihat dia balikan sama Rika? Gue sendiri nggak ngerti kenapa sebegini beratnya liat dia sama Rika. Sejak kapan?”
“Nggak, Mo. Bagi Yogi belum berakhir. Tadi siang dia ngasih lo buku kan? Dia masih mikirin lo.”
“Makanya gue sebel juga. Ngapain dia ngasih buku ini ke gue sih.” Moka menendang buku yang berceceran itu. “Gue nggak ngerti.”
Emy memperhatikan Moka. “Hebat ya, Yogi. Dia berhasil mengaktifkan syaraf galau lo.”
Moka memicing pada Emy. Temannya itu mengangkat kedua bahunya.
“Selama ini lo kan cewek yang paling nggak pernah galau yang gue kenal. Selain soal urusan duit, lo menganggap semua hal itu enteng.”

**

“Moka, Ibu mau bicara.”
Moka yang sedang menuangkan air dingin ke gelas, menghentikan gerakannya. Emy sudah pulang setengah jam yang lalu. Moka masih mendekam di kamar hingga dia merasakan kerongkongannya kering.
Dengan tangan kanan yang membawa gelas berisi air dingin, dia duduk di meja makan, berhadapan dengan ibunya.
“Ada apa, Bu?”
“Ibu tadi nggak sengaja mendengar obrolan kamu dengan Emy.”
Punggung Moka menegang. Dia menggenggam erat gelas di meja. Sensasi dingin dari gelas itu mengalir ke kulit jari-jarinya. Obrolan bagian mana yang didengar ibunya. Semoga bukan….
“Ibu kecewa ketika mendengar kamu nggak mau masuk bimbel karena nggak ingin Ibu membuat kue lebih banyak dari biasanya. Apa kamu pikir Ibu terbebani dengan itu?”
Moka menelan ludah. Dia menunduk dalam. Tidak berani membalas tatapan ibunya.
“Seorang ibu akan dengan senang hati bekerja lebih giat untuk kebaikan anaknya, Moka. Dan seorang anak tidak semestinya berpikir di luar tugasnya. Tugas kamu, seorang anak SMA itu belajar. Tugas kami, orang tua itu memfasilitasi kalian untuk belajar.” Ucapan ibunya pelan namun tegas. Membuat Moka merasa sangat bersalah.
Ini pertama kali dia mendengar ibunya dengan lugas mengatakan kekecewaannya. Lidahnya kelu. Ada sesuatu yang menyumbat tenggorokannya sehingga dia sesak. Ada lubang menganga di hatinya sehingga dia merasa sakit. Semua hal itu diakhiri dengan rasa panas di matanya yang kemudian mengalirkan air bening ke kedua pipinya.
“Maaf, Ibu.”
“Kalau UTS ini nilaimu tetap jelek, nggak ada bantahan lagi. Kamu masuk bimbel.”
Setelah itu Ibu berdiri dan meninggalkan Moka.
Moka mendongak. Kedua pipinya penuh dengan lelehan air mata. Dia memandang gelasnya tanpa ada niat meminumnya. Kerongkongannya terasa sangat kering tapi dia tidak peduli.
Dia telah membuat ibunya kecewa.

**

Gold DiggerWhere stories live. Discover now